“I just feel like everybody’s always disappointed in me, and I never live up to anybody expectations.” – Scott.
Hal paling bikin penasaran dari film ini sebetulnya ada dua. Pertama, “The King of Staten Island” merupakan film yang diangkat dari kisah personal pemeran utamanya, Pete Davidson. Nama karakter yang ia perankan, Scott, adalah nama almarhum ayahnya yang wafat di tragedi 9/11.
Jadi, kita nungguin nih kira-kira apa yang ingin diceritakan dan dibagikan oleh Pete kepada audiens. Kemudian yang kedua lebih kepada faktor sutradaranya, Judd Apatow. Terkenal sebagai sutradara yang sukses menggarap film komedi, membuat penulis bertanya-tanya. Gimana caranya Judd menggabungkan unsur komedi itu ke dalam sebuah film yang sepertinya berat karena merupakan cerita personal.

Film berkutat pada kehidupan Scott, seorang anak muda putus sekolah, yang sudah ditinggal ayahnya sejak umur tujuh tahun. Scott kini diambarkan hanya menghabiskan hidup bersama teman-teman se-gank. Meski begitu, Scott memiliki bakat dalam seni dan ia juga menyukai tato.
Film tidak menampikan sesosok karakter yang kelihatan sangat terpukul. Scott masih bertingkah seperti biasa, tidak ada tanda-tanda kalau dia depresi abis. Meski begitu, anak ini memang hidupnya cukup berbeda. Ia tidak lulus sekolah, kerjaannya nongkrong sambil menghisap ganja. Belum lagi dirinya juga cukup bersumbu pendek kalau ada orang yang sudah menyinggung masalah pribadinya.
Hal tersebut diceritakan mulai berkembang ketika adik Scott, Claire (Maude Apatow) lulus sekolah dan memutuskan untuk langsung masuk kuliah. Dari sini kita bisa melihat bahwa film coba membangun konfliknya secara perlahan-lahan. Karakter utama diperkenalkan sambil membuka konflik sampingan. Hal ini jadi persiapan sebelum kita masuk ke konflik utama yaitu hadirnya sosok Ray (Bill Burr), seorang duda yang menjalin hubungan dengan ibunda Scott yang diperankan oleh Marisa Tomei.
Menonton “Staten Island” dari satu babak ke babak berikutnya termasuk pengalaman yang asik. Mengapa? Karena sebetulnya banyak elemen hubungan yang dibawa, dalam bingkai kehidupan Scott yang kacau. Ada soal hubungan dia sama ibunya lah, hubungan dia sama adiknya lah, hubungan dia sama teman-temannya, hubungan sama pacarnya, hingga hubungan dia dengan Ray.
Bagusnya, film seperti tau porsi dari masing-masing bagian dan timing yang pas untuk menampilkannya. Jadi kita akan bisa menyambungkan ‘relationship matters’ yang satu dengan yang lain secara tartil. Kita jadi merasa puas tentang cerita masa-masa gelap Scott di film. Tinggal bagaimana semuanya itu meledak, yang mengakibatkan Scott harus menjalani sesuatu yang bisa membuatnya berkembang, dan menjadi lebih dewasa.
Tentu hal ini akan sangat berat. Tapi tenang, unsur humor yang terkandung dalam “Staten Island” bisa menjadi penyeimbang. Ada beberapa saat di mana kita bisa ketawa ngakak lewat dialog yang dibangun. Apalagi Scott ini anaknya vokal, jadi ia tidak akan ragu untuk membalas perkataan lawan bicara.

Selain itu, ada juga dark jokes yang ditampilkan. Secara tak terduga, film memanfaatkan sedikit elemen ini untuk momen yang penting. Audiens bisa saja kaget karena hal tersebut seperti tiba-tiba datang, dan somehow juga terasa absurd. But yeah, kejutan-kejutan macam itu akan bisa kita temui, mungkin beberapa kali, di sini. Komedi betul-betul dijadikan penyeimbang. Ia tidak didesain untuk mengambil alih. Semua tetap terfokus pada konflik yang ada di dunia Scott itu sendiri.
Semua mata pasti akan tertuju pada Pete Davidson. Bagaimana komedian lulusan SNL ini bisa menjadi bintang utama di film yang emang udah dia banget. Selain meledak di scene tentang pemadam kebakaran mestinya ga usah punya anak, yang paling disukai dari aktingnya adalah bagaimana Pete menjalin chemistry dengan Bill Burr yang menjadi pacar ibunya.
Dari awal kita akan melihat hubungan yang menarik. Bagaimana cara yang dibuat agar bisa saling bonding, apakah berhasil, dan lain-lain. Gong-nya tentu ketika Scott dan Ray mengalami konfrontasi langsung. Di situ film ada di tensi paling tinggi dan akting mereka berdua bisa menunjukkan hal itu. Sedikit melebar dari segi akting, kredit patut diberikan ketika film memanfaatkan hal yang relate sekali dengan Scott sebagai tools untuk membuat kita terharu.
Cuman memang pemeran pendukung di sini enggak boleh dianggap remeh. Selain Bill Burr yang kehadirannya semakin kuat di dua per tiga akhir, ada juga Marisa Tomei, seluruh teman-temannya Scott, kedua bocah yang merupakan anaknya Ray, bahkan bosnya Ray di pemadam kebakaran yang dipanggil Papa (Steve Buscemi).
Memang screen time nya Papa sedikit, tapi penampilannya cukup berkesan. Ia bisa bersinar di saat yang dibutuhkan. Ia menjadi orang yang sedikit banyak menyadarkan karakter utama dan ini sebetulnya sudah coba dibangun dari tahap konfrontasi.
Seperti yang sudah dikatakan, ini adalah film yang memberikan gambaran kehidupan karakter utama dengan luas. Maka sudah seharusnya karakter-karakter yang berinteraksi dengannya harus tampil dengan baik pula. Pete? Dia sepertinya tahu bahwa ini adalah saatnya. Jadi ia memberikan yang terbaik untuk bisa menampilkan dan mengeksplorasi diri sendiri.

