Review The Assistant (2020)

The Assistant Menceritakan Tentang Rutinitas Seorang Asisten yang Berujung Pelecehan

the assistant

© Bleecker Street

“We could use more women producers you know that’s it’s a tough job but I can see that you’ve got what it takes”. – Wilcock (The Assistant).

Beberapa film baru muncul di berbagai layanan streaming pada awal bulan Mei ini. Salah satunya yang menarik adalah The Assistant. Film ini menceritakan sosok Jane (Julia Garner), yang bekerja sebagai asisten di perusahaan yang sepertinya bergerak di bidang perfilman.

Melihat eksposisinya, Jane sebetulnya adalah wanita yang cerdas. IP nya hampir 4 dan lulusan Northwestern. Cuman karena ia mengejar cita-cita untuk menjadi produser, maka ia bekerja di perusahaan tersebut meski ia harus menjadi seorang asisten.

Penonton akan diajak melihat rutinitas Jane sehari-hari, di mana ia merupakan orang yang paling pertama datang dan bisa dikatakan juga paling terakhir pulang. Hebat juga, mengingat ia hanyalah seorang asisten, di mana biasanya udah balik jam 6 petang. Kita bisa melihat dedikasi dari karakter ini namun apakah semua itu terbayar?

© Bleecker Street

The Assistant adalah film yang sederhana dan sunyi. Dari setting-nya, kia bisa melihat film ini menggunakan set yang tidak masif. Hanya satu area kantor biasa dan lobi.

Secara tak disangka, hal ini menimbulkan poin negatif karena latar tersebut kurang meyakinkan untuk sebuah perusahaan yang bergerak di bidang industri perfilman. Kita bisa melihat cewek-cewek cantik dan seksi. Kita juga bisa bertemu dengan Patrick Wilson. Tapi kehadiran mereka tidak menimbulkan kesan yang masif.

Kantor yang ada di The Assistant justru terlihat seperti kantor dari perusahaan yang bergerak di bidang media kecil semacam surat kabar lokal. Kemudian, film ini betul-betul memperlihatkan tugas seorang asisten.

Tidak banyak bicara, melainkan kita melihat Jane melakukan pekerjaan demi pekerjaannya. Bahkan, sepertinya kata-kata yang ia lontarkan kepada rekan kerja juga adalah prosedural saja.

© Bleecker Street

Mulai dari menghidupkan lampu, bersih-bersih, memberikan obat secara rapih, menelpon, mengurus administrasi, hingga tugas fotokopi. Semua ditampilkan secara tartil. Saking tartilnya, kita akan merasakan bosann.

Konflik yang seperti apa yang ingin diperlihatkan oleh film ini? Kalau melihat secara garas besar, Jane adalah ‘korban’ dari hierarki. Dedikasinya sangat besar tapi jika melihat dari interaksi yang ada, karakter ini seperti tidak dianggap.

Pasti banyak terjadi juga di kehidupan nyata terkait masalah ini. Untunglah, di pertengahan cerita kita bisa melihat apa yang menjadi konflik besarnya. Sesuatu yang menyentil dinamika sosial di Hollywood saat ini, dan dengan tambahan konflik sampingan berupa hierarki tadi, dua hal tersebut menjadi kesatuan yang pas.

Sayangnya, konflik tersebut jatuhnya menjadi kurang mendalam. Film memutuskan untuk menjaga unsur “eerie”-nya secara konstan sehingga intensitas yang muncul tidak tampil meledak. Ini secara jelas terlihat dari dialog yang diucapkan atasannya Jane ketika Jane bertindak terlalu jauh.

Bagian paling menarik di sini juga ditampilkan dengan penuansaan yang calm, meski dihiasi oleh dialog yang cukup intens. Tapi di sisi lain narasi film juga menampilkan kelemahan dari karakter Jane dan ini bagus untuk memperdalam ceritanya. Yang diperdalam di sini adalah sebuah pemikiran bahwa Jane tidak memiliki bukti. Ia hanya melakukan sebuah praduga.

© Bleecker Street

Overreacting, di satu sisi ini memberikan layer baru dalam narasi tapi di sisi lain ini bikin konfliknya jadi semacam antiklimaks. Mungkin, yang disasar oleh film adalah realitas dari apa yang ada. Balik lagi, Jane adalah karakter yang tidak memiliki kekuatan. Ia ada bagian bawah hierarki perusahaan. Jika ia melawan bisa saja berakibat fatal.

Sangat grounded sekali bukan? Konfliknya ya udah gitu doang. Sesuatu yang sudah biasa terjadi, dan tak bisa kita biarkan terus menerus, cuman konflik tersebut dicerna seusai dengan siapa karakter yang membawa. So, kalo Chillers mau mengharapkan konfrontasi yang wah di akhir, jangan harap karena itu dianggap tak sesuai dengan eksposisi karakter Jane.

Meski begitu, The Assistant adalah film yang sunyi namun tidak begitu membosankan. Penuansaan yang dingin dengan ukuran kantor yang kecil memunculkan suasana yang kelam. Petunjuk demi petunjuk dibiarkan berserakan layaknya seperti serpihan roti sehingga kita coba dipacu untuk ikut mencerna kasusnya sendiri.

Meski berjalan lambat, namun ini tidak diperparah dengan dialog yang penuh. The Assistant lebih suka menampilkan bahasa sinema lewat ekspresi wajah aktornya ketika ia sedang melakukan rutinitas. Jadi kita mesti mengira-ngira, ini si Jane waktu motokopi dokumen kira-kira lagi mikirin apa ya? Secara sinematik sesungguhnya itu jelas terlihat karena kamera beberapa kali menunjukkan still ke wajah Jane. Cuman arti dari wajah itu yang lumayan asik untuk ditebak apa isinya.

