Review Film Cinta Pertama, Kedua & Ketiga (2022)

Kembalinya Gina S. Noer ke kursi sutradara setelah ‘Dua Garis Biru’ pada tahun 2019

“Hidup kita, kan, cuma soal ngantri kubur. Kalo ngantrinya berduaan, asik [bukan]?” – Diana (Cinta Pertama, Kedua & Ketiga)

 

Cinta Pertama, Kedua & Ketiga’ menjadi film bioskop berikutnya yang memiliki latar saat pandemi Covid-19. Setelah ‘Paranoia’ garapan Mira Lesmana keluar pada penghujung tahun 2021, awal tahun ini giliran Gina S. Noerr yang comeback ke kursi sutradara dengan membawa latar serupa.

Film ini dibintangi oleh beberapa nama yang sudah tidak asing lagi. Ada Angga Yunanda dan Putri Marino yang sama-sama baru ramai lagi namanya di internet berkat serial milik WeTV, ‘Antares’ & ‘Layangan Putus’. Selain mereka berdua, ada artis senior seperti Slamet Rahardjo dan Ira Wibowo yang juga berperan sebagai masing-masing orang tua Angga dan Putri di film.

Penulisan skrip juga digarap sendiri oleh Gina S. Noer. Terakhir, hasil tulisannya di ‘Ali & Ratu Ratu Queens’ berhasil masuk ke nominasi Festival Film Indonesia (FFI) 2021. Bahkan, di FFI 2019, ‘Dua Garis Biru’ yang juga ditulis oleh Gina memenangkan nominasi Skenario Asli Terbaik.

Bagaimana dengan ‘Cinta Pertama, Kedua & Ketiga’, ya?

Sinopsis

Hidup tanpa sosok ibu sejak kecil, membuat Raja (Angga Yunanda) dan kedua kakak perempuannya harus dirawat oleh Ayahnya, Dewa (Slamet Rahardjo), hingga dewasa. Ketika kedua kakaknya memutuskan untuk pindah dari rumah karena ikut dengan para suaminya, Raja diberi amanat untuk menjaga Ayahnya yang mulai menginjak masa-masa tua.

Dewa dan Raja susah untuk akur. Seringkali mereka terlibat cekcok karena berbeda pendapat. Terlebih lagi, mereka berdua sama-sama keras kepala. Ketika sudah beradu argumen, mereka tak kenal tempat. Termasuk di rumah sakit saat Dewa hendak diperiksa kesehatannya. 

Mereka adu mulut hingga Raja jengah dan meninggalkan Dewa sendiri. Saat berpisah, ternyata masing-masing dari mereka bertemu dengan seorang wanita yang mencuri perhatian kedua mata para pria tersebut. Mereka adalah Linda (Ira Wibowo) dan Asia (Putri Marino). Linda diketahui membuka les menari dan saat itu juga Dewa memperlihatkan ketertarikannya untuk belajar menari bersama dengannya. 

Raja yang menemani Dewa latihan menari, bertemu lagi dengan Asia. Dari situ, kisah cinta kedua orang tua mereka mulai terbangun. Perlahan-lahan, berkat frekuensi pertemuan yang semakin meningkat, perasaan Raja terhadap Asia mulai terbangun, begitupun sebaliknya. 

Iklan layanan masyarakat dalam format film

© Starvision Plus

Kreator film tampaknya harus lebih berhati-hati saat memilih situasi pandemi sebagai latar film mereka. Kita bisa lihat bagaimana pengeksekusian ‘Paranoia’ tidak dilakukan secara penuh, menjadikan latar tersebut hanya sekadar tempelan. Namun bila dieksekusinya berlebih, malah akan seperti iklan layanan masyarakat. Itulah yang terjadi di ‘Cinta Pertama, Kedua & Ketiga’.

Hampir sepertiga film dihabiskan hanya untuk memperingatkan penonton agar patuh pada protokol kesehatan. Anjuran-anjuran dasar seperti menjaga jarak, pakai masker, mensanitasi barang, hingga dilarang duduk di bagian yang diberi tanda “X”, banyak disinggung oleh pemeran di film ini. Anehnya, anjuran yang paling penting dan krusial tidak ada di film ini, yaitu mencuci tangan dengan benar. 

Tentu tujuannya baik agar masyarakat tidak lalai, tetapi apa tidak lelah mengonsumsi informasi yang sama berulang kali? 

Minim kehangatan yang ditawarkan

© Starvision Plus

Selain dominasi “iklan layanan masyarakat” yang kerap mengganggu, ‘Cinta Pertama, Kedua & Ketiga’ juga tidak begitu menonjolkan momen kehangatan yang dijanjikan. Potret seorang anak yang terpaut 47 tahun dengan bapaknya, mengharuskan mereka beradaptasi untuk bisa menyesuaikan kebiasaan masing-masing. Adu mulut menjadi hal yang biasa ketika menyaksikan Dewa dan Raja di film ini.

Bukannya menemukan jalan tengah untuk segera rujuk, sepanjang film Dewa dan Raja (kadang ada kedua kakaknya) tidak pernah ditunjukkan menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Mereka berdua sama-sama keras kepala dan cenderung tidak mau menerima pendapat orang lain. Keputusan membiarkan Dewa untuk ikut kelas menari Linda juga menjadi bahan perdebatan sengit Raja dengan kakak-kakaknya. Mereka takut kalau Ayahnya terkena COVID-19.

