If you travel, where would you go? I dont want to go anywhere. I’ve been everywhere. – Josée
Akhir tahun 2020 kita disuguhkan film romansa dari Korea. Ia adalah “Josée”, yang dibintangi oleh Nam Joo Hyuk. Aktor yang satu ini lagi naik daun berkat perannya sebagai karakter Nam Do San di serial “Start Up”.
Di sini Joo Hyuk beradu akting dengan Han Ji Min dalam sebuah kisah cinta antara dua insan yang berbeda. Seorang wanita yang lumpuh kakinya bernama Josée (Han Ji Min) ditolong oleh seorang mahasiswa yaitu Lee Yeong Seok (Nam Jo Hyuk). Lee sampai menghantarkan Josée menggunakan gerobak ke rumahnya Josée yang sederhana.
Lee pun kemudian tahu bahwa Josée ini tinggal tidak bersama orang tuanya, melainkan sama seorang nenek yang bekerja mengumpulkan barang bekas. Kemudian Josée juga memiliki hobi yang menarik seperti mengumpulkan botol anggur. Lalu Ia juga suka membaca buku. Rasa peduli yang pun muncul dari Lee dan nantinya akan semakin berkembang.
Kisah cinta antara dua manusia yang berada di kondisi yang sangat berbeda bukanlah hal yang baru. Pun juga dengan value akhir film juga bukanlah sesuatu yang baru untuk diomongin dalam sebuah film romansa. Ini sebenarnya yang menjadi problem untuk “Josée”. Bisa gak film memberikan sesuatu yang unik dari filmnya sehingga orang-orang bisa memiliki memori khusus? Atau kah “Josée” ini hanya menjadi film romansa lainnya yang mengaduk perasaan.
Setelah menonton, notion itu lebih masuk. Film tidak memberikan sesuatu yang baru dan mengena terhadap kisah cinta yang ada. Dua orang saling bertemu, yang satu menjadi peduli dan satunya lagi sok-sok jaim padahal nyaman, kemudian mereka jatuh cinta, bla bla bla. Cuman, cara penyajiannya ini yang sebenarnya lebih menarik untuk dibahas.
Dari awal hingga akhir, “Josée” punya pace yang sama. Segitu-gitu aja, dan ini belum tentu sebuah poin negatif buat filmnya. Pendekatan kisah cinta yang dibuat lebih realistis, lebih grounded, memang lebih pas dengan pace yang tidak cepat seperti ini. Kayak ngalir gitu aja. Konflik tentu ada, tapi itu pun tidak membuat intensitas film jadi berbeda dibanding sebelumnya.
Dan pace ini pun tidak berubah atau tidak terpengaruh sama sekali meski terdapat perbedaan cara bertutur. Di tahap eksposisi dan juga konfrontasi, film menggunakan cara tutur linier. Lurus ke depan. Nah mulai tahap resolusi, film menggunakan cara bertutur non-linier.
Cuman itu, pace-nya dibikin tetep sama, mau itu linier atau non-linier. Jadi kita bisa melihat konsistensinya, tapi di sisi lain jika pace-nya begini terus, maka akan muncul masalah besar yang dirasakan penonton.
Yup, masalah besar itu adalah bosan. Nonton film dengan pace yang sama dari awal sampai akhir, tidak ada dinamika sama sekali, bisa bikin ngantuk. Apalagi cerita yang disajikan termasuk mudah dicerna. Hal ini justru semakin membuat rasa kantuk tidak tertahankan. Hasilnya akan terlihat saat film memasuki tahap resolusi. Padahal di tahap konfrontasi ini terhitung ada lah beberapa poin yang perlu diperhatikan terkait hubungan Lee dan Josée.
Ketika film mengubah struktur ceritanya secara mendadak, ini penonton bisa aja kaget karena mereka belum siap. Kalimat “Lho kok begini?” bisa aja keluar dan itu bukan dari scene awal di mana film secara mendadak mengubah struktur penceritaannya, ya. Scene tersebut hanyalah trigger sebelum ada scene lainnya yang benar-benar bisa membuat penonton bertanya karena belum masuk mungkin ya.
Tapi jika melihat di sisi lain, perubahan struktur cerita di tahap resolusi ini bisa menjadi penyelamat juga, tepatnya dari rasa kebosanan akan kisah cinta Josée dan Lee. Kita jadi diajak untuk lebih memerhatikan, dan juga lebih mikir.
Akhirnya pun kita dapat menarik satu kesimpulan yang sebenarnya lagi-lagi, bukan sesuatu yang baru, namun cara penyampaiannya di tahap ini membuat kita jadi lebih care untuk mendapatkan dan menerima poin tersebut. Bukan tidak mungkin kita jadi invest sama karakter Lee, apalagi Nam Jo Hyuk di sini aktingnya cukup dalam.
