The worst part of having a mental illness is people expect you to behave as if you don’t. – Artur Fleck (Joker)
Ketika pertama kali mendengar kabar bahwa proyek solo si villain kota Gotham ini akan diproduksi, tak pelak banyak dari kita yang merasa was-was dan ragu banget. Tak mengherankankan.
Pasalnya walau Joaquin Phoenix (Gladiator) sudah terbukti sebagai sosok aktor yang sangat mumpuni dalam setiap perannya, tetap saja audiens masih belum bisa move-on dari penampilan masterpiece Joker milik Heath Ledger di The Dark Knight (2008).
Namun seluruh keraguan tersebut langsung tergantikan dengan rekah senyum harapan ketika cuplikan trailer-nya dirilis beberapa bulan yang lalu. Melihat cuplikan trailer-nya yang menampilkan ketidaknyamanan seringai senyumnya dan tentunya kegokilan suara tawa khas Joker-nya, alhasil membuat kamipun menjadi sangat hype dan intriguing untuk menyaksikan film arahan Todd Phillips (The Hangover) ini.
Dan ketika akhirnya menyaksikan, kamipun keluar dari pintu teater dengan perasan yang sangat “jleb” di dada ini. Tidak hanya filmnya sangat emosional, namun Joker tak dipungkiri, jugalah merupakan salah satu film terbaik yang dirilis di tahun 2019.
Sinopsis Joker
Arthur Fleck (Phoenix) bukanlah sosok pria yang kaya raya. Ia bersama sang ibu Penny (Frances Conroy) adalah keluarga kelas menengah bawah yang tinggal di salah satu apartemen yang sangat kumuh di pinggiran kota Gotham. Sedangkan sang ayah, sayangnya tidak diketahui lagi secara pasti keberadaannya.
Kondisi yang sudah miris tersebut kian diperparah dengan kondisi kesehatan Arthur yang mana, ia menderita kondisi yang sangat unik yaitu, tidak bisa menahan tertawa. Setiap tertawa, ia akan terus tertawa terbahak-bahak hingga tawanya yang kerap disalahartikan tersebut benar-benar berhenti.

Seakan kedua kondisi tersebut belum cukup menyiksanya, pria kurus jangkung ini juga harus menghadapi perundungan (bully) baik oleh anak-anak bocah yang kerap mengganggunya ketka ia bekerja sebagai badut penjual, maupun warga-warga Gotham lainnya yang kerap salah paham dengan kondisi kesehatannya.
Awalnya Arthur pasrah saja dengan perlakuan mengesalkan yang diterimanya ini. Akan tetapi, semuanya berubah total ketika di suatu malam ia berhadapan dengan situasi perundungan bergerombol di dalam kereta yang ditumpanginya. Dan setelah mengalami perubahannya ini, Arthur pun kini menjadi sosok yang jauh lebih berani dan tentunya lebih berbahaya dari sebelumnya.
Seperti yang dikatakan di sebelumnya, ketika dan setelah menyaksikan filmnya, rasa ikut terpukul dan tersakitinya Arthur benar-benar kami rasakan juga hingga ke sekujur tubuh. Kami merasa sakit dan sedih banget ketika melihat penderitaan yang dideritanya.
Pembahasan Tentang Isu Sosial
Dan walau Cilers mungkin tidak pernah di-bully sekalipun, kami yakin kamu juga akan merasakan hal yang serupa ketika menyaksikannya. Namun di tengah rasa simpatik tersebut, uniknya kita juga sadar bahwa tindakan main hakim sendiri yang nanti dilakukannya terhadap mereka-mereka yang dulu pernah menyakitinya, adalah tindakan yang salah banget.
Intinya sekali lagi, kita tahu bahwa tindakan yang dilakukan Arthur memang salah banget tapi uniknya, tindakannya tersebut masih bisa kita “maklumi”. Dan kekonflikan perasaan yang sangat jenius ini tentunya difaktori oleh kejeniusan naskah dan pengarahan Phillips.
Selain itu, hal lain yang membuat pengarahan pria asal Brooklyn ini begitu jenius adalah dikarenakan kehebatan dirinya yang mampu menyajikan filmnya sebagai film studi karakter alias, bukan hanya sekedar sebagai film adaptasi karakter superhero seperti yang dilakukan oleh MCU maupun DCEU.

