Akhirnya film yang ditunggu-tunggu oleh begitu banyak orang, rilis juga di sinema. Film silat kolosal yang diadaptasi dari cerita “Wiro Sableng” karangan Bastian Tito, yang mana sekarang coba dieksekusi lebih modern lagi. Harapan seluruh penonton tentu melambung tinggi. Tidak hanya akibat betapa kuatnya brand atau IP (Intellectual Property) dari Wiro Sableng sendiri, namun juga karena kerja sama yang terjalin diantara production house dari dalam dan luar negeri. Tidak tanggung-tanggung, Lifelike Pictures menggandeng salah satu studio besar Hollywood, 20th Century Fox, guna sama-sama membidani film ini. Hasilnya? Yuk dibaca melalui ulasan berikut.
Dibuka oleh logo 20th Century Fox yang ikonik, Wiro Sableng menceritakan awal mula kisahnya saat Wiro masih kecil. Ketika itu desanya diserbu oleh pasukan jahat yang dipimpin oleh Mahesa Birawa (Yayan Ruhiyan). Wiro yang hampir mati kemudian diselamatkan oleh Sinto Gendeng (Ruth Marini). Setelah diselamatkan, Eyang Sinto kemudian mengasuh sekaligus mengajarkan ilmu silat kepada Wiro hingga beranjak dewasa. Setelah sukses mendapatkan senjata pamungkas yaitu Kapak Maut Naga Geni 212, Wiro ditugaskan untuk membawa Mahesa kepada Eyang Sinto. Perjalanan Wiro dalam menuntaskan misi tersebut akan membuat Wiro menemui banyak halangan dan kesempatan. Salah duanya adalah bertemu dengan beberapa pendekar lain dan membantu putera mahkota agar bisa selamat dari kejaran para penjahat. Kebetulan, ketua dari komplotan ini tidak lain tidak bukan adalah Mahesa Birawa.
Meski ceritanya diangkat dari komik, penonton yang belum membaca komik Wiro Sableng sama sekali akan tetap bisa menikmati plot dari film ini. Wiro Sableng memadukan backstory dari karakter utamanya dengan konflik ala-ala kerajaan sehingga kita pasti akan tetap merasa familiar karena konflik ala kerajaan ini bukanlah barang baru di dunia perfilman. Hanya saja, karena kerajaan yang ditampilkan adalah kerajaan yang terletak di Nusantara pada abad ke-16, feel dari konflik tersebut sangat kental akan kebudayaan Indonesia. Yang mengejutkan adalah, film sukses merangkai dua poin cerita tadi dengan baik. Transisi antar sequence mengalun dengan rapih. Kita sangat mudah untuk mengetahui kapan dua poin ini berdiri sendiri, dan kapan dua poin ini bersatu. Eksistensi antara dua kisah ini juga tidak tumpang tindih. Konflik yang dimiliki oleh Wiro dan konflik yang dimiliki oleh kerajaan berjalan beriringan sehingga film nantinya menghasilkan konklusi cerita yang menyeluruh, diceritakan dengan baik dan lengkap.
Sentuhan fantasi khas komik juga tidak lepas dari Wiro Sableng. Berbicara mengenai ini, tentu akan merujuk kepada tampilan visual-nya. Hal pertama yang menjadi perhatian adalah simbol 212 yang teukir di dada Wiro. Ini bentuknya jelas berbeda dengan apa yang dulu kita lihat di serial teve, di mana dalam versi kekiniannya ini angka 212 dibuat lebih simbolik dan somehow terkesan keren. Tenang saja, simbol tetap mengandung makna angka 212. Anyway, kostum dan production design dari film Wiro Sableng juga patut diapresiasi karena berhasil menampilkan wajah dari Nusantara di abad ke-16 secara poignant, tapi tidak terkesan kuno.
Untuk kostum, selain design baju dari para karakter, pemilihan warna juga patut diapresiasi. Wiro Sableng terlihat komikal dengan pemanfaatan warna-warna tertentu pada karakter seperti Anggini (Sherina), Rara Murni (Aghniny Haque), Dewa Tuak (Andy /rif) dan last but not least, Bidadari Angin Timur (Marsha Timothy). Satu-satunya issue yang muncul di sini hanya gaya rambut Anggini. Tidak yakin kalau pada abad ke-16 para wanita sudah mengepang rambutnya seperti itu. Mungkin penggunaan gaya ini dimaksudkan untuk menambah kesan modern, atau sebagai pendukung dari karakterisasi Anggini yang digambarkan belum menjadi pendekar sesungguhnya aka “masih bocah”, atau agar gaya rambut dari para karakter wanita jadi lebih variatif. But still, it’s pretty odd.
Kemudian mengenai penggunaan animasi dan visual effect-nya. Jujur, ini menjadi bagian yang paling disorot, apalagi setelah Wiro Sableng mengeluarkan cuplikan trailer beberapa waktu lalu. Banyak netizen yang kecewa dan menganggap CG dari film masih terlalu kasar. Setelah menonton filmnya, memang kekhawatiran itu tetap ada, namun film setidaknya bisa menekan kecemasan tersebut ke level yang aman. Visual effect dari adegan laga dibuat pas dan mendukung koreo yang ada agar terlihat lebih ciamik. Mengenai CG, sequence di saat Geng Sableng bertarung dengan Kala Hijau (Gita Arifin) menjadi highlight karena di sana tim VFX harus bisa mewujudkan imajinasi penonton. Kala Hijau adalah karakter yang bisa menduplikasikan diri. So, dibutuhkan tampilan yang oke agar semua bisa diterjemahkan di layar lebar.
