“I know it’s a lie, but I have to see!” – Mahito (The Boy and The Heron, 2023)
Karya terbaru Hayao Miyazaki akhirnya sudah hadir di Indonesia. Setelah absen sejak satu dekade silam lewat film terakhirnya, The Wind Rises (2013), kini Hayao Miyazaki menghadirkan anime terbarunya, The Boy and The Heron, saat media screening yang berlangsung di CGV Grand Indonesia (10/12).
Diproduksi oleh Studio Ghibli, judul film ini merujuk pada novel karya Genzaburō Yoshino tahun 1937 dengan judul yang sama. Namun, film ini tidak memiliki cerita yang berhubungan dengan novelnya.
The Boy and the Heron juga menjadi film termahal yang pernah diproduksi di Jepang. Narasinya banyak diambil dari masa kecil Hayao Miyazaki, yang berhubungan dengan keluarganya di masa perang dahulu.
Pada minggu pertama film ini dirilis di Jepang, The Boy and the Heron meraup ¥1,83 miliar atau Rp 196 juta, lebih banyak dibandingkan film Studio Ghibli lainnya, dan melampaui Howl’s Moving Castle (2004), yang dibuka dengan ¥1,48 miliar atau Rp. 159 juta. Di seluruh dunia, The Boy and the Heron bahkan telah meraih 89 juta dolar AS
Di agregator ulasan Rotten Tomatoes, 95% dari 155 kritikus memberikan ulasan positif untuk film tersebut, dengan rating rata-rata 8,5/10. Di Metacritic, film ini mempunyai skor rata-rata 92 dari 100 berdasarkan 46 ulasan kritikus, yang menunjukkan “pengakuan universal”. CinemaScore bahkan memberi nilai rata-rata A− pada skala A+ hingga F.
Dari semua review positif yang diterima The Boy and the Heron, apakah film ini akan menjadi yang terbaik dari semua karya Miyazaki sebelum ia pensiun?
Sinopsis
Suatu malam di Tokyo pada tahun 1943, peperangan yang berkecamuk mengakibatkan kebakaran di sebuah rumah sakit di mana Hisako, ibu dari Mahito (Soma Santoki) meninggal dalam kejadian tersebut.
Ayahnya kemudian menikah lagi dengan adik dari Hisako, yaitu Natsuko (Yoshino Kimura) dan kemudian pergi untuk tinggal di desa tempat Natsuko tinggal. Ayah Mahito, Shoichi (Takuya Kimura) adalah pemilik pabrik amunisi pesawat.
Sesampainya di rumah tersebut, Natsuko ditemani banyak pembantunya yang sudah tua dan menemani dirinya. Saat pertama kali datang, Mahito melihat seekor bangau (Masaki Suda) terbang mendekati dirinya berkali-kali dan membuatnya penasaran.
Tak lama ia lantas mencari keberadaan bangau tersebut dan bangau itu ternyata bersarang di sebuah rumah tua yang tampak tak terurus. Bangau ini pun terlihat sangat agresif dan ingin menyerangnya berkali-kali.
Suatu hari ibu tirinya, Natsuko, yang ternyata telah hamil, tiba-tiba menghilang. Mahito bersama salah seorang pelayan tuanya, Kiriko (Ko Shibasaki) mencarinya ke hutan, dan mendapati suara bangau tersebut mengajaknya masuk untuk bertemu ibunya yang dikatakannya masih hidup.
Yang tak disadari keduanya, bangau tersebut ternyata membawanya ke dunia lain, yang penuh keajaiban, di mana banyak makhluk tinggal di dalamnya.
Berhasilkah Natsuko dan ibunya akhirnya bisa ditemukan Mahito?
Kompleksitas dunia alternatif yang penuh lapisan
The Boy and the Heron bukanlah anime Miyazaki yang mudah dicerna begitu saja, karena film ini sangat multi-dimensional dan dunia yang coba dibangun Miyazaki sangat kompleks, agak liar dengan nuansa surealis yang menggunakan metafora di dalamnya.
Kesederhanaan karakter utamanya yang sedang emosional karena baru saja kehilangan ibu yang ia sayangi, membuat dunia baru yang diciptakan Miyazaki terasa tidak pas.
Penokohannya pun terbilang lemah terhadap beberapa karakter. Banyak karakter bermunculan tanpa eksposisi yang cukup, terlebih untuk karakter heron atau bangau yang bisa dikatakan absurd.