Dewa juga beberapa kali menunjukkan kekerasan kepalanya sampai Raja pasrah tidak tahu bagaimana cara menghentikan Ayahnya. Berkali-kali Raja mengingatkan Dewa untuk tidak menyetir lagi, namun sang Ayah tetap kekeuh kalau ia masih bisa menyetir dengan baik. 

Inkonsistensi masalah

© Starvision Plus

Kehadiran Linda dan Asia juga sebenarnya tidak begitu membantu suasana. Mereka malah membuat problematika seakan sirna ketika Linda dan Asia hadir untuk mereka. Cinta bak sebuah pelarian seorang Ayah dan anaknya. Buktinya, masalah yang sedari awal film sudah disinggung, mengenai Dewa yang sudah semakin tua dan Raja yang tidak bisa hadir setiap saat, menjadi jarang disinggung karena adanya Linda dan Asia.

Linda dan Asia juga tidak diminta untuk hadir di kehidupan Dewa dan Raja. Meski terseok-seok akibat masalah ekonomi, mereka terlihat senang-senang saja hidup berdua. Tak hadirnya seorang Ayah dan suami tidak membuat mereka patah semangat. Sampai akhirnya mereka bertemu dengan Dewa dan Raja, kehidupannya berubah 180 derajat.

Sudah tahu ada masalah utama yang harus dituntaskan, ‘Cinta Pertama, Kedua, & Ketiga’ malah terlalu sering loncat dari satu masalah ke masalah lainnya. Tidak ada penyelesaian pasti. Semuanya hanya ingin terlihat senang dan jelas bahwa itu merupakan bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak.

Walau demikian, ‘Cinta Pertama, Kedua & Ketiga’ juga tak luput dari pemberian pesan bermakna untuk para penontonnya. Film ini memberikan gambaran asli bagaimana waktu bersama orang tua adalah waktu-waktu yang harus dimanfaatkan sebaik rupa. Ketika mereka sudah menginjak masa tua, bukan tak mungkin berbagai macam penyakit akan mulai berdatangan

Dewa yang kebetulan masih memiliki seorang ibu, dengan tulus merawat dan senantiasa hadir di samping ibunya yang sudah pikun. Ibunya diajak bermain, berdansa, disuapkan makanan, sampai kegiatan-kegiatan kecil lainnya. Raja yang usianya masih relatif muda, belum sadar akan kebutuhan itu. Ia merasa hanya perlu memenuhi kebutuhan primer Dewa seperti makan, berobat, dan lainnya.

Kesempatan terbuang sia-sia

© Starvision Plus

Satu hal yang disayangkan tentunya hubungan antara Dewa dan Raja yang sebenarnya bisa dikulik lebih dalam lagi. Memang, hubungan mereka terekam di banyak adegan. Namun, Gina S. Noer lebih memilih untuk memberi pendalaman pada hubungan Raja dan Asia. 

Angga Yunanda dan Putri Marino mempertontonkan akting yang baik. Mereka dapat menunjukkan emosi dan perasaan yang pas untuk di beberapa adegan. Mereka berhasil menunjukkan gambaran dua anak muda yang sedang bertahan di tengah pandemi dengan melakukan segala jenis pekerjaan agar listrik di rumah bisa tetap menyala.

Tetapi, sekali lagi, sangat disayangkan bahwa kesempatan untuk menceritakan persoalan hubungan orang tua dan anak tidak menjadi fokus utamanya. 

Gap umur antara Angga Yunanda dan Putri Marino juga kadang memberi pengalaman penonton yang kurang ngena. Terpaut tujuh tahun, di dalam film Raja diceritakan hanya berbeda tiga tahun dengan Asia. Segala jenis upaya untuk menghilangkan kecanggungan antara mereka berdua, tidak terwujud sebagaimana mestinya.

Kesimpulan

Akhir kata, ‘Cinta Pertama, Kedua, & Ketiga’ memiliki premis yang berpotensi untuk menjadi cerita keluarga heartwarming, namun sayang eksekusi jalan ceritanya tidak sesuai yang ditawarkan di awal. Terlalu banyak penyimpangan dari konflik utamanya, membuat sulit mencerna pesan yang hendak disampaikan film ini. 

 

Director: Gina S. Noer

Cast: Angga Yunanda, Putri Marino, Slamet Rahardjo, Ira Wibowo

Duration: 105 minutes

Score: 6.0/10

WHERE TO WATCH

The Review

Cinta Pertama, Kedua & Ketiga

6 Score

Raja dan Asia punya kesamaan tanggung jawab, mengurus kedua orang tua tunggal mereka masing-masing. Bila Raja (Angga Yunanda) ingin hidup mandiri seperti kedua kakaknya, Asia (Putri Marino) sudah memilih untuk berbakti pada ibunya yang ia rasa telah mengorbankan segalanya untuk dirinya. Lalu, Dewa (Slamet Radardjo Djarot) & Linda (Ira Wibowo), orangtua mereka, mulai menyatukan hati. Raja senang, Asia ragu. Pada saat Raja meyakinkan Asia kalau kedua orangtua mereka cocok bersama, Raja dan Asia perlahan justru jatuh cinta.

Review Breakdown

  • Acting 6
  • Cinematography 6
  • Entertain 6
  • Scoring 6
  • Story 6
Exit mobile version