Review Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021)

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas Menceritakan Tentang Jejak Racun dari Era 80-an: Absurditas, Maskulinitas, dan Otoritas Rezim

seperti dendam rindu harus dibayar tuntas

© Palari Films

“Kemaluan bisa menggerakkan orang dengan biadab.” – Eka Kurniawan (Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas)

Salah satu karya yang berhasil berjaya di Festival Film Internasional Locarno, bahkan menyabet penghargaan tertinggi, Golden Leopard, yaitu ‘Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas’ telah bisa dinikmati di seluruh bioskop Indonesia. Film besutan sutradara Edwin yang berdurasi 115 menit ini digolongkan secara khusus bagi penonton berusia minimal 18 tahun.

Untuk diketahui, ‘Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas’ merupakan karya yang dialihwahanakan dari novel berjudul serupa karya Eka Kurniawan. Namun secara khusus, ulasan kali ini melepaskan dirinya dari segala detail pengisahan di dalam novel untuk mengedepankan kebijaksanaan dalam menilai pengalihwahanaan sebagai dua dunia yang berbeda dengan masing-masing dimensi yang tidak sepatutnya dibandingkan.

Pembahasan di sini berpusat dalam sudut pandang selaku penonton, bukan pembaca.

© Palari Films

Sinopsis Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

Sekilas, ‘Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas’ berkemungkinan besar membawa penonton menuju buaian nuansa asmara. Akan tetapi, siapa yang menyangka ternyata judul manis tersebut justru mengisahkan tentang sang tokoh utama yang mengalami impotensi dan adegan yang dipenuhi perkelahian serta dorongan birahi.

Dia adalah Ajo Kawir (Marthino Lio), jagoan tersohor dari Bojongsoang dengan rahasia umum tentang kemaluannya yang tidak bisa berereksi sebagaimana lelaki pada umumnya.

Keadaan itu bermula dari trauma masa kecil saat ia bersama sang sahabat, Tokek (Sal Priadi), mengintip seorang perempuan dengan gangguan jiwa bernama Rona Merah (Djenar Maesa Ayu) tengah diperkosa dua oknum polisi. Ajo Kawir bahkan dipaksa bergabung dalam pemerkosaan itu.

Untuk mempertahankan maskulinitasnya di tengah keadaan impotensi itu, Ajo Kawir menjadi sosok yang sering berkelahi, bahkan bersedia menjadi pemukul dan pembunuh bayaran karena tidak takut mati. Dari “profesi” itu, arah cerita mempertemukannya dengan sosok Iteung (Ladya Cheryl), pengawal pribadi dari target yang harus dicelakai oleh Ajo Kawir.

© Palari Films

Pertemuan yang diawali perkelahian sengit ternyata membawa mereka pada ketertarikan hati di antara satu sama lain. Meskipun sempat merasa rendah diri karena menilai impotensi yang dialaminya akan ditolak oleh Iteung, pada akhirnya mereka berhasil bersatu dalam bahtera rumah tangga.

Namun, kebutuhan seksual Iteung sebagai seorang istri yang tidak mampu dipenuhi oleh Ajo Kawir menjadi tantangan terbesar di dalam kehidupan rumah tangga mereka. Belum lagi, ada sosok Budi Baik (Reza Rahadian) sebagai pengagum Iteung.

Selanjutnya, pengendalian diri dari birahi dengan nurani, perlawanan terhadap trauma, dan pembayaran dendam secara tuntas menjadi arah utama film ‘Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas’ menuju beragam penyeleasaian konflik hingga di akhir durasinya.

Film ini membawa mata penonton menyaksikan segala bentuk pemberontakan yang lahir dari trauma dan birahi.

Pemaknaan Kehidupan: Impotensi dan Absurditas

Penjelajahan sisi terbaik dari ‘Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas’ dapat dimulai dari konsep pemaknaan kehidupan yang ditawarkan di dalamnya. Pembicaraan seputar impotensi yang dialami Ajo Kawir membawa pengulas bernostalgia pada sekumpulan pemahaman dasar terkait dunia absurditas melalui perspektif Albert Camus.

Filsuf bergaya sastrawan itu membawa konsep bahwa upaya manusia untuk memaknai kehidupan hanya akan berakhir pada kegagalan karena pada dasarnya hidup ini memang absurd, yakni tidak masuk akal. Harapan yang terpikirkan oleh manusia kerap tidak sesuai dengan kenyataan yang dihadapinya. Pada akhirnya, segala bentuk pertentangan itu harus diterima oleh manusia.

Kompleksitas yang kerap hadir di perjalanan kehidupan penuh absurditas diwakilkan oleh masalah impotensi yang dihadapi Ajo Kawir. Kemaluan Ajo Kawir yang tidak dapat terbangun adalah sebuah alegori dari harapan manusia untuk suatu kehidupan yang tenang dan damai, namun malangnya, realita bertentangan dengan konsep harapan itu.

