Review Tuhan Izinkan Aku Berdosa (2024)

Kekecewaan Seorang Muslimah yang Terus Mempertanyakan Hidupnya di Depan Tuhan

tuhan izinkan aku berdosa 1

© PIO KHARISMA

“Kesunyianku telah terusik oleh umatmu yang penakut yang selalu bertopeng kesolehan agar terlihat bertakwa,” – Kiran (Tuhan, Izinkan Aku Berdosa, 2024)

Sabtu kemarin, Cineverse diundang ke sebuah special screening film yang sebetulnya sudah ditunggu-tunggu namun belum jelas kapan akan tayang di bioskop. Film dengan judul Tuhan, Izinkan Aku Berdosa sebenarnya sudah tayang terbatas tahun lalu di beberapa festival film seperti Jogja-NETPAC Asia Film Festival (JAFF) 2023 dan Jakarta Film Week 2023.

Film tersebut dialihwahanakan dari novel berjudul Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur karya Muhidin Dahlan yang pertama kali dirilis pada tahun 2003. Namun, film garapan Hanung Bramantyo dan dibintangi Aghniny Haque ini hingga kini belum jelas kapan akan tayang resmi di bioskop Indonesia.

Menurut kabar burung yang terdengar, ada adegan yang dianggap sensitif di film tersebut yang membuatnya harus disensor dan mengubah rating film ini yang tadinya 21+ menjadi 17+. Perubahan rating ini diharapkan membuat film ini akan cepat mendapatkan tanggal tayang resmi di Indonesia. Seperti apa filmnya? Cineverse akan mengulasnya di bawah ini.

Sinopsis

© PIO KHARISMA

Nidah Kirani atau biasa dipanggil Kiran (Aghniny Haque), seorang mahasiswi yang juga mengikuti kajian Quran di kampusnya, terbilang amat cerdas dan menarik perhatian banyak teman dan juga dosennya, Pak Tomo (Donny Damara). Mereka semua tertarik dengan konsep ekonomi mikro yang diutarakannya.

Kesulitan ekonomi yang dihadapinya membuat Kiran terpaksa tinggal bersama mucikari bernama Mbak Ami (Djenar Maesa Ayu), agar ia bisa menyisihkan sedikit uang yang dikirim orang tuanya.

Namun, tempat prostitusi yang dijalankan Mbak Ami ternyata juga diteror sekelompok pemuda Islam yang tak ingin ada tempat maksiat di kampung itu, terlebih lagi ada seorang transgender tinggal bersama Mbak Ami.

Kiran lantas ditawarkan teman-teman kajiannya untuk tinggal bersama lingkaran teman-teman kajiannya. Ia tidak menyadari kalau teman-teman kajiannya merupakan bagian dari organisasi islam Dardariyah yang menganut paham radikal dan organisasi ini dipimpin Abu Darda.

Ia lantas diberitahu kalau Abu Darda ingin memperistri dirinya. Namun saat ijab kabul, Kiran dijebak Abu Darda yang ternyata ingin menikahinya sebagai istri ketiga (sebelumnya lewat telpon, Abu Darda hanya menginginkan nikah siri, dan berjanji untuk mengurus keperluan Kiran dan orang tuanya).

Jebakan yang tak diketahuinya ini membuat Kiran berontak dan pergi dari situ. Ia lantas dikejar-kejar pengikut Abu Darda yang tak ingin aib Abu Darda diumbar Kiran ke publik.

Dalam pengejaran tersebut, Kiran lantas diselamatkan Daarul (Andri Mashadi) yang merupakan salah satu pengikut Abu yang bersimpati padanya.

Di kampus, ia kembali bertemu Pak Tomo yang menolongnya menghadapi masalah keuangannya. Ia menjadikan Kiran sebagai perempuan simpanannya, dan sebagai pemulus usaha bisnisnya dengan rekan kerjanya.

Perbedaan yang amat signifikan dari versi novelnya

Bila kita bandingkan dengan versi novelnya, perbedaan signifikan yang terlihat adalah alur yang digunakan kedua medium ini. Versi novelnya menggunakan alur penceritaan linear yang memudahkan pembaca merangkai kisah Kiran dari awal dan bisa mengambil kesimpulan dari isi novel ini.

Namun, di dalam versi layar lebarnya, narasi ini dikemas dengan alur maju mundur yang dinamis, di mana eksposisi Kiran dijelaskan lewat berbagai lini masa yang dirangkai dengan cantik. Kita sebagai penonton harus sedikit berkonsentrasi untuk merangkai tiap adegan yang muncul agar bisa mengetahui pokok permasalahan yang dihadirkan.

Perbedaan signifikan yang terlihat nyata adalah, narasi Kiran diceritakan secara longgar dan tidak terikat pada novelnya sama sekali. Banyak adegan baru dibuat, terlebih untuk adegan konklusi yang sengaja dibuat Ifan Ismail, penulis naskah film ini, sekaligus menunjukkan jawaban yang Kiran cari-cari selama ini (di dalam novelnya, adegan ini tidak muncul).

Elemen teknis yang di atas rata-rata

Tuhan, Izinkan Aku Berdosa akan memuaskan kita yang menonton film ini. Kita tak akan mengikuti kisah Kiran seperti novelnya yang cenderung linier, namun lewat sejumlah alur maju mundur yang dinamis dan tidak membosankan.

Akting Aghniny Haque di film ini tetap menjadi yang terbaik setelah Pemandi Jenazah, begitu juga dengan Donny Damara yang tetap tampil memikat. Secara visual, film ini juga berhasil lewat sudut pengambilan gambarnya yang amat menarik dilihat, terlebih untuk adegan seksualnya yang mampu mengekspresikan wajahnya yang tanpa emosi dan pasrahnya Kiran dalam menjalani itu semua.

