“Are you not Lisbeth Salander, the righter of wrongs? The Girl with the Dragon Tattoo? The girl who hurts men who hurt women? All those lucky ladies. Do you remember that morning? For sixteen years I’ve been watching you. Why did you help everyone but me, sister?” – Camilla Sallander.
Dilihat dari judulnya, pastinya Chillers akan tahu kalau film ini ada kaitannya dengan “The Girl with the Dragon Tattoo”. Jawaban kamu tidak salah, film ini memang merupakan lanjutan dari film “The Girl with the Dragon Tattoo”, yang bisa dibilang sukses besar. Film sebelumnya, baik yang merupakan versi aslinya yang merupakan film Swedia dan hadir dalam bentuk trilogi sekaligus, maupun versi remake-nya, sama-sama diapresiasi baik oleh para kritikus. Bahkan, versi Hollywood dari ‘Dragon Tattoo’ sendiri melakukan hal yang jarang dilakukan oleh film-film remake Hollywood, yaitu memenangkan Piala Oscar. Ya, David Fincher dkk berhasil menyabet penghargaan “Best Film Editing” pada gelaran Academy Awards ke-84. Tidak hanya itu, film ini juga mendapatkan beberapa nominasi.
Salah satu diantaranya adalah nominasi utama, yaitu “Best Actress” untuk Rooney Mara sebagai Lisbeth Salander. On-screen transformation-nya di dalam film memang bikin takjub. Penampilannya berhasil menimbulkan impresi yang lebih gila lagi tentang seorang hacker dibanding Noomi Rapace yang sebetulnya sudah memiliki impresi yang baik juga. Kini, karakter Lisbeth diperankan oleh Claire Foy, yang baru-baru ini tampil cemerlang di “First Man” sebagai istri Neil Armstrong. Saking bagusnya Claire di film arahan Damien Chazelle tersebut, tidak salah jika kamu jadi tertarik untuk melihat bagaimana akting sang aktris di film “The Girl in the Spider’s Web”, atau bahasa kasarnya: “gue nonton ‘Spider’s Web’ cuma gara-gara Claire Foy doang”.
Di sini, Lisbeth akan menghadapi ketakutan utamanya secara langsung. Ketakutan tersebut kemudian coba dimasukkan ke dalam sebuah misi rahasia Lisbeth yang menyangkut keselamatan dunia. Berkat kejeniusannya, Lisbeth berhasil meng-hack satu software berbahaya yang diminta kliennya bernama Frans Balder (Stephen Merchant). Sayangnya, belum sempat Lisbeth memberikan software tersebut kepada Balder, ia diserang oleh sekelompok orang tak dikenal dan pada akhirnya orang-orang ini membawa kabur sistem yang sudah Lisbeth dapatkan tadi. Lisbeth dituduh atas pencurian sistem keamanan dan dijadikan buronan. Tidak mau tinggal diam, Lisbeth meminta sahabatnya yaitu Mikael Blomkvist (Sverrir Gudnason) untuk melacak siapa sebetulnya orang-orang tak dikenal ini.
Penting untuk membahas bagaimana karakter Lisbeth ini dipersembahkan, baik itu dari segi tampilan maupun dari sudut pandang cerita dia sendiri. Untuk segi penampilannya, Lisbeth versi Claire Foy adalah Lisbeth yang kesannya “paling normal”. Aura-aura ‘cyberpunk’ tidak se-hardcore Lisbeth versi Noomi Rapace, apalagi versinya Rooney Mara. Lisbeth versi Claire Foy tampil lebih sederhana, hanya seorang wanita tomboy yang berpakaian serba hitam. Aksesoris seperti tindik di bagian hidung sudah tidak ada, sama halnya dengan eyeliner hitam dan gaya rambut mohawk-nya yang terkenal itu. Lisbeth di sini tetap tampil edgy dan berambut pendek, tidak banyak riasan maskulin, terlihat gahar, namun bukan ‘freak’.
Tampilan tersebut kemudian didukung pula oleh ceritanya. Selain menjadi seorang hacker, karakter Lisbeth di sini juga diceritakan sedemikian rupa sehingga menyerupai campuran antara Batman dan James Bond. Ia adalah seorang ‘vigilante’, yang menghukum laki-laki brengsek tanpa ada campur tangan pihak berwajib. Kemudian ia juga seperti seorang agen rahasia, yang melaksanakan misi berbahaya. Ajaibnya, dengan tampilannya yang sekarang, dua profesi ekstra tadi justru jadi selaras. Lisbeth jadi terlihat lebih tough dan misterius. Pakaiannya yang serba hitam membuat pergerakan Lisbeth semakin sulit dilacak, layaknya bayangan. Ini semakin didukung oleh kualitas akting Claire Foy yang bagus. Dia berhasil menunjukkan bahwa dirinya pantas memerankan karakter Lisbeth secara badass, cool, dan smart. Jika kamu tidak suka dengan penampilan Lisbeth kali ini, mungkin tidak begitu dengan kualitas akting pemerannya.
