Cineverse
  • Home
  • Movies
  • Series
  • Reviews
  • Hype
  • More
    • Games
    • Hobby
    • Lifestyle
    • Tech
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
Cineverse
  • Home
  • Movies
  • Series
  • Reviews
  • Hype
  • More
    • Games
    • Hobby
    • Lifestyle
    • Tech
No Result
View All Result
Cineverse

‘The Half of It’, Romantika Coming of Age yang Sangat Mempesona

Romantika Coming of Age yang Sangat Mempesona

Adam Pratama by Adam Pratama
May 4, 2020
in Featured, Movies, Reviews
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

“You know what it’s like to finally meet someone your age who gets you? Love, it’s not finding your perfect half. It’s the trying, and reaching, and falling.” – Ellie Chu.

Melihat posternya bahwa ini adalah film remaja sebetulnya sudah kurang menarik secara subjektif. Buat apa nonton film yang gak relate lagi sama hidup gue? Tapi, ketika dicoba, ternyata “The Half of It” bisa jauh melebihi ekspektasi. Ada hal-hal berbau filosofis dalam pemaknaan cinta yang tentu bisa membuat kita rela berinvestasi.

Kemudian komedi awkward yang ditampilkan juga kocak. Cukup aman jika berkata bahwa ini adalah film masa karantina terbaik sejauh ini. Disutradarai oleh Alice Wu yang telah lama menghilang, “The Half of It” bercerita tentang seorang cewek SMA bernama Ellie (Leah Lewis) yang pintar, berwawasan luas, namun terkendala masalah keuangan. Ellie rela jadi joki essay buat teman-temannya guna mendapat uang tambahan.

Suatu hari, Ellie dapat request yang gak biasa. Ia diminta untuk menulis surat cinta oleh salah seorang temannya yaitu Paul (Daniel Diemer). Paul sedang naksir cewek cantik bernama Aster (Alexxis Lemire) tapi gak tau gimana cara mengungkapkannya.

Kalau dilihat-lihat, tahap eksposisi film ini sebetulnya lumayan generik. Karakter utama sudah biasa digambarkan di dalam film-film remaja. Bahkan, secara tampilan Ellie terlihat lebih muda dibanding yang seharusnya. Begitu juga dengan karakter Aster. Dia adalah cewek paling dikagumi sehingga orang ingin dekat sama dia, biar bisa memanfaatkan situasi juga.

Yang menarik adalah karakter Paul. Dia canggung abis orangnya padahal ekskul-nya adalah American Football. Biasanya cowok-cowok yang main olahraga begini tampil pede dan gak kikuk. Paul adalah kebalikannya. Hanya saja, meski terdapat sesuatu yang biasa di desain karakter, namun cara film ini bertutur sedemikian rupa berhasil membuat ketiga-tiganya menarik.

Baik Ellie, Paul, maupun Aster, mereka semua unik, mereka semua kuat, mereka semua “worth it” buat didukung. Proporsi pembagian antar karakternya pas. Penonton bisa tahu banyak hal sehingga nanti ketika konflik sudah mulai meningkat, relasi antar ketiga orang ini sudah enak banget untuk dinikmati.

Unsur sastra dan filosofi sangat kental di sini. Gimana enggak, “The Half of It” sudah dimulai dengan prolog tentang arti manusia yang saling mencari belahan jiwa. Karya dari nama-nama besar seperti Wim Wenders, Sartre, itu akan berserakan.

Kemudian di salah satu bagian, film seperti menampilkan scene pemisah lewat kutipan terkenal. Dua karakternya juga “in” banget sama hal semacam ini. Lewat sebuah montage sequence kita bakal melihat bagaimana seni puitis berperan maksimal dalam membentukan hubungan yang rumit.

Nah sebagai penyeimbang, film juga menampilkan sisi humor. Ini paling banyak berasal dari karakter Paul yang canggung tapi tetap berusaha. Setiap sequence yang mempertemukan Paul dengan Aster itu sungguh lucu. Ini jadi momen nostalgia kita zaman sekolah dulu, yang mana masih canggung banget ketika baru pertama kali nge-date.

Elemen humor dan juga “caring moments” yang sederhana dikuatkan oleh dukungan dari aspek sinematik. Ini penting karena jika sutradara salah menangani atau missed, bisa-bisa bagian ini jadi terasa zonk. Dalam sebuah sequence, kita bisa melihat ada satu kombinasi maut antara akting, pergerakan kamera, dan visual yang digunakan sebagai penanda chat.

Ya, sama dengan “Endings, Beginnings”, “The Half of It” juga menampilkan animasi tertentu ketika ada teks masuk. Tapi bedanya, gak terlihat maksa. Sinematografi yang digunakan adalah pan, di mana kamera secara diagonal memperlihatkan objek yang ada. Di sini pan akan berpadu pada eyeline match sehingga kita akan seperti berada di poin of view Ellie yang melihat ke kiri dan ke kanan.

Ditambah dengan akting yang dikeluarkan oleh lawan mainnya yang mengedepankan ekspresi, bagian ini semakin mengasyikkan. Namun, bukan berarti tanpa kekurangan, ya. Jika melihat kepada positioning di sequence tersebut. Akan aneh jika salah seorang karakter yang ada di sana tidak menyadari keberadaan Ellie.

Balik lagi ke segi naratif, kita akan dibikin menduga sesuatu yang mana cukup klise. Oke klise, tapi prosesnya perlu diacungi jempol. Sama sekai tidak instan, padahal di sisi lain ada sebuah misi yang sedang berjalan. Dua hal yang bergulir scara beriringan bikin kisah cinta antar mereka bertiga semakin dalam.