Kajian yang ditampilkan sukses membuat kita kembali bernostalgia ketika menyaksikan film milik si legenda, Robert DeNiro (yang kita ketahui juga tampil di film ini sebagai Murray Franklin), Taxi Driver (1976). Dikatakan demikian karena film hit tersebut, memiliki tone plot yang cukup serupa seperti Joker.
Dan faktanya, Phillips sangat banyak meminjam (bahkan copy paste) beberapa elemen film ikonik tersebut ke dalam Joker. Faktor ini tak pelak akan menjadi nilai yang sangat negatif bagi beberapa audiens / fans. Walau demikian, Joker untungnya masih bisa terlihat sebagai filmnya sendiri.
Perubahan Mental Seorang Artur Fleck Menjadi Joker
Selain faktor kejeniusan Phillips, adalah penampilan Phoenix sebagai si badut gila yang semakin membuat keambiguan rasa kedukungan kami semakin kalut saja. Phoenix benar-benar cemerlang dalam menghidupkan seluruh penderitaan fisik dan mental yang dialami oleh Arthur.
Setiap tawa, kekesalan, kesedihan, dan bahkan ketika sedang berbicara dengan nada pelan pun, sukses membuat seluruh tubuh benar-benar terasa merinding banget. Saking bagusnya, tak mengherankan apabila di review-review awal, banyak yang mengatakan kalau penampilannya sukses mengimbangi bahkan melebihi penampilan “sejuta umat” milik Ledger.
Namun menurut kami, ada baiknya kita tidak usah membanding-bandingkan penampilan keduanya. Karena versi Joker yang dimiliki oleh keduanya sangatlah berbeda. Yang satu lebih anarkis, sedangkan yang satu lebih simpatik.

Tetapi kalau memang masih ingin membandingkan juga, well itu semua terserah kamu Cilers. Yang jelas, penampilan Phoenix tidak hanya merupakan penampilan Joker terbaik yang pernah ada, namun juga merupakan penampilan aktor terbaik di tahun 2019 ini.
Apabila di perhelatan Oscar tahun 2020 mendatang Phoenix tidak membawa pulang penghargaan aktor terbaiknya, entahlah kami harus berkata apalagi. Pada akhirnya, Joker bukanlah sekedar film adaptasi penjahat ikonik Batman saja.
Film ini merupakan bentuk penggambaran realita gamblang terhadap potensi perubahan mental (mind set) dari mereka-mereka yang kerap dirundung di tengah kondisinya yang sangat menyedihkan.
Walau memang angka pembunuhan akibat di-bully masih cukup jarang, namun kenyataannya hal tersebut juga lumayan banyak terjadi di luar sana. Dan setelah menyaksikan filmnya ini, tentunya sangat diharapkan agar ke depannya, film ini bisa dijadikan bahan studi atau refrensi untuk menekan jumlah perundungan yang kian banyak dan menggila saja dari hari ke hari.
Kesimpulan
Bagi Cilers yang mungkin hingga tulisan ini diturunkan masih belum menyaksikan, Joker tak dipungkiri sangat wajib untuk segera kamu saksikan. Dijamin selain puas, setelah menyaksikan filmnya, rasa empati yang kamu miliki akan kian mantap saja.
Oh ya jangan lupa untuk tidak membawa anak atau keponakan yang masih kecil ya! Karena selain menampilkan sedikit unsur kekerasan, Joker juga memiliki tema kisah yang super sensitif yang memang hanya patut disaksikan oleh kita-kita yang dewasa saja. Jadi berbijak-bijaklah Cilers!
Director: Todd Phillips
Starring: Joaquin Phoenix, Zazie Beetz, Robert DeNiro
Duration: 122 Minutes
Score: 9.0/10
WHERE TO WATCH
The Review
Joker (2019)
Arthur Fleck, seorang badut pesta, hidup dalam keadaan sulit bersama ibunya yang sakit-sakitan. Karena orang-orang menganggapnya aneh, ia memutuskan untuk berubah menjadi jahat dan membuat kekacauan.