Lelaki pada masa Ajo Kawir justru dituntut untuk mendewakan kejantanan, baik itu berkuasa di ranjang maupun jago berkelahi. Di konsep itulah Ajo Kawir diposisikan. Apakah Ajo Kawir menerima dengan lapang dada nasib absurd itu? Tidak, dia melakukan pemberontakan terhadap absurditas.

© Palari Films

Ajo memilih untuk melawan ketidakberpihakan dunia yang tidak masuk akal itu dengan mempertaruhkan nyawa sebagai seorang jagoan bayaran yang rela menghajar dan membunuh siapa pun demi menunjukkan maskulinitasnya yang sempat terkendala impotensi.

Perlawanan terhadap kehidupan yang absurd dan trauma masa lalu tidak tersembuhkan membawa dendam sebagai bentuk pembayaran. Gambaran itulah yang menjadi daya tarik terbaik ‘Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas’ untuk dikategorikan sebagai film paling “bajingan” tahun ini.

‘Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas’ berhasil mewakili keadaan para manusia yang menjajaki dunia absurditas ketika harapan dan kenyataan selalu bertentangan, tetapi upaya menyelaraskannya berujung dihadapkan pada kegagalan.

Lalu, apa yang bisa dilakukan? Terima saja, sampai keajaiban semagis kehadiran Jelita (Ratu Felisha) dalam ‘Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas’ yang sulit diterima sebagian besar logika penonton tiba. Keajaiban mistis pembawa jalan keluar bagi Ajo Kawir.

Pembangunan Karakter yang Unik dan Solid

Hal terbaik selanjutnya yang membuat ‘Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas’ menjadi “seksi” adalah keberadaan dua tokoh utamanya.

Ajo Kawir yang diperankan oleh Marthino Lio menjadi satu tubuh dan satu jiwa. Ia hadir di layar hanya untuk menjadi Ajo Kawir, sosok berandalan yang memiliki alasan untuk “boleh berdosa” karena kemaluan yang tidak bisa “bangun”. Ajo Kawir dipersilakan menjadi jagoan di panggung kelahi, sementara lelaki lain pada eranya merasa cukup menguasai ranjang, bahkan mendorong Budi Baik menjadi pengusaha minyak lintah yang sukses.

Marthino Lio berhasil menampilkan ekspresi penuh dendam dalam wajah dingin sebagaimana seorang laki-laki sedang ingin tampak hebat di tengah kendala yang sangat serius di antara sesama laki-laki.

Kegelisahan itu ditampilkan secara natural dan semakin mengesankan saat terjadi peralihan situasi yang menggambarkan bahwa dirinya lebih berlapang dada dalam menerima nasib. Gambaran itu tersampaikan secara baik kepada penonton.

© Palari Films

Penampilan yang sama memukaunya datang dari sosok tokoh Iteung yang diperankan Ladya Cheryl. Perempuan cantik yang berkarakter unik ini memiliki trauma masa lalu, dilecehkan oleh sang guru.

Pengalaman kelam tersebut menjadikan Iteung sebagai sosok perempuan yang tidak biasa. Ia menggeluti dunia perkelahian sebagai metode penyembuhan diri hingga keterampilan bela dirinya bisa disetarakan dengan kehebatan Ajo Kawir.

Ladya Cheryl menunaikan tugasnya sebagai Iteung secara memukau. Adegan-adegan perkelahian tertonton begitu nyata melalui koreografi yang bernyawa. Baik saat berkelahi dengan Ajo Kawir maupun Budi Baik, setiap pukulan yang ia daratkan kepada lawan dan bantingan terhadap tubuh kecilnya itu benar-benar dimunculkan secara nyata penuh totalitas di dalam layar.

Sosok Iteung yang menjadi perpanjangan tangan pembayaran dendam Ajo Kawir membawa narasi tentang kekuatan perempuan yang bisa menyamai, bahkan melebihi kekuatan lelaki.

© Palari Films

Meskipun begitu, rumitnya kehidupan pun tidak bisa dilepaskan dari sosok Iteung ini. Ia menyakini dengan pasti bahwa dirinya mencintai Ajo Kawir, tetapi kemaluannya memerlukan pemuasan sebagaimana mestinya. Lagi-lagi, konsep absurditas pun tidak terlepas dari Iteung. Nalar dan kenyataan yang dihadapinya bertentangan.

Ada pula Rona Merah (Djenar Maesa Ayu) yang menjadi korban dari kekuasaan jantan. Kejantanan yang diperlihatkan tanpa sisi kemanusiaan membuat Rona Merah menjadi objek pemuas nafsu seksual, bahkan di saat dirinya mengalami gangguan jiwa sekali pun. Arah maskulinitas diselewengkan sebagai alat untuk berkuasa atas perempuan.

Secara keseluruhan, tokoh utama dan tokoh-tokoh sampingan dalam film ‘Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas’ digambarkan sebagai karakter yang kuat. Namun ketika mereka dimunculkan ke dalam layar, kekuatan itu menjadi suatu harmoni yang menyajikan soliditas antarpemain.