Di sini kita bisa melihat film memanfaatkan banyak poin secara tepat guna membangun intensitas hubungan. Mulai dari surat menyurat, texting, kemudian latihan ngomong pakai simulasi main pingpong, acara unjuk bakat, hingga memanfaatkan makanan. Semakin dalam kita semakin lihat kepedulian yang timbul antar satu karakter dengan karakter dan itu bukan tanpa alasan.

Semuanya sudah melalui proses yang tidak biasa. Kita digiring terus padahal kita udah ngerti hal tersebut bermuara kepada sesuatu yang mungkin klise. Poin negatif yang muncul paling hanya bagaimana film meng-conduct adegan American Football. Hanya saja, di sini kota kembali melihat semacam trigger yang ngena dan akibat yang ditimbulkan juga dapat dipercaya. Tapi percayalah, itu baru awalnya.

Akting dari ketiga aktor penting film ini sebaik bagaimana karakter mereka dilukiskan. Bagaimana Leah, Daniel, dan Alexxis mengejawantahkan tuntutan narasi dari masing-masing arc. Mulai dari eksposisi sampai character development di akhir, mereka semua bisa melakukan itu. Luar biasa.

Leah yang menjadi pemeran utama berhasil menjadi pusat perhatian dengan kedewasaan dan kecerdasan yang ia miliki. Meski begitu, Leah juga dapat menampilkan Ellie yang tertutup. Menarik untuk melihat bagaimana Leah menampilkan Ellie sebagai sudut pandang berbeda karena itu sesungguhnya bermakna besar.

Sementara itu Daniel juga tidak kalah impresif. Lucu sekali melihat bagaimana tingkah laku Paul. Apa yang ia pelajari dari Ellie bikin pengembangan karakternya, somehow, paling ngena. Terakhir, Alexxis memerankan karakter yang paling satu dimensional diantara ketiganya. Cuman, karakter Aster ini justru semakin menarik untuk dilihat menjelang akhir.

Sebagai drama roman remaja, “The Half of It” adalah paket komplit. Film ini punya tiga karakter sentral yang kuat dan dimainkan oleh aktor-aktor muda yang hebat. Kemudian konflik yang ada cukup menarik tapi yang perlu digarisbawahin adalah bagaimana Alice Wu mengelolanya sehingga kita bisa secara sukarela tersedot semakin dalam. Momen-momen seperti charming, sweet, sour, awkward, sampai funny semua ada di sini. It’s just hit a lot of notes.

Di akhir, film me-resume semuanya. Love is how we are trying, reaching, and failing. Asli, kata-kata itu ngena banget jika kita lihat balik ke bagaimana usaha yang dikeluarkan. Jujur, tidak menyangka bahwa film remaja bisa menyuguhkan hal seperti ini masih dengan cara mereka sendiri. Best part? Ada beberapa, termasuk di tahap resolusi. Yang satu ini cukup gokil karena memanfaatkan latar tempat yang tidak biasa.

Akhir dari sequence tersebut juga sangat memuaskan. Penonton bisa menikmati jukstaposisi yang suci. Jangan beranjak dulu karena film masih menyimpan sesuatu yang gak boleh terlewati. Sesuatu yang bisa membuat kita berasumsi.  Balik lagi, itu semua bisa nge-hook karena persiapannya yang matang terutama di tahap konfrontasi.

“The Half of It” sangat recommended untuk kalian tonton. Saksikan film ini hanya di Netflix.

 

Director: Alice Wu

Starring: Leah Lewis, Daniel Diemer, Alexxis Lemire, Collin Chou, Wolfgang Novogratz

Duration: 104 Minutes

Score: 8.5/10

The Review

The Half of It

8.5 Score

The Half of It menceritakan tentang Ellie yang mendapat permintaan untuk menulis surat cinta oleh Paul (Daniel Diemer) yang sedang naksir cewek cantik bernama Aster (Alexxis Lemire) tapi tak tau gimana cara mengungkapkannya. Namun peristiwa ini membuat semuanya jadi serba salah dan apa yang terjadi kemudian adalah sesuatu yang tidak kita sangka sebelumnya. Film ini sudah bisa kalian saksikan di Netflix.

Review Breakdown

  • Acting 0
  • Cinematography 0
  • Entertain 0
  • Scoring 0
  • Story 0
Tags: Alexxis LemireAlice WuAsterCinta SegitigaCollin ChouDaniel DiemerellieJuventus WisnuLeah LewisReview The Half of ItRom-comThe Half of ItWolfgang Novogratz
Adam Pratama

Adam Pratama

Founder Cinemania ID, now becoming Co-Founder of Cineverse. Batch 2 @mrabroadcastingacademy, Batch 4 adv class @kelaspenyiar_id. @imsi_fibui @fibui_basketball

Related Posts

10 Film ala Marry Me

Suka ‘Marry Me’? 10 Film Ini Bisa Jadi Rujukan Kamu

February 18, 2022
Review Series: ‘Kupilih Cinta’

Review Series: ‘Kupilih Cinta’

Inheritance

Review Film: ‘Inheritance’

‘The Baby Sitters Club’, Kembalinya Serial Legendaris Klub Remaja Pengasuh Anak

‘The Baby Sitters Club’, Kembalinya Serial Legendaris Klub Remaja Pengasuh Anak

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Cineverse

© 2020 - 2022 Cineverse - All Right Reserved

Follow Us

  • Home
  • About Us
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Privacy Policy
  • Kode Etik Jurnalistik

  • Login
  • Sign Up
No Result
View All Result
  • Home
  • Movies
  • Series
  • Reviews
  • Hype
  • About Us
  • More
    • Games
    • Hobby
    • Lifestyle
    • Tech

© 2020 - 2022 Cineverse - All Right Reserved

Welcome Back!

Sign In with Facebook
Sign In with Google
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Sign Up with Facebook
Sign Up with Google
OR

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In