Editing film ini juga terlihat amat baik dalam ‘menjahit’ pengalaman Kiran di masa lalu dan masa kini. Hal tersebut membuat transisi adegan dalam film ini sangat mulus dan masih nyaman untuk dilihat oleh mata penonton.

Skoring film yang dihadirkan juga terdengar menyatu dengan sejumlah adegan yang terwakilinya. Memang tidak hadir setiap saat, elemen ini akan terdengar di saat-saat penting, seperti saat Kiran merasa jatuh dan tidak berdaya.

Secara keseluruhan, untuk elemen teknisnya tidak ada sesuatu yang mengganggu sama sekali dan tetap akan membuat kita duduk mengikuti filmnya hingga selesai.

Sarat akan kritik sosial terhadap lingkungan di sekitarnya

© PIO KHARISMA

Salah satu hal yang amat menarik dalam Tuhan, Izinkan Aku Berdosa ada di narasinya. Secara eksplisit, film ini menyoroti kekecewaan Kiran terhadap agama yang selama ini menjadi panutannya. Kehidupan Kiran dipenuhi dengan sikap zuhud yang hidup sebagai muslimah yang taat beragama secara kaffah dan menyeluruh.

Namun, setelah ia memasuki lingkungan Dardariyah, Kiran justru menelan kekecewaan besar terhadap apa yang ia masuki. Ia mempertanyakan konsep ketuhanan dan mengapa setelah ia menjadi taat beragama, Tuhan malah meninggalkannya dengan apa yang ia yakini merupakan sebuah kebenaran.

Hal ini mengingatkan penulis dengan apa yang pernah diutarakan Friedrich Nietzsche dalam The Gay Science (1882) yang mengundang banyak perdebatan, “Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya.” Sebuah pernyataan yang secara implisit diteruskan dengan gagasan bahwa manusia harus menemukan cara hidup yang baru setelah kematian Tuhan.

Merasa hampa akan hidup yang ia jalani, membuat Kiran kecewa terhadap agamanya sendiri. Di dalam kekecewaan yang mendalam itulah Kiran memutuskan untuk masuk ke dalam dunia pelacuran yang mengharuskannya melayani banyak pelanggan penting. Lucunya, para pelanggannya berasal dari  partai yang sangat agamis dengan menjual ayat-ayat sebagai materi kampanyenya.

Kiran sama sekali merasa tak berdosa melakukan hal tersebut, karena ia merasa kecewa terhadap agama dan Tuhan yang selama ia junjung. Kritik sosial yang tajam terhadap tokoh agama radikal yang cenderung otoriter dan dogmatis terlihat jelas di film ini.

Pilihan hidupnya sebagai pelacur menjadi substansi berikutnya, belum lagi kepada norma-norma dalam masyarakat yang cenderung hipokrit dan bermuka dua.

Pernyataan ini didukung Erich Fromm dalam The Art of Loving (1956) yang menyebut “Satu-satunya orang yang benar-benar adalah mereka yang tidak menginginkan lebih dari yang mereka miliki. Jika saya adalah apa yang saya miliki, dan jika saya kehilangan apa yang saya miliki, lalu siapakah saya?”

Kesimpulan

Tuhan, Izinkan Aku Berdosa versi layar lebar ini dialihwahanakan dengan sedikit santun, dan disesuaikan dengan keadaan sosial masyarakat akhir-akhir ini.

Di lain sisi, film ini justu memberikan solusi yang konstruktif di bagian konklusinya dan tidak mengumbar amarah yang makin menjadi-jadi seperti yang termaktub dalam novelnya yang amat sarkas dan mungkin akan membuat banyak kuping yang membacanya akan meradang.

Apakah kita sebagai individu sanggup melakukan tugas untuk menciptakan nilai-nilai kita sendiri? Menciptakan makna hidup sendiri tanpa bantuan Tuhan, dogma, atau kredo populer lainnya? Mungkin sebagian dari kita memang demikian, dan jika kita memahami implikasi kematian Tuhan, kita mempunyai peluang lebih besar untuk melakukan hal tersebut.

Keputusasaan atas matinya Tuhan mungkin memberi jalan pada makna baru dalam hidup kita; karena seperti yang dikemukakan oleh Jean-Paul Sartre, “kehidupan dimulai dari sisi lain dari keputusasaan.”

Beberapa orang mengatakan bahwa kehidupan dimulai dari sisi lain dari keputusasaan, ketika orang-orang berhasil melewati keputusasaan mereka dan mengembangkan rasa tidak kenal takut, dapat menuntun pada kehidupan yang lebih jujur dan bebas.

Mungkin itulah yang diinginkan Kiran dalam hidupnya agar ia bisa berdamai dengan hidupnya di masa mendatang.

Tuhan, Izinkan Aku Berdosa belum mempunyai jadwal tayang. Tunggu tanggal tayang resminya di bioskop Indonesia.

 

Director: Hanung Bramantyo

Cast: Aghniny Haque, Donny Damara, Djenar Maesa Ayu, Andri Mashadi, Samo Rafael, Nugie, Nikita Mirzani, Keanu AGL

Duration: 117 Minutes

Score: 8.4/10

The Review

Tuhan Izinkan Aku Berdosa

8.4 Score

Tuhan Izinkan Aku Berdosa mengisahkan Kiran yang selama ini taat beragama, mendapat kekecewaan saat memasuki organisasi yang diyakininya benar, sehingga ia berubah menjadi pelacur

Review Breakdown

  • Acting 8
  • Cinematography 8
  • Entertain 9
  • Scoring 8
  • Story 9
Exit mobile version