Di sisi lain, pengungkapan dari karakter Josée ditampilkan dengan menggunakan bantuan visual akuarium. Kita akan dikasih tahu lewat dialog Josée. Bagaimana perempuan ini memosisikan dirinya, lalu mengambil sikap. Penyajian ini, mulai dari build-up hingga gong nya berhasil “nyes”.
Cuman yang akan menjadi pertanyaan banyak penonton adalah penyebabnya. Terdapat alasan yang kurang kuat dari sebuah keputusan krusial. Hal ini hanya, itu pun mungkin ya, digubris sedikit menjelang akhir tahap konfrontasi. Lalu dengan positioning bahwa hal tersebut sebetulnya adalah untuk kebaikan bersama Josée dan Lee, maka bisa jadi penonton akan membuang rasa empatinya kepada karakter Josée di akhir.
Ini pun sempat terjadi juga di pertengahan film ketika sebuah konflik muncul. Itu lah mengapa konfliknya jadi kurang gereget karena terlalu sentimentil. Di bagian akhir ini jadi lebih fatal lagi karena gak masuk akal untuk sebuah pengambilan keputusan akhir yang dramatis. Jadi walaupun akhirnya cukup tidak membosankan, “Josée” malah mendapatkan masalah yang baru.
Beranjak ke segi sinematik, film menampilkan penuansaan yang lebih gloomy. Bahkan untuk gambar yang cantik saja, dialog yang ada tetap membarikan kesan tersebut. Pengambilan keputusan yang bisa jadi muncul karena berangkat dari karakter Josée yang cacat. Gimana sih kita bisa merasakan itu tidak dimunculkan. Ngapain juga. Namun arc dari karakter yang “terkungkung” seperti ini lah yang mesti kita dapatkan, dan itu berhasil dituturkan dengan baik lewat akting meyakinkan dari Han Ji Min.
Selain itu, film juga menampilkan hal yang mungkin jarang pernah dijumpai yaitu kamar belajar. Tidak lupa, seberapa gloomy dan seberapa berat kondisi yang dialami oleh karakter pentingnya, film Korea tetap melakukan diplomasi budaya. Ini bisa dilihat dari adanya beberapa scene makan-makan.
Aspek editing menjadi bagian krusial ketika masuk ke perubahan struktur penceritaan. Film memanfaatkan aspek spasial, di mana sineas bisa memanipulasi ruang sesuai dengan konteks naratifnya. Hal ini berpengaruh dalam membuat kejutan kedua yang muncul dengan menerapkan konsep yang biasa disebut “Efek Kuleshov”.
Kesimpulan yang bisa kita ambil dari efek ini adalah dengan menggunakan sebuah kombinasi shot, seorang sineas mampu menimbulkan efek dan makna yang berbeda. Kejutan pertamanya sendiri ditampilkan lebih sederhana, dengan cut to cut yang memadukan dua shot dengan jarak kepada objek yang sangat berbeda tapi efek kejutannya lumayan juga itu hehehe…
Cuman balik lagi. Ini tidak serta merta membuat film secara keseluruhan dapat terselamatkan. Turning point kedua yang sangat lemah membuat “Josée” masih menyisakan sesuatu yang kurang gereget dari kisah percintaan yang ditampilkan. Pembawaannya yang sudah natural namun masih belum akurat. Penceritaannya yang selain tidak memberikan suatu konflik yang bisa membuat mata terfokus pada cerita juga kurang oke dalam mengubah situasinya. Terkesan sangat datar dari awal hingga akhir.
Pada bagian akhir, emotional shifting-nya lebih terbantu sama aspek sinematik. Chemistry Han Ji Min dan Nam Jo Hyuk oke. Di adegan krusial mereka bisa “deliver” walau kurang disokong oleh pondasi yang kokoh. “Josée” adalah sebuah film tentang kenangan masa-masa indah yang tidak ingin terlihat indah. Karena indah sendiri adalah sesuatu yang universal, dan tidak hanya sebatas tampilan semata.
Director: Kim Jong Kwan
Cast: Nam Jo Hyuk, Han Ji Min, Park Ye Jin, Yoon Hye Ri, Heo Jin, Lee Sung Wook
Duration: 117 Minutes
Score: 7.0/10
WHERE TO WATCH
The Review
Josée
'Josée' menceritakan Young-seok, seorang mahasiswa yang hampir lulus, bertemu dengan seorang wanita di jalan yang jatuh dari kursi rodanya, dan membantunya kembali ke rumah.Dia akhirnya memberinya makan sederhana dan dia mengembangkan keingintahuan yang samar-samar untuk wanita ini yang memperkenalkan dirinya sebagai "Josée".Dan sejak saat itu, Young-seok sesekali mampir ke rumah Josée, mengenal wanita yang banyak membaca ini, memiliki pengetahuan yang luas tentang wiski, dan menceritakan kepadanya berbagai cerita, yang dia tidak yakin benar.Secara bertahap, mereka datang untuk berbagi cinta yang tak terlupakan.