Review 24 Jam Bersama Gaspar (2024)

Mencari Teman Masa Kecil yang Hilang di Tengah Perdebatan Antara Kebaikan dan Kejahatan

24 jam bersama gaspar

© Netflix

“Kita tidak menunggu waktu yang pas untuk mati. Kita bisa mati kapan saja dan tak perlu repot merencanakannya,” – Gaspar (24 Jam Bersama Gaspar, 2024)

Salah satu film unggulan Indonesia yang tayang di Netflix akhirnya akan tayang serentak di seluruh dunia pada 14 Maret 2024. Film dengan judul 24 Jam Bersama Gaspar merupakan film bergenre drama kriminal yang disutradarai oleh Yosep Anggi Noen, dan dialihwahanakan dari novel tahun 2017 berjudul sama karya Sabda Armandio.

Film ini pertama kali tayang perdana di Festival Film Internasional Busan ke-28 pada 6 Oktober 2023, dan Cineverse diundang hadir dalam Gala Premiere yang diadakan di Jakarta (8/3) dan dihadiri jajaran pemain beserta sutradara dan produser.

© Netflix

Sinopsis

Jakarta, di masa depan yang tidak terlalu jauh dari masa kini, di mana beberapa bagian kotanya telah digenangi air, lewatlah Gaspar (Reza Rahadian), seorang detektif partikelir yang mengendarai motor customnya berwarna merah.

Gaspar yang sedang menyelidiki kasus pembantaian massal, tampil keren dengan jaket kulit dengan bordir naga di bagian belakangnya. Namun, pandangannya kini teralihkan kepada satu toko emas milik Wan Ali (Iswadi Pratama) di jajaran ruko yang semua penyewanya sudah tidak ada. Di toko emas itu ia akan berusaha mencuri kotak hitam yang konon katanya akan membuat kaya pemiliknya.

Di sela-sela pengintaiannya itu, sekelebat adegan mundur di saat dia masih berusia 11 tahun, di mana Gaspar kecil (Ali Fikry) tampak kesepian dan kemudian ia berkenalan dengan tetangganya, Kirana (Shofia Shireen).

Namun, suatu hari Kirana menghilang di saat ia sudah tidak tinggal di situ lagi. Dua puluh tahun lebih kemudian, Gaspar tetap berusaha mencari Kirana dan tidak putus asa untuk menemukannya kembali.

© Netflix

Yang membuat pencarian itu sulit dilakukan adalah ternyata Gaspar mempunyai komplikasi kesehatan sejak lahir, di mana jantungnya berada di sisi kanan tubuhnya, dan dokter memvonis kalau ia hanya punya waktu 24 jam lagi sebelum ia mati.

Diburu oleh waktu, Gaspar mulai mengumpulkan tim untuk merampok toko emas Wan Ali, mulai dari Agnes (Shenina Cinnamon), Kik (Laura Basuki), Njet (Kristo Immanuel), Yadi (Sal Priadi), Ibu Tati (Dewi Irawan).

Siapa mereka? Cineverse tidak akan memberikan spoiler, karena akan terlalu panjang nantinya bila diulas satu per satu (kecuali bagi mereka yang telah membaca novelnya). Hanya satu yang bisa dikatakan, mereka secara langsung atau tidak langsung terkait dengan Wan Ali.

Berhasilkah mereka merampok toko emas Wan Ali dan menemukan apa yang dicari Gaspar? Apakah setelah perampokan ini Gaspar akan mati karena waktunya telah habis?

Premis sederhana dengan alur maju mundur

Film ini sebenarnya memiliki premis sederhana yang dihadirkan lewat karakter protagonis Gaspar yang ingin menyelamatkan teman masa kecilnya, Kirana, sebelum ia mati dalam waktu 24 jam. Namun, proses mengumpulkan tim yang bisa menolongnya, tak semudah yang ia bayangkan.