Sayang, pertarungan di atas pohon masih menjadi nilai minus yang besar. Visual-nya masih kurang dapat dinikmati. Pemilihan tempat yang merupakan habitat dari Bujang Gila Tapak Sakti (Fariz Alfarizi) memiliki risiko tinggi, namun mau tidak mau, di saat yang sama penonton harus bisa menikmati karena saat itu adalah saat yang penting untuk memperkenalkan karakter Bujang Gila sendiri. Kurang jelasnya tampilan dari medan pertarungan bukannya memunculkan ketertarikan malah membuat kebingungan, terutama adegan selanjutnya yang jatuh ke jurang, mendadak background tone-nya berbeda jauh dengan saat di pohon.
Sebagai film silat, tidak afdol rasanya kalau kita ngomongin Wiro Sableng tanpa membahas poin laga. Tantangan bagi Yayan Ruhiyan dan Chin Man Ching sebagai koreografer adalah bagaimana mereka menciptakan standar gebuk-gebukan baru, di mana film harus bisa membawa silat Indonesia yang dikombinasikan dengan unsur fantasi. Nah, kalau dilihat dari segi koreografi pertarungannya, wah jangan tanya. Wiro Sableng 100 persen sudah paling sableng, deh! Penonton tidak hanya disuguhkan adegan perkelahian yang apik, namun juga variatif. Dibantu oleh teknik pengambilan gambar yang baik, kita dapat melihat perbedaan gaya bertarung dari masing-masing karakter, dan itu menyenangkan.
Tapi, seperti kata Eyang Sinto, tidak ada yang sempurna. Poin ini masih memiliki sedikit lubang yang tentu bisa diperbaiki atau mungkin ditingkatkan untuk film berikutnya. Pertama adalah (lagi-lagi) Anggini. Dia merupakan karakter yang memiliki gaya bertarung paling kentara bedanya. Selain memanfaatkan salah satu bagian di kostum sebagai senjata, Anggini juga kerap melemparkan sesuatu yang mirip shuriken. Di sini sebenarnya film bisa memberikan pengalaman sinematik yang lebih. Sayang, hal itu belum terjadi karena kami sebetulnya tidak merasakan apapun. Beda halnya dengan saat Wiro melemparkan kapaknya ke depan. Yang kedua, masih ada jurus yang ternyata masih disimpan. Salah duanya adalah jurus andalan Wiro. Jika dilihat-lihat, kedua jurus ini memang berbeda dengan jurus macam “Kunyuk Melempar Buah” karena membutuhkan visual effect dan explosion look yang “wah”. Tampil melihat lawannya adalah Mahesa Birawa yang tampil begitu maksimal, agak disayangkan kalau kedua jurus tersebut masih belum dikeluarkan sampai ke final battle-nya.
Permasalahan lain yang dirasa kentara adalah terlalu banyaknya karakter yang ada di film ini. Untuk film yang direncanakan dalam bentuk trilogi ini, ada kalanya tak menampilkan cast secara masif. Kelemahannya adalah banyak dari karakter terutama karakter antagonis itu tak bisa digambarkan secara maksimal seperti Bajak Laut Bagaspati dan Kala Hijau yang sekedar sambil lalu saja.
Untuk para pemeran, mereka tampil solid satu sama lain. Sebuah pencapaian yang patut dibanggakan mengingat beberapa nama merupakan pendatang baru. Vino G Bastian berhasil menunjukkan karakter Wiro yang sableng, dan sablengnya ini bukan sableng yang jatuhnya annoying. Sablengnya Wiro di sini lebih ke perilakunya yang suka usil dan gaya yang slengean. Chemistry Vino kepada para pemeran pendukung juga terjalin dengan baik. Yang annoying di sini justru adalah karakter raja yang diperankan oleh Dwi Sasono. Aktingnya sebagai raja tidak perlu diragukan, namun suara dari karakter ini cukup membuat kami terkekeh geli. Ini beneran suara sang baginda? Terdengar agak computerized dan sama sekali tidak meningkatkan wibawa. Teuku Rifnu Wikana yang berperan sebagai Kalasrenggi justru lebih memesona dan karismatik.
Tetap tidak menyangka sebuah kisah asli Indonesia bisa digarap sekeren ini. Wiro Sableng adalah persembahan silat kolosal yang bikin bangga Indonesia. Semoga dengan rilisnya Wiro, intellectual properties anak bangsa bisa lebih diapresiasi oleh generasi penerus. Selain itu semoga film ini bisa menginspirasi dan menjadi trigger untuk kemajuan industri perfilman tanah air. Oh ya, terdapat satu mid credit scene untuk membuka cerita film kedua dan kehadiran cameo yang sudah lama kita tak melihat wajahnya.
Director: Angga Dwimas Sasongko
Starring: Vino G. Bastian, Yayan Ruhiyan, Sherina Munaf, Fariz Alfarizi, Aghniny Haque, Dwi Sasono, Yusuf Mahardika, Teuku Rifnu Wikana, Lukman Sardi, Ruth Marini, Marsha Timothy, Gita Arifin, Happy Salma, Marcell Siahaan, Ence Bagus, Yayu Unru, Dian Sidik, Marcella Zalianty, Cecep Arif Rahman
Duration: 123 minutes
Score: 7.3/10