Kehebatan Visualisasi dan Jejak Racun 80-an di Indonesia

Pembicaraan seputar kehebatan ‘Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas’ juga muncul dari tampilannya yang membawa latar waktu dari tahun ‘80 hingga ‘90-an.

‘Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas’ berhasil menyajikan pengalaman sinematik yang menakjubkan kepada para penontonnya. Gaya rambut, setelan busana, kendaraan yang berlalu lalang, bahkan kalimat-kalimat kutipan menggelitik di bak truk disorot melalui kamera analog dengan film celluloid 16mm yang membuat kehadirannya mewakili film-film yang lahir, tumbuh, dan berkembang dalam jiwa zaman antara tahun ‘80 sampai ‘90-an. Bahkan, suasana menonoton di bioskop pun dapat terasa seperti pertunjukkan layar tancap berkelas.

Kemudian, skoring menjadi elemen yang menyempurnakan pembangunan suasana serupa. Suara Rhoma Irama selalu saja berhasil terdengar pada saat yang tepat.

Tidak sampai di sana, kekakuan dialog yang mengedepankan bahasa Indonesia yang baku menjadi kekuatan penyokong yang menyempurnakan ‘Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas’ sebagai film yang lahir dari era 80-an.

© Palari Films

Begitu pula dengan adanya sentilan khas kekuasaan otoriter suatu rezim. Ada petrus atau penembak misterius dan kelakuan bejat para oknum yang seharusnya bertanggung jawab mengamankan negara. Yang dialami oleh Rona Merah sebagai muara petaka bagi Ajo Kawir menjadi representasi jejak racun di rezim yang berkuasa pada tahun 80-an.

Pada masa itu, bukanlah hanya perihal maskulinitas yang diselewengkan sebagai senjata menguasai wanita, melainkan juga persoalan-persoalan hak asasi manusia yang dikurung oleh kekuasaan atas nama kesejahteraan rakyat.

Penonton diajak untuk memahami gambaran kesewenangan seperti halnya ketika si penguasa melarang rakyat untuk melihat gerhana matahari karena dipercayai akan membutakan kedua mata, tetapi nyatanya ia telah buta terlebih dahulu di singgasana.

Lalu, apa yang bisa disoroti tentang sisi lemah film ini? Satu yang bisa digarismerahi adalah ‘Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas’ lahir sebagai karya yang mengolaborasikan hal-hal kompleks di dalamnya, mulai dari pemaknaan kehidupan, maskulinitas, dorongan birahi, kritik terhadap rezim tertentu, bahkan sentuhan supernatural.

Akan tetapi di satu sisi, hal tersebut justru rentan membawa munculnya sisi lemah. Ketika penggambaran hal yang terlalu kompleks dibatasi oleh durasi 115 menit, beberapa penonton akan cenderung mengernyitkan dahi dan mempertanyakan banyak hal di dalam pikirannya, seperti tokoh Jelita yang minim digambarkan latar belakangnya ataupun alur-alur kilas balik yang terasa muncul secara tiba-tiba.

Kesimpulan

© Palari Films

Akhir kata, dengan segala kompleksitasnya, untuk menikmati ‘Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas’ memang dibutuhkan ketenangan yang paling tenang, setenang kemaluan Ajo Kawir yang tidak bisa dibangunkan.

Dengan ketenangan itu, seluruh konflik yang bergejolak di dalam film ini akan terangkai dan memberikan pengalaman memaknai kehidupan yang luar biasa.

‘Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas’ berani memvisualisasikan perpaduan di antara persoalan impotensi, seksualitas, dan kritik terhadap rezim dengan cara yang vulgar ke dalam dunia absurd, tetapi tidak keluar dari koridor yang seharusnya.

Adegan-adegan dewasa muncul sebagaimana ia memang diperlukan untuk memperkuat jalan cerita. Isu-isu otoriter dari suatu rezim mengemuka sebagai suatu kritik, bukan penghakiman.

Dari segala penjabaran itu, film ‘Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas’ menjadi karya anak bangsa terbaik di tahun ini, setidaknya sejauh ulasan ini dibagikan. Tidak ada salahnya pula untuk ikut menikmatinya dalam wahana novel karya Eka Kurniawan.

 

Director: Edwin

Duration: 115 minutes

Cast: Marthino Lio, Ladya Cheryl, Reza Rahadian, Ratu Felisha, Sal Priadi, Djenar Maesa Ayu, Lukman Sardi, Yudi Ahmad Tajudi, Piet Pagau, Christine Hakim, Kevin Ardillova, Kiki Narendra.

Score: 8.4/10

WHERE TO WATCH

The Review

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

8.4 Score

Di rezim penuh kekerasan, kisah ini bermula dari peristiwa dua polisi memerkosa perempuan gila, dua bocah melihatnya, lalu seekor burung tertidur panjang.

Review Breakdown

  • Acting 9
  • Cinematography 9
  • Entertain 8
  • Scoring 8
  • Story 8
Exit mobile version