Review Indiana Jones and the Dial of Destiny (2023)

Penutup yang Indah dan Emosional dari Indiana Jones di Film Terakhirnya

indiana jones ed1

© LucasFilm

“I don’t believe in magic. But a few times in my life, I’ve seen things. Things I can’t explain. And I’ve come to believe it’s not so much about what you believe, it’s how hard you believe it,” – Indiana Jones (Indiana Jones, 2023)

Akhirnya seri Indiana Jones ke-5, yang juga merupakan film terakhir yang dibintangi Harrison Ford mencapai finalnya. Film yang diberi judul Indiana Jones and the Dial of Destiny ini menjadi penutup waralaba yang sudah  dimulai tahun 1981 saat Raiders of the Lost Ark pertama kali dirilis dan memperkenalkan arkeolog yang juga pengajar, sekaligus pemburu artefak terkenal ini ke hadapan dunia.

Petualangannya yang seru dan aksinya yang menegangkan di beberapa tempat eksotik di banyak negara, menjadi pembeda film ini dari film-film sejenis yang bahkan tidak bisa melampaui kebesaran nama Indiana Jones, yang hingga 40 tahun lebih masih saja mempunyai fans berat yang cenderung militan di seluruh dunia.

Kini, di film kelimanya, kita akan melihat sejauh mana film ini akan menjadi penutup yang indah bagi Harrison Ford yang diusianya yang ke-81, menjalani rangkaian adegan aksi non-stop yang berbahaya dan menguras fisik di usia senjanya tersebut.

© LucasFilm

Sinopsis

Film ini dimulai di sebuah museum saat kekuasaan Hitler sudah mulai diambang kejatuhan pada Perang Dunia II tahun 1944. Tampak pasukan Nazi yang dipimpin Kolonel Weber (Thomas Kretschmann) dan koleganya seorang ilmuwan, Jürgen Voller (Mads Mikkelsen) sedang mengumpulkan artefak penting, terutama artefak yang mempunyai kekuatan luar biasa supaya sang Fuhrer atau Adolf Hitler bisa memperoleh kekuatan dalam menjalankan misinya menaklukkan banyak negara.

Indiana Jones dan rekannya Basil Shaw (Toby Jones) berusaha mencegah banyak artefak agar tidak dijarah Nazi. Mereka juga menemukan kalau Jürgen Voller, mendapatkan Antikythera yang ditemukan Archimedes, sebuah perangkat yang mampu melakukan perjalanan waktu.

25 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1969, saat tiga astronot berhasil mendarat di bulan, Indiana Jones baru saja memasuki masa terakhirnya mengajar karena sudah pensiun.

Indy merasa tidak nyaman saat tahu kalau pemerintah AS telah merekrut mantan Nazi untuk membantu mengalahkan Uni Soviet dalam perlombaan luar angkasa yang dilakukan saat era 50-60an.

Voller, yang di Amerika mengubah namanya menjadi Schmidt, menjadi anggota NASA dan terlibat dalam program pendaratan Apollo di Bulan, ingin kembali ke masa lalu di era Nazi berkuasa, dan memperoleh kekuasaan lebih.

© LucasFilms

Namun, Voller harus mendapatkan Antikythera yang disimpan Jones di kampusnya dan kini Indy ditemani anak perempuan Basil dan juga putri baptisnya, Helena Shaw (Phoebe Waller-Bridge), menemani Jones dalam perjalanannya mencari potongan Antikythera atau Archimedes Dial di tempat asalnya.

Kembali (lagi) ke Nazi dan menggunakan pakem kesuksesan yang telah teruji sebelumnya

Setelah film keempatnya yang berjudul Indiana Jones and the Kingdom of the Crystal Skull menerima rating terendah di sepanjang waralaba, Sutradara James Mangold, yang sukses lewat film-filmnya seperti Logan (2017) dan Ford v Ferrari (2019), memutar otak agar film kelima yang disutradarainya tidak mengulang kesalahan yang sama seperti halnya film keempat.

Ia memasukkan Phoebe Waller-Bridge sebagai putri baptis Indy yang sudah lama tak ia jumpai. Kehadiran Phoebe seperti Helena berperan sebagai karakter penyeimbang, yang lebih energik, penuh pesona dan bisa menempatkan dirinya di dalam situasi apapun. Peran Helena ini sekilas mengingatkan kita akan istri Indy, Marion yang bermain di Raiders of the Lost Ark dan Kingdom of the Crystal Skull.

Elemen penting lainnya yang dimasukkan Mangold adalah kembalinya Nazi sebagai antagonis utama di film ini. Setelah Spielberg menggunakan Uni Sovyet sebagai musuh utama di Kingdom of the Crystal Skull dirasa tidak berhasil, di film kelima ini, the Dial of Destiny kembali lagi ke formula aslinya yang terbukti lebih diterima fans setianya.