Fokus ke bagian sound dari film ini ada asiknya, tapi ada annoying-nya juga. Hit and miss lah. Film di satu poin coba mengganti dialog dalam tampilan kesunyian ini dengan suara-suara yang ditimbulkan dari benda sekeliling. Mulai dari raungan mesin fotokopi, bunyi ketika Jane sedang menata obat di dalam laci, kemudian saat besentuhan dengan kertas-kertas. Suara yang tampil seperti ASMR.

© Bleecker Street

Cukup orgasm mendengarnya tapi ini bukan dari proses pembuatan makanan. Cuman di beberapa scene terdengar suara yang terlalu nyaring. Kejelian sound mixing juga patut dilihat karena beberapa kali film menampilkan suara manusia yang volume-nya bersaing dengan suara yang ada di sekitarnya. Ini menguatkan kesan yang real atas kondisi yang terjadi di dalam scene yang bersangkutan.

Kemudian film juga pasti memanfaatkan off-screen diagetic sound. Ini adalah suara yang berasal dari dunia cerita filmnya, namun pelaku sumber suara tidak berada di frame. Off screen diagetic sound berguna dalam memainkan “theatre of mind” penonton terhadap karakter Bos yang entah siapa orangnya. Nada suaranya bisa bikin kita menduga-duga ini bos orangnya kayak gimana.

Appearance sang atasan menjadi perhatian karena film tidak memberi tahu secara jelas sosoknya. Kalau enggak lewat off screen diagetic sound tadi, ya lewat surel yang dikirimkan. Kita hanya bisa menebak karakternya dari sana. Sisanya adalah breadcrumbs yang berserakan yang menghasilkan dugaan.

Pilihan kreatif ini tentu bisa dipahami karena unsur hierarki kental dalam film ini. Jadi, atasan itu mungkin sosoknya tidak dijelaskan lebih lanjut. Cuman, di bagian akhir film terdapat satu scene yang mantap. Di situ shot menampilkan eyeline match, di mana mata penonton diambil dari penglihatan si karakter utama.

© Bleecker Street

Apa yang dilihat? Adegan yang esensinya sudah bisa kita tebak sebelumnya. Tapi cara menampilkannya tidak polos begit saja. Ada sentuhan artistik di sana, yang berfungsi selain mengaburkan adegan yang ada juga merupakan wujud konsistensi dari bagaimana The Assistant menampilkan sosok bos.

Banyak yang ngomong kalau film ini mengacu pada skandal kasus Harvey Weinstein. Kita bisa melihat bagaimana orang yang punya power di dunia perfilman memanfaatkan kekuasaannya untuk memuaskan nafsunya dia.

Tapi jika dilihat pada gambar besaranya The Assistant sesungguhnya juga bisa berbicara lebih banyak. Meski konfliknya jadi kurang maksimal, karena ditampilkan dari karakter kelas bawah, kemudian ada juga karakter yang kurang jelas perannya, namun secara garis besar film ini menampilkan bahwa tindak harassment dan abusive bisa saja terjadi di lingkungan kantor.

Dan itu mungkin tidak sebatas di lingkungan kantor yang berada di industri perfilman saja. Hal seperti itu bisa terjadi di manapun dan bisa didukung lewat sebuah eksosistem hierarki kerja, yang mana juga ditampilkan secara sederhana namun terlihat jelas di film ini. Tidak terbayangkan, kalau kita ada di posisi seperti Jane. Rasanya pasti akan seperti terkurung dalam kandang singa.

Penampilan Julia Garner solid, karena dia berhasil menjawab tuntutan naratif karakter Jane yang harus tetap tabah berada di situasi sulit dan dengan pressure kerjaan yang tinggi. Matthew MacFadyen memiliki peran yang bisa dikatakan sangat kecil di sini.

Tapi di waktu yang terbatas itu ia bisa memberikan performa akting yang memorable. The Assistant secara konsisten berbicara dari lingkup kecil tentang realitas dunia kerja yang bisa menghimpit orang-orang kerdil.

 

Director: Kitty Green

Starring: Julia Garner, Matthew MacFadyen, Johnny Orsini, Noah Robbins, Mackenzie Leigh, Kristine Froseth

Duration: 87 Minutes

Score: 7.6/10

WHERE TO WATCH

TBA

The Review

The Assistant

7.6 Score

The Assistant menceritakan Jane (Julia Garner), seorang lulusan perguruan tinggi baru-baru ini dan produser film yang bercita-cita tinggi, yang baru-baru ini mendapatkan pekerjaan impiannya sebagai asisten junior. Tetapi ketika Jane mengikuti rutinitas hariannya, ia, dan kami, semakin sadar akan pelecehan yang secara diam-diam mewarnai setiap aspek dari hari kerjanya, akumulasi degradasi yang diputuskan untuk diambil oleh Jane, hanya untuk menemukan kedalaman sebenarnya dari sistem yang dia masuki. Tetapi ketika Jane mengikuti rutinitas hariannya, ia, dan kami, semakin sadar akan pelecehan yang secara diam-diam mewarnai setiap aspek dari hari kerjanya, akumulasi degradasi yang diputuskan untuk diambil oleh Jane, hanya untuk menemukan kedalaman sebenarnya dari sistem yang dia masuki. Film ini sudah bisa kalian tonton di banyak layanan streaming

Review Breakdown

  • Acting 7
  • Cinematography 7
  • Entertain 9
  • Scoring 7
  • Story 8
Exit mobile version