Sebagai tokoh sentral di film, untuk beberapa alasan tertentu bahkan tidak memberi pengaruh yang berarti terhadap Mahito, selain sebagai teman perjalanan yang menyenangkan dan memberi warna komedi di film ini.
Dengan durasi 2 jam, sebenarnya film ini masih terbilang normal untuk ukuran anime Ghibli, namun di paruh pertama, film ini cenderung slowburn dan agak membosankan. Banyak repetisi plot sebelum akhirnya kita fokus kepada perjalanan Mahito.
Visualisasinya luar biasa dan sangat menghibur
Fantasi yang ditampilkan Miyazaki di film ini terasa sangat indah, penuh warna, dan kita bisa melihat elemen-elemen klasik khas Ghibli yang ada di film-film sebelumnya. Sebut aja beberapa tampilan mengingatkan kita pada Spirited Away (2001) atau Howl’s Moving Castle (2004).
Beberapa karakter menarik juga diperlihatkan seperti The Parakeet King atau Wara Wara yang muncul dengan caranya masing-masing. Dengan durasinya yang mencapai dua jam, The Boy and The Heron mencoba memasukkan banyak hal dan terasa tak koheren dengan karakter yang ada.
Buat beberapa penonton, hal itu akan sangat menggangu, karena kita akan terus menerka karakter apa lagi yang akan muncul dan mencoba menghubungkan hal tersebut dengan narasinya. Pada akhirnya semua akan diakhiri dengan tanda tanya dan ketidakpastian.
Skoringnya tetap sederhana dan komedinya menjadi nilai tambah
Elemen paling penting di balik karya Ghibli adalah sisi musikalitasnya yang memorable di tiap filmnya. Di film ini, Joe Hisaishi yang sebelumnya menggarap skoring Spirited Away (2001), Ponyo (2008), dan The Wind Rises (2013), ada di belakang alunan piano yang diletakkan di beberapa momen penting. Sangat sederhana dan memang begitulah seharusnya anime Ghibli bertutur.
Salah satu kelebihan dalam film ini adalah di luar dugaan sangat menghibur dan mengundang gelak tawa. Dari pelayan-pelayan tua yang saat berkumpul bersama, mengingatkan kita pada kelucuan tujuh kurcaci yang ada di Snow White and the Seven Dwarfs.
Si bangau ternyata juga sering kali membuat kelucuan tanpa disengaja lewat dialog-dialog dan gesturnya yang akan membuat kita tersenyum sendiri melihat ulahnya.
Kesimpulan
Buat kamu pencinta anime, terutama karya-karya Miyazaki, Film ini merupakan sebuah keharusan absolut untuk ditonton.
Narasinya terbilang cukup rumit untuk dicerna, karena itu pula film ini kurang cocok ditonton bagi pemula atau anak-anak. Ada beberapa hal yang kadang tidak koheren dengan karakterisasi di dalamnya. Bagian akhirnya pun terasa tidak memuaskan, dan terkesan terburu-buru.
Di film terakhirnya ini, Hayao Miyazaki berusaha tetap memberikan karya terbaiknya yang pernah kita lihat. Memang ceritanya tidak semenarik film-film sebelumnya, dan The Boy and The Heron tidak termasuk yang terbaik dari Miyazaki, tapi tetap saja ada yang membuat kita terkesan.
Tampilan visualnya luar biasa, karakternya sangat bervariasi dan beraneka warna, walaupun tidak memorable. Kita seperti memasuki dunia penuh lapisan yang dipenuhi keajaiban. Tapi tentu saja hal itu tidak cukup menolong film ini secara keseluruhan untuk masuk jajaran film terbaik Ghibli.
The Boy and The Heron sudah bisa kamu tonton mulai 13 Desember 2023 di semua bioskop terdekat di kota kamu.
Director: Hayao Miyazaki
Cast: Soma Santoki, Masaki Suda, Ko Shibasaki, Aimyon, Yoshino Kimura, Takuya Kimura, Keiko Takeshita, Jim Fubuki, Sawako Agawa, Karen Takizawa, Shinobu Otake, Jim Kunimura.
Duration: 124 Minutes
Score: 7.6/10
WHERE TO WATCH
The Review
The Boy and the Heron
The Boy and the Heron mengisahkan Mahito yang merindukan ibunya, dan berkelana ke dunia penuh keajaiban di mana ia mendapatkan jawabannya