Review All Quiet on the Western Front (2022)

Kengerian Drama Peperangan yang Sangat Traumatis dengan Visualisasi Mengagumkan

all quiet on the waterfront ed1

© Netflix

“All that’s left separating us from an armistice is false pride,” – Matthias Erzberger (All Quiet on the Western Front)

Film asal Jerman yang berlatarkan Perang Dunia I ini memang luar biasa di ajang penghargaan Oscar 2023 kali ini. Cineverse belum berkesempatan me-review film ini saat rilis tahun 2022 silam di Netflix. Jadi saat ini merupakan waktu yang tepat untuk melihat kenapa film ini sangat luar biasa (selain sangat fenomenalnya film Everything Everywhere All at Once tentunya-red).

All Quiet on the Waterfront (atau dalam Bahasa Jermannya, “Im Westen nichts Neues/ ”Nothing New in the West”-red) diangkat dari sebuah novel karya Erich Maria Remarque, seorang veteran Jerman pada Perang Dunia I. Novel tersebut menggambarkan fisik dan trauma mental selama perang serta keterpisahan dari kehidupan masyarakat yang dirasakan oleh banyak orang saat pulang dari perang.

Pada tahun 1930, novel tersebut dialihwahanakan sebagai film dengan judul yang sama, disutradarai oleh Lewis Milestone. Film ini kemudian dibuat ulang pada tahun 1979 oleh Delbert Mann, kali ini sebagai film televisi yang dibintangi oleh Richard Thomas dan Ernest Borgnine; dan kini, di tahun 2022, film ini dibuat lagi dengan judul yang sama dan disutradarai oleh Edward Berger.

© Netflix

Pada perhelatan Oscar 2023 yang baru saja berlangsung kemarin, All Quiet on the Western Front, memenangkan 4 Piala Oscar (dari 9 nominasi yang diperolehnya). Film ini memenangkan kategori Film International Terbaik, Sinematografi Terbaik (James Friend), Original Score Terbaik (Volker Bertelmann) dan Desain Produksi Terbaik (Christian M. Goldbeck, Ernestine Hipper). Sebelum ajang Piala Oscar 2023 digelar, All Quiet on the Western Front telah memecahkan rekor Penghargaan BAFTA di Inggris dengan memperoleh 7 Piala (dari 14 nominasi yang diperolehnya), mulai dari Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Skenario Adaptasi Terbaik, Sinematografi Terbaik, Suara Terbaik, Original Score Terbaik, dan Film non-Bahasa Inggris Terbaik.

Sinopsis

Film ini berpusat pada karakter remaja berusia 17 tahun, Paul Bäumer (Felix Kammerer) yang mendaftar masuk untuk menjadi tentara Kekaisaran Jerman saat Perang Dunia I sudah berjalan tiga tahun. Bersama teman-temannya, Albert Kropp (Aaron Hilmer), Franz Müller (Moritz Klaus), Tjaden (Edin Hasanović) dan Ludwig Behm.

Mereka bersemangat saat mendengarkan pidato patriotik oleh pejabat sekolah dan saat menerima seragam tentara, mereka tak sadar kalau seragam yang mereka pakai merupakan milik tentara yang sudah tewas dalam pertempuran sebelumnya.

Paul dan teman-temannya lantas ditempatkan di Prancis Utara dekat La Malmaison. Mereka kemudian berteman dengan Stanislaus “Kat” Katczinsky yang diperankan secara brilian oleh Albrecht Schuch, seorang tentara yang lebih senior dan bisa menjadi mentor bagi mereka. Pandangan mereka tentang perang langsung hancur saat malam pertama, di kala mereka bertempur di Front Barat dan Ludwig tewas seketika terbunuh oleh artileri pada malam itu.

Peperangan tak berkesudahan itu membuat pejabat tinggi Jerman, Matthias Erzberger (Daniel Brühl) lelah dan bertemu dengan Komando Tinggi Jerman untuk membujuk mereka dalam upaya gencatan senjata. Erzberger dan delegasi Jerman kemudian naik kereta menuju Hutan Compiègne untuk merundingkan gencatan senjata dengan Marshal Foch (Thibault de Montalembert).

© Netflix

Jenderal Friedrichs (Devid Striesow), yang menentang pembicaraan gencatan senjata, memerintahkan penyerangan sebelum bala bantuan Prancis tiba. Malam itu, saat delegasi Erzberger mencapai Hutan Compiègne, resimen Paul dikirim ke garis depan untuk bersiap menyerang garis Prancis. Serangan Jerman ke garis depan Prancis berlangsung sengit dan Albert mati saat mencoba menyerah. Paul yang terperangkap bersama tentara Prancis, kemudian menikamnya dan menyesal setelah melakukan hal itu.

Erzberger yang kemudian mengetahui pengunduran diri Kaiser Wilhelm II pada 10 November dan menerima instruksi dari panglima tertinggi Paul von Hindenburg untuk menerima persyaratan Foch. Paul kembali ke unitnya dan melihat mereka merayakan perang yang akan segera berakhir. Namun, Tjaden yang sudah lumpuh, dengan fatal menusuk tenggorokannya sendiri dengan garpu yang mereka bawakan untuknya.

