Penonton Siksa Kubur dan Badarawuhi di Desa Penari jadi dua film Indonesia yang bersaing ketat. Siksa Kubur di hari pertama tayang mendapatkan 257.871 penonton. Sedangkan Badarawuhi di Desa Penari menjadi yang teratas di hari pertama dengan 344.507 penonton.
Dua film horor Indonesia berlomba menjadi yang teratas di semua bioskop Indonesia di saat libur Lebaran. Seperti yang sudah diprediksi Cineverse sebelumnya, Badarawuhi di Desa Penari menjadi yang teratas dengan 344.507 penonton. Walau begitu hasil ini ternyata tak berbeda jauh dengan Siksa Kubur yang memperoleh 257.871 penonton di hari pertama penayangan.
Namun, sebagai film Indonesia original (non-IP atau non Intellectual Property), tentu saja apa yang diraih Siksa Kubur perlu diapresiasi lebih oleh semua pihak, mengingat film ini berani berhadapan langsung dengan Badarawuhi di Desa Penari yang di film pertamanya saja (KKN di Desa Penari yang dirilis pada tahun 2022-red) menembus angka 10 juta penonton dan menjadi film Indonesia dengan jumlah penonton terbesar sepanjang masa.
Tak tanggung-tanggung dengan promosi yang dilakukannya, Badarawuhi di Desa Penari menjadi film Indonesia pertama yang sepenuhnya digarap dengan menggunakan format IMAX. Film ini juga baru saja melangsungkan gala premiere-nya di Los Angeles dan akan tayang di Amerika mulai 26 April 2024.
Sedangkan Joko Anwar dalam press conference-nya pernah mengatakan, ia tidak merasa takut dengan persaingan ini, di mana kompetitornya menggunakan format IMAX.
Jokan, panggilan akrab Joko Anwar juga mengatakan kalau ia ingin filmnya bisa ditonton semua kalangan hingga ke pinggir kota, karena film ini bermuatan reliji yang tidak perlu mendapat treatment seperti itu. (Perlu diketahui, sebelumnya Joko Anwar pernah menghadirkan format IMAX dalam Pengabdi Setan 2, walaupun menggunakan proses Digital Media Remastering-red)
Memang ada sejumlah peningkatan dari sisi teknis, khususnya audio-visualnya yang terasa megah saat Badarawuhi di Desa Penari ditonton dengan format IMAX, terlebih bila kita korelasikan dengan film pertamanya. Tetapi bukan berarti film ini sesuai dengan apa yang diharapkan penonton.
Bicara mengenai materi filmnya sendiri, ada perbedaan signifikan di antara kedua film ini. Narasi Badarawuhi di Desa Penari yang disutradarai Kimo Stamboel, cenderung mudah diikuti dan tidak perlu berpikir keras dalam mencerna filmnya, sama halnya seperti film pertamanya.
Berbanding terbalik dengan Siksa Kubur yang disutradarai Joko Anwar. Film horor terbarunya yang ke-10 ini memang berbeda dari semua film horor yang pernah dirilis di Indonesia. Gayanya bertutur cenderung mendekati “arthouse film”, Siksa Kubur membutuhkan cara berpikir yang ‘out of the box’ dan pemahaman personal yang lebih baik untuk mencerna apa yang disodorkan film ini.
Terkadang perlu menonton lebih dari sekali bagi kita yang belum terbiasa melihatnya atau lewat diskursus di antara penikmat film. Namun, bukan berarti film seperti ini tidak bisa meraup banyak penonton. Tapi apakah Siksa Kubur juga sesuai harapan? Belum tentu juga. Sejumlah pro-kontra malang melintang berseliweran di jagat maya terkait film ini.
Yang perlu kita cermati lebih jauh adalah jumlah penonton di hari pertama membuktikan kalau Siksa Kubur mampu bersaing dengan selisih tipis. Artinya apa? Dengan materi promosi menarik yang jauh-jauh hari telah disusun sedemikian rupa, film ini bisa meraih atensi calon penontonnya.
Bila cara ini dilakukan dengan sistematis dengan daya tarik tertentu, film apapun tentu bisa meraih penonton yang diharapkan (tentu saja hal ini tergantung dari seberapa baik film yang dipromosikan-red).
