“This is a game about winning the points that matter,” – Art Donaldson
Satu film menarik yang digadang-gadang akan jadi salah satu film terbaik di tahun 2024, Challengers, sudah bisa kita tonton di seluruh bioskop Indonesia. Film yang disutradarai Luca Guadagnino ini memang sangat visioner.
Sutradara Italia berdarah Aljazair ini mulai terkenal sejak menyutradarai Call Me by Your Name (2017), Suspiria (2018), dan Bones and All (2022). Kini ia hadir lagi dengan film terbarunya yang bisa dikatakan unik dan tidak konvensional.
Dengan latar belakang olahraga tenis, Luca mampu menyajikan sebuah karya indah dengan banyak lapisan di antara tiga karakter utamanya. Setelah melihat filmnya lewat media screening yang diadakan di Jakarta (24/4), Cineverse akan mengulasnya di bawah ini.
Sinopsis
Tashi Duncan (Zendaya), mantan pemain tenis yang sempat dijuluki ‘wonder kid’ di awal karirnya dan berpotensi menjadi juara dunia, harus merelakan semuanya karena cedera parah yang dialaminya saat bertanding.
Sebelum insiden itu terjadi, ia sempat berkenalan dengan dua orang sahabat yang juga merupakan pemain tenis yang baru menapaki karirnya, Patrick Zweig (Josh O’Connor) dan Art Donaldson (Mike Faist). Patrick dan Art memang tergila-gila pada Tashi karena beda dengan pemain tenis putri lain dan sebaya dengannya.
Persaingan di antara keduanya untuk mendapatkan Tashi memang tidak terlalu intens, mereka menjajakinya dengan caranya masing-masing dan cedera parah tersebut memisahkan mereka dan cerita bergulir beberapa belas tahun kemudian. Tashi ternyata menikahi Art dan menjadi pelatihnya. Ia berhasil merubah Art yang biasa-biasa saja menjadi juara grand slam.
Untuk menyadarkannya dari kekalahan beruntun yang dialami Art, Tashi memintanya untuk bermain di turnamen Challengers, mendekati level turnamen terendah dalam tur tenis pro. Ketegangan mulai memuncak ketika dia menemukan Patrick menjadi lawan suaminya sendiri.
Tashi kini harus berhadapan dengan ambisi dan realita yang ada di depan matanya. Apa yang ia lakukan setelah mereka keduanya bertemu?
Narasinya berlapis dengan alur maju mundur
Challengers memang tak seperti banyak film lainnya yang berlatarkan olahraga tenis. Narasi film ini sekilas mengingatkan kita akan Match Point (2005) yang disutradarai karya Woody Allen, atau Winbledon (2004) yang dibintangi Paul Bettany dan Kirsten Dunst.
Namun, Challengers sangat berbeda dari kedua film di atas, di mana film ini menggunakan alur maju mundur dinamis dengan menghubungkan banyak kejadian di masa lalu dengan kejadian yang diceritakan di narasi utamanya.
Transisinya yang sangat mulus mampu menjahit benang merah yang coba dimasukkan Luca agar kita bisa mengikuti eksposisi Art dan Patrick sebelum mereka harus berhadapan lagi di kompetisi Challengers.
Alur maju mundur inilah yang membuat kita bisa menyimpulkan apa yang akan terjadi dengan Art, Patrick dan juga Tashi. Kejutan akan muncul menjelang konklusi yang dimunculkan lewat rangkaian aksi dan gestur tubuh yang mengindikasikan adanya sesuatu di antara mereka bertiga.
Chemistry yang terjalin di antara mereka juga sangat baik dan bisa merajut narasi yang penuh drama ini menjadi twist yang amat mengejutkan.
Visualisasi dan skoringnya luar biasa
Cara pengambilan gambarnya benar-benar sangat ‘out of the box’ dan tidak konvensional layaknya film berlatar tenis pada umumnya.
Sesekali saat pertandingan berlangsung, sudut pengambilan gambar dilakukan dengan menaruh kamera di bola tenis, badan pemain, bahkan dari bawah lapangan tenis yang direfleksikan bak cermin. Kita seperti melihat pertandingan tenis dari sudut pandang berbeda!
Sebuah eksekusi brilian non-ortodoks yang tidak terpaku pada teknis yang sering digunakan dalam sebuah film.
Semua visualisasi ini ditampilkan dengan skoring EDM menyentak yang sangat ‘berani dan menabrak’ semua aturan yang pernah dilakukan. Membuat semua adegan yang terwakilinya terlihat bernyawa dan mempunyai arti.
Saat Cineverse melihat siapa di balik skoring brilian ini, ternyata tak jauh dari duo Trent Reznor dan Atticus Ross, yang mempunyai latar belakang sebagai musisi Nine Inch Nail dan pernah meraih Oscar lewat The Social Network (2010) dan Soul (2020).
Kesimpulan
Challengers menyajikan sebuah kisah yang penuh intrik di antara tiga karakternya lewat penceritaan berlapis dengan alur maju mundur dinamis. Akting ketiganya juga sangat baik, terlebih cara mereka dalam bermain tenis yang terlihat amat profesional.
Pengambilan kameranya yang dinamis dengan skoring EDM yang berani menabrak pakem, membuat Challengers terasa tajam dan penuh emosi. Terlebih film ini mampu mengekspresikannya lewat dialog cepat dan juga menampilkan keheningan walau sesaat di beberapa adegan.
Sensualitas juga dihadirkan tanpa malu-malu (walaupun untuk versi Indonesia banyak sensor halus dan memotong beberapa adegan panas), di mana lewat jalan ini, kesuksesan bisa diraih lewat cara yang provokatif dan Luca berhasil mewujudkannya lewat semua lewat visualisasinya yang berani, dan skoringnya yang progresif.
Director: Luca Guadagnino
Cast: Zendaya, Josh O’Connor, Mike Faist
Duration: 131 Minutes
Score: 9.4/10
WHERE TO WATCH
The Review
Challengers
Challengers mengisahkan cinta segitiga antara Tashi Duncan dengan Art Donaldson dan Patrick Zweig yang berlangsung lama dan penuh intrik