“He was a sociopath. He said that I could never leave him. He controlled how I looked, and what I wore. Then there was controlling when I left the house, and eventually what I thought” – Cecilia Kass (The Invisible Man).
Ketika Dracula Untold (2014) dirilis, film yang dibintangi oleh Luke Evans (The Hobbit) tersebut sebenarnya dtujukan sebagai film pembuka dari reboot lini sinematik horor klasik, Monster Universal.
Bagi kamu yang mungkin kurang mengetahui, Monster Universal adalah sebutan bagi rana sinematik horor pertama yang menampilkan film-film horor rilisan studio film Universal di tahun 1930-an.
Film-film yang dimaksud antara lain adalah: Dracula (1931), Frankenstein (1931), The Mummy (1932), The Invisible Man (1933), dan masih banyak lagi. Gampangnya, Monster Universal adalah universe pertama di Hollywood.
Berdasarkan fakta tersebut dan tentunya juga berdasarkan kesuksesan masif yang diraih oleh Marvel Cinematic Universe (MCU), maka gak heran jika semenjak penghujung 2000-an dan awal 2010-an lalu, Hollywood kepingin banget untuk me-reboot universe horor klasik tersebut.
Sayangnya, Dracula Untold gagal di pasaran. Alhasil niat untuk meneruskan proyek reboot pun terpaksa dihentikan dulu. Walau, di saat yang sama, niat reboot-nya tetap terus ada.
Tiga tahun kemudian, percobaan reboot sinematik horornya kembali dilakukan. Kali ini melalui The Mummy (2017) yang dibintangi oleh si aktor gaek, Tom Cruise (Top Gun). Tapi lagi-lagi percobaannya gagal total. Melihat lagi-lagi kegagalan yang didapatkan ini, alhasil pihak Universal memutusakan untuk me-restart kembali semuanya.
Dan Invisible Man arahan Leigh Whannell (Upgrade) lantas ditetapkan sebagai film perdana dari restart ulang tersebut.
Walau belum pernah diungkapkan secara resmi, namun tidak dipungkiri kalau film yang dibintangi oleh Elisabeth Moss (The Handmaid’s Tale) ini dipastikan menjadi langkah terakhir yang dilakukan oleh pihak Universal Pictures. Dengan kata lain kalau misalkan nantinya film ini gagal, ya sudah. Kemungkinan besar rana sinematik Universal Monster tidak akan di-reboot-reboot lagi.
Lalu apakah The Invisible Man akhirnya menjadi film pembuka yang diinginkan oleh Universal dan audiens tersebut? Yap benar banget dan akhirnya Cilers.
The Invisible Man tak dipungkiri sukses menjadi gerbang pembuka rencana reboot dunia sinematik Monster Universal tersebut.
Pokoknya pasca selesai menyaksikan filmnya, kamipun langsung setuju dan gak sabar untuk menunggu reboot modern film monster universal selanjutnya.
Mungkin kamu kini bertanya, mengapa baru ketika di film ini semuanya sukses? Jawabannya adalah dikarenakan kejeniusan yang tidak hanya dimiliki oleh Universal, namun juga yang dimiliki Whannell sebagai sutradara.
Spesifiknya, merupakan keputusan yang sangat jenius banget ketika pihak Universal Pictures memutuskan untuk kembali memulai dari “nol” lagi.
Mereka memutuskan untuk tidak hanya berfokus dulu pada film-film individualnya terlebih dahulu (seperti MCU), namun juga mengganti keseluruhan tone-nya dengan tone yang jauh lebih horor.
Alhasil gak heran sama sekali, jika di film pembukanya ini, mereka melakukan kerjasama dengan rumah produksi film horor terpercaya, Blumhouse Productions (Paranormal Activity). Dan Whannell sebagai sutradara yang ditunjuk, terlihat benar-benar sadar bahwa kerjasama keduanya ini memang sangat vital untuk memastikan berlanjutnya rencana reboot-nya tersebut.
Sutradara berkacamata tersebut sukses memberikan nafas segar bagi film yang aslinya merupakan horor campy ini. Melalui tangannya, The Invisible Man versi 2020, menjadi sebuah film horor-thriller psikologis yang sukses membuat kedua mata dan pikiran kita menjadi sama berantakan dan delusionalnya seperti Cecilia (Moss) di filmnya ini.
Dari awal hingga akhir, kita sama penasarannya dengan si wanita yang menjadi korban stalking almarhum suaminya (Oliver Jackson-Cohen) yang sangat abusive tersebut.
Kita penasaran, dimanakah sosok stalker pengganggu tersebut bersembunyi. Pokoknya sama seperti Cecilia, kitapun selalu terjaga dan bersiap-siap untuk menghalaunya dari berbagai sisi ruangannya.
