Review Ordinary Love (2019)

Ordinary Love Menceritakan Ujian Berat Bagi Pasutri Saat Dihadang Kanker

ordinary love

© Bleecker Street

“You know, when this all started I though that, if I made it through, the experience would somehow change me. I don’t think it has. I don’t think I want it to.” – Joan (Ordinary Love).

Satu kalimat pertama, film ini lain, tidak sentimental. Bicara film-film romantis pada umumnya, biasanya kita akan masuk ke wahana roller coaster emosi. Dimana konflik memiliki ongkos emosional yang tidak murah hingga mengguncang sebuah hubungan. Biasanya menonton film romantis akan membuat kita ‘banjir’ air mata, tetapi menonton yang satu ini membuat kita merasa tenteram. Mungkin langsung terbayang di pikiran, satu orang yang kita dapat hidup dengannya untuk jangka panjang, Cilers?

Dalam Ordinary Love, kanker bukanlah sorot utamanya, melainkan kesolidan hubungan Joan (Manville) dan Tom (Neeson). Brutalnya pengobatan bertubi-tubi hanyalah sebuah setting, tokohnya tetap Joan yang mungil namun tak cengeng, dan Tom yang besar dan rude namun berhati lembut. Apresiasi performa patut diberikan kepada kedua pemeran tokoh utama ini.

Meskipun dalam keseharian perbincangan tokoh keduanya diwarnai ledekan dangkal, banyak terselip kediaman yang ekspresif. Bahkan sedikit ekspresi wajah menggambarkan kedalaman emosi. Observasi detail tersebut tak lain karena naskah film ditulis oleh Owen McCafferty, seorang pengarang drama Irlandia, yang istrinya juga pernah menjalani pengobatan kanker payudara.

Ordinary Love membawa kita menyelami kehidupan pernikahan panjang, tentang ketenteraman dua manusia yang telah lama hidup bersama. Sesederhana melakukan aktivitas masing-masing dan bersama di rutinitas lainnya. Sesederhana mewarnai kehidupan dengan bahasa frekuensi yang sama, kedua pasangan dalam tokoh ini berbagi ledekan dan humor. Sesederhana memaklumi perbedaan kepribadian pasangannya yang terkadang menjengkelkan. Namun satu hal yang keduanya tahu, mereka beruntung memiliki satu sama lain.

© Bleecker Street

Cerita dimulai dengan rutinitas harian pasangan pensiunan Tom dan Joan yang sederhana. Jalan pagi, berbelanja, menonton TV, dan makan bersama. Setelah didiagnosa kanker, rutinitas berubah menjadi bolak-balik ke rumah sakit. Dengan fokus pada kedua tokoh utama, drama ini minim setting, dengan aktivitas dan pergerakan kamera yang berulang.

Suasana nyaman terasa saat mereka di rumah, tapi berubah muram sejak kanker itu datang. Perubahan rutinitas yang dialami dan penderitaan berbeda yang sama-sama dirasakan keduanya, membuka lagi luka dan kemarahan di masa lalu akan kehilangan putri mereka berdua. Seakan hidup rasanya belum cukup puas menyiksa mereka.

Di saat terburuknya, Joan, sosok yang empati namun kuat, rasanya ingin menyerah. Namun, Tom, sosok yang canggung namun logis, dapat merasionalkan situasi tersebut. Bagaimanapun beratnya perjuangan mereka pada akhirnya akan setimpal.

Pengalaman sinematiknya unik, tetapi mungkin kurang berkesan. Meskipun banyak adegan-adegan yang lumayan membuat bergidik atau ngeri seperti keluar-masuk alat pemindai tubuh di rumah sakit, operasi, jarum suntik dan biopsi, kemoterapi, serta rasa sakit, tetapi rasanya seperti kereta lewat silih-berganti saja.

© Bleecker Street love

Namun, perasaan saat menonton film ini, yakni perasaan haru bertahan lama. Seluruh teknis seperti sinematografi yang minimalis berlatar kota di Irlandia yang indah dengan alam yang asri, palet warna earthy, editing yang terbilang mulus, serta musik latar yang menenangkan, membungkus semuanya dalam satu kata ‘tenteram’. Hubungan sehat yang tanpa drama saat pacaran mungkin membosankan, tetapi itu yang dibutuhkan untuk jangka panjang!

Terakhir, ending dari side story tentang pasangan gay yang juga berjuang melawan kanker mudah ditebak. Namun tidak lantas keberadaan side story ini tidak penting, malah membuat film ini semakin realistis. Terkadang kita tidak bisa sepenuhnya terbuka kepada orang yang paling kita cintai, bukan? Malah terkadang kita tidak bisa sebebas bercerita seperti layaknya dengan teman, atau tidak asal bicara jika dengan orang terkasih karena tidak mau menyakitinya.

Gaya interaksi antar manusia yang berbeda juga menentukan batas-batasnya. Begitu juga interaksi antara Joan yang empati dan Tom yang tidak nyaman membicarakan emosi, tidak bisa menumpahkan perasaannya satu sama lain. Sebaliknya, Joan dapat menumpahkan curhatannya kepada Peter (David Wilmot) yang cenderung blak-blakan. Sebaliknya, Peter tidak mengungkapkan rencananya kepada pacarnya Steve (Amit Shah) yang sangat sensitif, tetapi membeberkannya pada Joan, teman sesama penderita kanker yang baru ditemuinya itu.

Secara keseluruhan, Ordinary Love patut ditonton karena menawarkan subjek cerita yang langka, yakni pasangan yang sudah lama menikah. Selain itu, rasa tenteram dalam menonton film ini, juga detilnya observasi perilaku dalam hubungan menjadi sebuah pengalaman baru. Terakhir, kamu nggak boleh melewatkan versi Om Neeson yang kali ini tidak menghajar orang-orang jahat yang biasanya ia lakukan di film-film sebelumnya.

 

Director: Lisa Barros D’Sa, Glenn Leyburn

Casts: Liam Neeson, Lesley Manville, Amit Shah, David Wilmot

Duration: 92 minutes

Score: 7.8/10

WHERE TO WATCH

TBA

The Review

Ordinary Love

7.8 Score

Ordinary Love menceritakan tentang pasutri Joan dan Tom yang telah menikah selama bertahun-tahun. Ketika Joan secara tidak terduga didiagnosis menderita kanker payudara, tantangan demi tantangan datang menanti. Bisakah pasangan ini selamat?

Review Breakdown

  • Acting 8
  • Cinematography 8
  • Entertain 7
  • Scoring 8
  • Story 8
Exit mobile version