Meski begitu, terdapat satu poin yang cukup mengancam di mana tahap konfrontasi dari “Staten Island” memang terasa lebih panjang dari yang diduga. Ada beberapa bagian cerita yang sepertinya tidak perlu dimasukkan, seperti ketika Scott bertemu dengan salah seorang cameo.
Tidak jelas faedah scene itu apa untuk konflik besarnya, toh kita juga udah tau apa ambisi Scott dan bagaimana tantangan yang ia hadapi dari ambisi itu. Kemudian ada juga saat di mana film coba menaikkan tensi diluar drama keluarga. Awalnya hal ini bisa menggait kami karena set-up nya yang cukup oke. Kita tahu bagaimana Scott bersikap pada awalnya, kemudia bagaimana itu bisa berubah.
Sayang, ini akhirnya tidak seperti yang diprediksi. Film tetap pada koridornya yaitu membangun konflik dari sisi keluarga, jadi bisa dikatakan upaya memunculkan tensi tadi hanya untuk mengakhiri satu bagian kecil saja. Kurang beruntung, bagian ini udah enak sebetulnya jadi agak sayang aja jika diakhiri dengan cara yang cukup nanggung.
Kemudian kita juga tidak melihat lebih dalam lagi soal Staten Island itu seperti apa. Staten Island ditampilkan tidak lebih dari sekedar nama kota di mana Scott tinggal. Memang ada satu percakapan mengenai kota ini, dan ada karakter yang secara spesifik membawa isu mengenai Staten Island. Tapi level spasial nya itu tidak sampai ke yang biasa kami gaungkan, yaitu mengenai seberapa besar pengaruh tempat terhadap manusia yang tinggal di dalamnya.
Bagaimana suatu tempat betul-betul bisa mendefinisikan, mencirikan, dan menantang individu. Tidak, itu tidak akan sampai sana. Wong ceritanya juga lebih mengarah ke permasalahan pribadi dengan keluarganya yang grounded kok. Jadi Staten Island nya sendiri cukup digunakan sebagai latar tempat, tidak lebih dari itu.

Sebuah ‘dramedy’ yang grounded dan, diluar dugaan, lebih mature dari yang kita kira sebelumnya. Aspek demi aspek dari kehidupan karakter utama coba dieksplorasi. Walaupun ada satu-dua titik yang rasanya hanya buang-buang waktu, namun sebagian besar dari mereka berhasil menciptakan koneksi yang semakin menguatkan konflik.
Komedinya pas, gak overlapping, tahu mana yang sesungguhnya paling ingin dijual. Proses pendewasaan yang low-nya itu ngena banget, dan kita bisa belajar dari sana. Kita bakal benar-benar dibawa dalam sudut pandang Scott, salah satunya dengan beberapa montage sequence juga, sehingga kita akan ikut merasakan perkembangan bersamanya.
Director: Judd Apatow
Casts: Pete Davidson, Bill Burr, Marisa Tomei, Maude Apatow, Steve Buscemi, Bel Powley, Moises Arias, Lou Wilson, Pamela Adlon
Duration: 136 Minutes
Score: 7.4/10
Editor: Juventus Wisnu
The Review
The King of Staten Island
'The King of Staten Island' menceritakan tentang Scott yang ditinggal mati ayahnya saat masih kecil, dan di usia remajanya, ia malah menghabiskan hari-harinya dengan merokok ganja dan bermimpi menjadi seorang seniman tato, sampai suatu peristiwa memaksanya untuk bergulat dengan kesedihannya dan mengambil langkah pertamanya dalam hidup yang ia jalani