© Netflix

Kita akan dikenalkan lewat kilas balik yang cukup panjang di saat masa kecil Gaspar bersama Kirana dan Kik yang muncul dengan tone cerah berwarna pastel. Sangat kontras dengan keadaan Gaspar masa kini yang dihadirkan dengan tone kelam dan suram.

Sebuah visualisasi yang semestinya memudahkan penonton dalam merangkai adegan yang coba disampaikan Anggi dalam filmnya kali ini.

Referensi pop culture yang berserakan di mana-mana

Bagi mereka yang belum membaca novelnya, mungkin tidak akan merasa kesulitan, karena versi layar lebar ini lebih mudah dipahami ketimbang versi novelnya yang jauh lebih absurd dan liar. Di 24 Jam Bersama Gaspar, banyak iterasi pop culture populer yang berserakan, dan di antaranya bisa langsung dikenali.

Dimulai dari pemilihan nama Gaspar yang sepertinya juga merujuk kepada sutradara kenamaan Argentina-Italia ternama, Gaspar Noe, yang filmnya tergolong gelap dan vulgar. Begitupun juga dengan Cortazar, nama yang sejatinya diambil dari novelis Argentina-Prancis, Julio Cortazar, sebuah nama yang terdengar sangar dan cocok diimplementasikan dalam wujud motor custom.

Beberapa adegan, seperti adegan perkelahian di bawah tanah yang identik dengan Fight Club (1999), atau nuansa distopian yang gelap dan kelam, mengingatkan kita akan salah satu masterpiece John Carpenter, Escape from New York (1981).

Pemilihan senjata rakitan yang digunakan Gaspar dan timnya terlihat mengacu kepada gaya steampunk yang sangat lekat pada saga Mad Max yang pertama kali diinisiasi George Miller sejak 1979. Dan skoring yang dibuat Ricky Lionardi di film ini, mengingatkan kita pada musikalitas Morricone dengan sentuhan Tarantino, yang di luar dugaan bisa menyatu dengan adegannya.

Sosok Gaspar yang berjaket hitam dengan bordir naga merah di belakangnya dan sempat menjadi ilustrasi cover novel saat pertama kali diterbitkan, sekilas mengingatkan kita pada sosok Ryan Gosling di Drive (2011), hanya saja jaket Ryan Gosling berwarna putih dengan bordir kalajengking berwarna keemasan.

Belum lagi topeng luchador yang digunakan tim saat merampok toko emas. Apakah semua hal telah disebut di atas disengaja? Bisa saja, tapi itu bukanlah masalah penting di film ini. Masalah terpenting adalah apakah kita sebagai penonton awam bisa mengerti film ini secara keseluruhan?

© Netflix

Elemen penting dalam novelnya masih dipertahankan

Dio yang dalam novelnya sangat gemar atau lebih tepatnya iseng saat menamai sesuatu dengan hal-hal yang disukainya dan kemudian mencampuradukkannya.

Contoh paling jelas adalah Cortazar, motor Kawasaki tahun 1976 milik Gaspar (dalam filmnya, Gaspar terlihat menggunakan mesin Minerva dengan body custom), yang di novelnya konon dirasuki jin citah dan punya kemauan sendiri dalam menentukan sendiri rute jalan yang dilewatinya.

Yang akan membuat kita kaget adalah, Arthur Harahap yang hadir dalam pengantar novelnya pun ternyata juga dimunculkan dalam buku yang dibaca Gaspar kecil.

Nama ini sepertinya merupakan manifestasi sang pengarang atau metafiksi yang tampaknya mewakili semua stereotip penulis besar Indonesia, seperti misalnya Sitor Situmorang atau setidaknya Arthur Conan Doyle. Dan yang terpenting, nama Arthur Harahap mudah sekali diingat dan kesannya sangat ‘besar’.