Dan satu hal lagi yang kami acungi jempol adalah inisiatif Whannell yang memasukkan sedikit elemen “found-footage” (walau tidak lantas merubah formatnya menjadi demikian) di dalam filmnya.
Whannell benar-benar tahu banget bagaimana untuk menyenangkan rumah produksi miliki Jason Blum tersebut. Dan kerennya, bumbu tersebut teracik dengan sangat pas.
Namun di saat yang sama, tentuny kita tidak boleh melupakan penampilan Moss. Karena WOW Cilers! Penampilan aktris 37 tahun ini sangatlah LUAR BIASA! Moss mampu menampilkan traumatis mental dan fisik yang umumnya dialami oleh kebanyakan wanita yang juga kerap disiksa fisik dan batinnya oleh pasangannya.
Dari ketika ia masih takut banget untuk ke luar rumah lagi, hingga merasakan bahwa arwah mantan suaminya terus mengganggunya, ia sekali lagi, sukses membuat kami menjadi ikut was-was dan traumatis tidak karuan juga di sepanjang filmnya.
Kami tidak akan terkejut kalau nantinya penampilan Moss akan diganjar berbagai nominasi penghargaan aktris terbaik (Best Female Leading Role) termasuk, Oscar 2021, walau untuk penghargaan paling prestisius tersebut sepertinya kans-nya sangat long shot.
Kalaupun nantinya tidak meraih nominasinya pun, ya tidak masalah juga. Toh, penghargaan atau piala tidak selalu menjadi tolak ukur kemampuan akting seorang aktor bukan?
Pemeran pendukung lainnya seperti pemeran kakak Cecilia, Alice (Harriet Dyer) dan sahabat kecilnya yang menjadi detektif polisi dan kekasih Alice, James (Aldis Hodge), juga terlihat mati-matian aka maksimal untuk mengimbangi performa gokil Moss. Dan keduanya bisa dikatakan cukup berhasil.
Walau seperti yang dikatakan The Invisible Man adalah reboot film Universal Monster klasik yang keren dan bisa dijamin akan mewujudkan impian Universal untuk meneruskan rencana reboot dunia sinematiknya, tetap saja film ini memiliki kekurangan.
Selain masih menampilkan klise-klise film horor (jump scare), juga secara general, plot film ini ya biasa banget. Lebih jauh lagi, twist-twist yang ditampilkan bisa langsung kita tebak dan gokilnya, tepat dan sesuai.
Tapi untungnya untuk kesekian kalinya, seluruh kekurangan tersebut tidak hanya berhasil ditutupi oleh performa Moss yang brilian, namun juga karena arahan Whannell sebagai sutradara.
Apabila bukan Whannell, mungkin twist-twist tersebut bisa terlihat lebih tertebak lagi dan juga bakalan lebih terasa sangat “kacangan”.
Oh ya satu lagi yang hampir saja lupa. Walau di film ini menampilkan beberapa jump scare, tapi kerennya Whannell tidak berfokus kesitu. Ia lebih berfokus pada traumatis kejiwaan yang dirasakan oleh Cecilia, alias film ini 85% adalah character-driven.
Dan kalaupun ada jumpscare, Whannell benar-benar memastikan kalau kita memang akan kaget dan ngeri dengan adegan yang ditampilkan. Alias, bukan asal kaget teriak karena suara yang digede-gedein saja.
Jadi bagi CIlers yang memang dari awal masih menaruh harapan besar agar proyek reboot sinematik monster Universal-nya bisa terlaksana, mungkin kamu akan senang banget tidak hanya dengan The Invisible Man, namun juga prospek proyek ke depannya ini.
Kalaupun tidak mengikuti atau memahami, ya nonton saja guys. Karena filmnya sangat worth it untuk disaksikan. Akhirnya, sebentar lagi kita akan menyaksikan juga drakula invisible man, dan mummy dalam satu film. Asyik!
Director: Leigh Whannell
Starring: Elisabeth Moss, Aldis Hodge, Storm Reid, Harriet Dyer, Oliver Jackson-Cohen
Duration: 124 minutes
Score: 7.4/10
WHERE TO WATCH
TBA
The Review
The Invisible Man
Terlepas twist-twist yang gampang diterka, plot "pasaran", dan ending yang mungkin beberpaa dari kamu gak akan sukai, The Invisible Man tetaplah sebuah reboot Universal Monster yang sangat keren dan respekful.Film ini akhirnya akan bisa memberikan lampu hijau besar-besaran bagi rencana reboot dunia sinematik Monster Universal-nya!