© LucasFilms

Visualisasinya mengingatkan kita akan versi klasiknya

Beberapa tampilan di film ini memang terasa memorable dan mengingatkan kita terhadap versi klasiknya. Tone warnanya, pengambilan gambarnya yang dinamis, adegan aksinya yang rapi dan menegangkan, serta transisi tampilan grafis perjalanan yang dilakukan Indy di beberapa negara.

Semua itu dipadukan dengan narasi dan karakter baru, menjadikan The Dial of Destiny serasa dejavu saja bagi penggemar setianya yang bahkan sudah menonton Indiana Jones berkali-kali. Terlebih untuk adegan kereta. Adegan 25 menit di kereta ini merupakan elemen yang menjadi pujian banyak kritikus karena proses de-aging Indiana Jones yang usianya sama seperti ia bermain di tiga film pertamanya. Teknologi memudakan wajah ini memang mengagumkan dan akan membuat audiens terlempar ke masa lalu saat film ini pertama kali dibuat.

Cineverse bahkan mengagumi tiga set piece panjang yang ada di film ini. Pertama ada di prolog film, tepatnya di era Nazi saat adegan berlangsung di kereta. Kedua, yang termasuk mengagumkan, saat Indy menaiki kuda sambal dikejar motor dan mobil di tengah kota New York saat parade dan berlanjut hingga ke kereta bawah tanah.

Yang terakhir adalah saat adegan kejar-kejaran tuk tuk di Tangier, Maroko yang sangat menegangkan.

Penutup yang sempurna bagi Harrison Ford sebagai Indiana Jones

Indiana Jones and the Dial of Destiny memang sangat tepat menjadi penutup yang manis bagi Harrison Ford berperan sebagai Indiana Jones. Lebih dari 40 tahun, karakter Indiana Jones sangat melegenda namanya dan menjadikan karakter ini pop culture ikonik bagi kita pecinta film.

Tentu kita mengharapkan sesuatu yang lebih di dalam film terakhirnya ini. Yang menjadikan film ini beda adalah kehadiran dua pemain lawasnya yang pernah menemani Indy di dua film Indiana Jones. Pertama adalah Marion Ravenwood (Karen Allen) yang merupakan istri Indy dan membintangi Raiders of the Lost Ark dan Kingdom of the Crystal Skull.

© LucasFilms

Dan yang kedua adalah Sallah (John Rhys-Davies) yang membantu Indy mencari dana atau apapun yang bisa ia lakukan saat di Raiders of the Lost Ark dan The Last Crusade.

Bagaimana peran keduanya di film ini? Mungkin tak seperti yang diharapkan banyak orang. Adegan memang tak banyak, tapi dialognya terasa sangat emosional bagi mereka yang pernah menonton tiga film pertamanya. Dan di film ini, keduanya menjadi penutup indah yang mengharubiru terhadap karakter Indiana Jones yang sudah menemani kita selama 4 dekade.

Kesimpulan

© LucasFilms

Cineverse mengagumi kualitas film ini secara keseluruhan. Walaupun belum sebaik Indiana Jones and the Last Crusade atau Raiders of the Lost Ark, film ini jauh berada di atas Indiana Jones and the Kingdom of the Crystal Skull.

Semua yang kita inginkan dari sebuah film adventure, ada semua di sini. Aksi laga menegangkan, set-piece yang dieksekusi sangat baik, skoringnya yang sempurna, begitu pula dengan sinematografinya yang indah, dan drama yang ditampilkan menyentuh rasa emosi kita. Kekurangannya terasa minor, dan di durasinya yang mencapai 2,5 jam, film ini bahkan sama sekali tidak terasa membosankan.

 

Director: James Mangold

Cast: Harrison Ford, Phoebe Waller-Bridge, Antonio Banderas, John Rhys-Davies, Shaunette Renée Wilson, Thomas Kretschmann, Toby Jones, Boyd Holbrook, Olivier Richters, Ethann Isidore, Mads Mikkelsen, Martin McDougall, Alaa Safi.

Duration: 154 Minutes

Score: 8.6/10

WHERE TO WATCH

The Review

Indiana Jones and the Dial of Destiny

8.6 Score

Indiana Jones and the Dial of Destiny mengisahkan perjalanan Indy mencari Antikythera milik Archimedes yang dapat mengubah jalannya sejarah

Review Breakdown

  • Acting 8
  • Cinematography 9
  • Entertain 9
  • Scoring 9
  • Story 8
Exit mobile version