Film sebagai media komunikasi dinyatakan berhasil jika dapat berkomunikasi dengan publik, atau dalam hal ini yaitu penonton film. Film akan dikatakan gagal mengkomunikasikan idenya jika tidak memperhatikan bagaimana cara menarik penonton.
Oleh karena itu penting bagi pelaku industri untuk mengenal karakter pasarnya dengan baik agar dapat melakukan pemasaran dengan tepat. Salah satu caranya yaitu dengan melakukan proses segmentasi pasar atau konsumen. Hal ini pernah dikatakan Putra, E.C., & Muhammad, B.S. pada tahun 2011 dalam “Analisis Psikografi Penonton Film Indonesia.”
Proses segmentasi yaitu proses membedakan pasar ke dalam kelompok-kelompok “potention costumers” yang memiliki kesamaan kebutuhan dan/atau kesamaan karakter yang memiliki respon yang sama dalam membelanjakan uangnya (Kotler, 1996, Wells dan Kamakura, 2000, Kasali, 2001, Sciffmen dan Kanukk, 2007 dalam Putra, 2011).
Segmentasi konsumen juga didefinisikan berdasarkan pertimbangan deskripsi karakteristik dan perilaku. Karakteristik tersebut meliputi geografis, demografis, dan psikografis konsumen. (Suwarto, 2016). Sedangkan perilaku mempertimbangkan respon konsumen terhadap karakteristik produk, manfaat, cara penggunaan, atau merek.
Menurut Manuel Cuadrado dan Marta Frasquet dalam makalahnya yang berjudul “Segmentation of Cinema Audiences: An Exploratory Study Applied to Young Consumers” pada tahun 1999, mengatakan kalau proses segmentasi terhadap penonton film ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang konsumen (penonton) yang nantinya informasi tersebut dapat digunakan untuk menyusun strategi pemasaran (memenuhi kebutuhan penonton film dan meningkatkan kehadiran di bioskop).
Penelitian mengenai segmentasi penonton bioskop pernah dilakukan oleh Cuadrado dan Frasquet pada tahun 1999 di Spanyol. Penelitian yang dilakukan tersebut difokuskan pada segmentasi berdasarkan faktor demografis mulai dari usia, pendidikan, tingkat pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin, tempat tinggal dan tempat bioskop.
Selain itu juga ditanyakan mengenai alasan pemilihan bioskop berkaitan dengan fasilitas yang dimiliki bioskop tersebut, seperti tempat parkir, akses ke bioskop, cara pemesanan tiket, ukuran layar. Hasil penelitian menyatakan penonton bioskop terbagi menjadi tiga segmen: sosial, apathetic (ikut-ikutan) dan pecinta film.
Kemudian pada tahun 2013, Cuadrado kembali melakukan penelitian yang dipublikasikan lewat “Exploring Cinema Attendance Facilitators and Contraints, A Marketing Research Approach,” yang hasilnya menunjukkan adanya 4 segmen penonton bioskop: (i) penonton yang ke bioskop untuk rekreasi dan hiburan; (ii) penonton film yang elitis yang pergi ke bioskop yang memutar film seni; (iii) pecinta bioskop; (iv) penonton film yang menonton film untuk bersosialisasi.
Penelitian yang sama dilakukan oleh Dyna Herlina Suwarto pada tahun 2016 lewat “Analisis Segmentasi Penonton Bioskop Yogyakarta” di Yogyakarta, dan didapatkan hasil bahwa terdapat dua kelompok/segmen penonton bioskop di Yogyakarta yaitu konsumen bioskop atau mereka yang menonton film untuk mendapatkan pengalaman, hiburan dan mengembangkan hubungan sosial, kedua yaitu pecinta film atau mereka yang menonton film untuk mendapatkan pengalaman baru dan nilai kehidupan moral.
Sejumlah penelitian di atas tentu saja nanti perlu ditelaah lebih jauh lewat data-data empiris, terlebih mengenai berapa jumlah penonton untuk 4 segmen di atas.
Tentu saja data-data ini harus kita kaitkan dengan dua film horor Indonesia terbesar yang tayang di waktu yang bersamaan. Semoga saja, persaingan yang sehat antara Siksa Kubur dan Badarawuhi di Desa Penari ini bisa menjadi awal yang bagus untuk perkembangan film Indonesia ke depannya.