Isi kotak hitam yang mengejutkan

Bagian penting di akhir konklusi film sepertinya akan membuat bingung banyak orang. Tak terkecuali saat gala premiere kemarin, banyak yang bingung saat melihat isi kotak hitam itu. Karena di kotak hitam itu, Gaspar justru bertemu Kirana dalam bentuk mini di dalam kotak tersebut. Cineverse akan mencoba menjawab teka-teki kotak hitam tersebut.

Apa yang dilihat Gaspar tersebut sebetulnya merupakan analogi ‘kumbang dalam kotak’ ala Ludwig Wittgenstein yang muncul dalam Philosophical Investigations (1.293). Setiap orang mempunyai sebuah kotak yang hanya mereka sendiri yang dapat melihatnya.

Setiap orang mendeskripsikan apa yang mereka lihat di dalam kotak sebagai “kumbang”. Seiring berjalannya waktu, orang-orang membicarakan apa yang ada di dalam kotak mereka, dan kata “kumbang” melambangkan apa yang ada di dalam kotak setiap orang.

Wittgenstein menggunakan analogi ini untuk menunjukkan bahwa kumbang sangat mirip dengan pikiran seseorang. Tidak ada seorang pun yang tahu persis bagaimana pikiran orang lain. Hanya yang melihatnya saja yang tahu apa yang ingin dia lihat.

Kesimpulan

© Netflix

Dialog-dialog yang muncul di 24 Jam Bersama Gaspar sekilas memang tampak ringan, namun sesungguhnya sangat berbobot dan mengayakan, seperti ketika Gaspar mempertanyakan moralitas dan kecenderungan manusia untuk berbuat jahat.

Seorang protagonis sarkas yang penuh ironi, di mana ia bisa menyeret dirinya ke sebuah plot kriminal konyol dengan latar yang serba absurd. Dialog para karakternya memang terlihat penuh canda satir sekaligus nampak bodoh dalam waktu yang bersamaan.

Gaspar memang bukan tipikal detektif konvensional seperti pada umumnya, dan film ini sekaligus mengkritisi cerita detektif yang sering kita lihat atau baca.

Sejumlah keresahan dimunculkan karakternya terkait apa kebaikan dan keburukan yang sesungguhnya.

Hal ini sejalan dengan apa yang pernah dikemukakan Nietzsche dalam bukunya Beyond Good and Evil, di mana gagasan kejahatan yang bersifat reaktif, berasal dari tiadanya kebaikan atau penolakan terhadap kebaikan.

Gagasan tentang kebaikan seharusnya dibangun secara kultur, bukan ‘benar’ secara inheren. Manusia memang sangat naif terhadap pengertian baik dan buruk. Masyarakat hanya melihat bahwa ‘baik’ seharusnya baik secara utuh. Tidak menerima cacat sedikitpun. Baik akan selalu menjadi baik.

Begitu pula sebaliknya, buruk akan selalu menjadi buruk. Kita selalu menjustifikasi kepada yang terlihat saja. Bila kejahatannya terlihat, maka orang tersebut akan selalu dilabeli sesuai kejahatannya, tanpa peduli faktor lain yang mengikutinya.

Nonton 24 Jam Bersama Gaspar mulai 14 Maret 2024, eksklusif hanya di Netflix.

 

Director: Yosep Anggi Noen

Cast: Reza Rahadian, Shenina Cinnamon, Laura Basuki, Kristo Immanuel, Sal Priadi, Dewi Irawan, Iswadi Pratama, Ali Fikry, Shofia Shireen, Landung Simatupang

Duration: 98 Minutes

Score: 7.6/10

WHERE TO WATCH

The Review

24 Jam Bersama Gaspar

7.6 Score

24 Jam Bersama Gaspar mengisahkan Gaspar, seorang detektif partikelir yang mencari teman masa kecilnya Kirana yang hilang selama 20 tahun

Review Breakdown

  • Acting 8
  • Cinematography 7
  • Entertain 7
  • Scoring 8
  • Story 8
Exit mobile version