Pada tanggal 11 November, delegasi Erzberger menandatangani gencatan senjata yang akan mulai berlaku pada pukul 11:00. Setelah mengetahui gencatan senjata, Paul dan Kat mencuri dari pertanian untuk terakhir kalinya, tetapi Kat ditembak oleh anak petani tersebut dan meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Jenderal Friedrichs, yang ingin mengakhiri perang dengan kemenangan Jerman, memerintahkan penyerangan dimulai pada pukul 10:45. Paul lalu membunuh tentara Prancis sebanyak yang dia bisa sebelum ditusuk melalui dari belakang dengan bayonet beberapa detik sebelum pukul 11:00. Paul tersandung ke dalam parit dan mati dengan muka tenang saat dia meninggal karena lukanya tersebut.

Bagaikan belahan jiwa film 1917

© Netflix

All Quiet on the Waterfront memang bukan film perang biasa yang bisa kita sandingkan dengan film perang lainnya, seperti Saving Private Ryan misalnya. Film ini bisa dikatakan seperti belahan jiwa dari film 1917 yang disutradarai Sam Mendes pada tahun 2019. Di film yang memperoleh tiga Piala Oscar tersebut juga menebar kengerian di medan perang dan suasana ketegangan di parit yang hadir secara eksensif. Yang membuatnya berbeda adalah pendekatannya.

Sesuai aslinya, film ini mengacu dari novelnya yang memang berasal dari Jerman. Oleh sebab itu kita akan melihat Perang Dunia I lewat perspektif tentara Kekaisaran Jerman sebelum pada akhirnya Kaiser Wilhelm II turun tahta.

Alur berjalan lamban dan tak ada personal story dari para karakternya

All Quiet on the Waterfront bukanlah film perang yang memorable seperti halnya karya Stanley Kubrick lewat film Paths of Glory (1957), Elem Klimov lewat karya fenomenalnya Come and See (1985) atau Apocalypse Now (1979) dari Francis Ford Coppola. Film ini terlalu lamban dalam bertutur, dan minimalis dalam menggambarkan para karakter utamanya, terlebih karakter Paul.

Bagusnya, perang di sini tak melulu digambarkan sebagai drama kekerasan sang sutradara yang ditumpahkan ke atas kanvas film, tapi “perangnya” juga digambarkan lewat perundingan alot yang digambarkan secara jukstaposisi dengan narasi Paul. Peperangan yang dilakukan Paul dan pasukannya merupakan hasil dari perundingan yang dilakukan secara paralel di tempat yang berbeda. Di sini kita akan melihat ada dua kubu yang saling bertolak belakang. Matthias Erzberger yang juga seorang pasifis, tak ingin ada korban berjatuhan, dan ingin perang cepat selesai.

Di depannya, Marshal Foch mengajukan syarat berat yang mau tidak mau dipenuhi Jerman. Di belakangnya, para petinggi Jerman khususnya Jenderal Friedrichs malah membenci gencatan senjata dan ingin Jerman keluar sebagai pemenang dalam perang yang sudah menelan korban hingga 17 juta jiwa tersebut. Rumit bukan melihat diplomasi yang seakan tak ada habisnya itu? Dan ujung-ujungnya adalah para prajurit seperti Paul dan teman-temannya harus menjadi korban politik pemerintahan yang berkuasa.

Elemen teknisnya luar biasa menawan

Untuk beberapa urusan teknis, film ini seperti tak mempunyai lawan yang sepadan di semua penghargaan film besar. Sinematografinya benar-benar indah sekaligus mencekam dan penuh kengerian di mana-mana. Mayat-mayat bergelimpangan di medan perang, suasana parit berkelok riuh rendah dengan tentara yang bersiap menembak saat tank lawan muncul di atas mereka, yang tak kalah keren adalah suasana pertempurannya yang sangat megah berskala besar. Desain produksinya pun sangat kompleks dan detil, dan scoring-nya sangat menyatu dengan adegannya. Sangat wajar jika untuk kategori ini, film ini mendominasi penghargaan yang diterimanya.

Kesimpulan

All Quiet on the Waterfront memang layak jadi masterpiece di genre filmnya. Walaupun belum bisa menyamai kebesaran film-film dari sineas yang telah disebut di atas, film ini menawarkan sebuah pengalaman dari sebuah peperangan yang telah dilucuti secara moral, spiritual, dan berlangsung dramatis hingga akhir. Pada akhirnya sesuai judulnya, “All Quiet on the Waterfront”, yang secara brilian diterjemahkan sebagai “Semua Tenang di Front Barat” pada tahun 1929 oleh penerjemah Australia, Arthur Wheen, adalah ungkapan dengan ironi mengerikan, “Bagian depan front barat hanya tenang untuk orang mati.” Sebuah firasat yang terlihat jelas saat Paul dan teman-temannya memakai seragam tentara yang sudah mati dalam pertempuran sebelumnya. Sungguh ironis bukan?

 

Director: Edward Berger

Cast: Felix Kammerer, Albrecht Schuch, Aaron Hilmer, Moritz Klaus, Edin Hasanovic, Adrian Grünewald, Thibault De Montalembert, Devid Striesow, Daniel Brühl.

Duration: 152 Minutes

Score: 7.8/10

The Review

Review All Quiet on the Western Front (2022)

7.8 Score

All Quiet on the Western Front mengisahkan perang antara Jerman dan Prancis yang berlangsung traumatis bagi pasukan mudanya

Review Breakdown

  • Acting 7
  • Cinematography 9
  • Entertain 7
  • Scoring 9
  • Story 7
Exit mobile version