Dalam hal cerita, “The Girl in the Spider’s Web” termasuk film dengan third act yang sangat mudah diprediksi. Sejak scene pertama, kita akan dibawa ke masa lalu Lisbeth dan apa yang lebih meyakinkan dibandingkan dengan menyajikan pemeran antagonis dari backstory seperti itu? Tinggal bagaimana caranya film membangun konflik agar cerita bisa menuntun penonton ke titik yang telah ditentukan. Titik di mana berkaitan dengan apa yang kamu lihat di scene pertama tadi.
Ada poin positif dan negatif yang sama-sama menonjol di sini. Untuk poin positifnya, setting narasi seperti ini sangat bermanfaat untuk menguatkan character exposition, dalam hal ini karakter tersebut pastinya adalah Lisbeth Salander. Penonton akan mengetahui penyebab kenapa sih Lisbeth melakukan hal-hal bersifat vigilante tadi, meski bagian vigilante ini juga kurang banyak ditunjukkan dalam film. Selain itu, penceritaan semacam ini bisa membuat relationship antara peran protagonis dan antagonis jadi lebih hidup. Hubungan mereka bukan sekedar hubungan antar jagoan dan penjahat pada umumnya. Ada sesuatu di balik itu yang berhasil menjadi pembeda dibanding ikatan protagonis-antagonis biasa. Dukungan dari unsur dramatis yang dibawa oleh aspek mise-en-scene seperti akting para pemain dan juga penuansaan yang dingin semakin berperan penting di sini.
Nah untuk misinya, apa yang ditampilkan oleh “Spider’s Web” sebetulnya tidak ada yang istimewa. Konspirasi tingkat tinggi dengan dinamika permasalah yang lazim pada film-film ber-genre aksi spionase kembali muncul di sini. Lisbeth dipercaya melakukan sesuatu, tapi kemudian terjadilah sebuah ‘turns’ yang membuat semua jadi berbalik menyerangnya. Formula seperti itu sudah sangat sering ditampilkan sehingga penonton bisa saja berpendapat bahwa konflik film tidak istimewa-istimewa amat. Sadar akan hal itu, film mencoba sedikit berimprovisasi dengan menyajikan adegan-adegan action lebih banyak. Scene kejar-kejaran dan perkelahian adalah salah dua contohnya.
Sayangnya, actions scenes tersebut tampil inkonsisten. Ada yang bagus, ada yang kurang. Untuk poin positifnya, dalam film aksi, setting kerap dimanfaatkan atau berfungsi secara aktif dalam mendukung pengadeganan. Butuh kepekaan sutradara agar fungsi ini dapat bekerja dengan baik, dan Fede Alvarez cukup peka di sini. Ada satu scene kejar-kejaran penting di mana konklusinya sangat berkaitan dengan poin “pengadeganan yang didukung setting” yang tercipta secara natural. Lisbeth mencoba menghindar dari orang-orang yang mengejarnya dengan keputusan yang out of the box. Selain berfungsi untuk menghibur penonton, ini juga semakin memperkuat penokohan Lisbeth yang cerdas.
Tapi, selain itu ada juga action scene yang lemah. Salah satunya adalah pertarungan di basecamp dari tokoh antagonis. Meski suasana yang tercipta memungkinkan penonton untuk dapat mengalami pengalaman unik, namun film ternyata tidak memberikan itu. Mereka membuangnya sehingga pertarungan yang berkabut ini jadi malah biasa-biasa saja. Ritmik editing-nya cepat, tapi situasinya sedang tidak mendukung. Tempo yang cepat memang bisa meningkatkan intensitas. Tapi penonton sebetulnya juga mau melihat bagaimana sih koreografi pertarungan di scene ini berjalan. Dengan ritmik yang cepat, namun didukung setting yang serba muram dan kostum para pemain yang serba hitam, lebih baik simpan saja keinginanmu untuk melihat keindahan koreografi itu. Kepekaan Fede langsung hilang seketika itu juga.
Beruntung, untuk urusan visual, kepekaan Fede tidak pernah hilang. Melihat Spider’s Web seperti mengagumi keindahan suasana yang dingin dan kelam. Fede, bersama sinematografer Pedro Luque, berhasil memainkan warna-warna eerie seperti hitam, putih, dan abu-abu, kemudian menambahkan sedikit percikan dari warna-warna cerah seperti merah dan oranye di beberapa adegan, sehingga apa yang terlihat di layar adalah gambar yang sederhana namun cantiknya luar biasa. Baik interior maupun eksterior film juga tampak keren, padahal tidak ada teknik manipulasi visual yang heboh seperti CGI di dalamnya. Nicely shot, an undoubt bleak beauty.
Belum selesai, ada juga sequence di mana Fede dan Pedro secara cerdas menggunakan teknik sinematografi yang sangat sesuai dengan tuntutan naratif. Alih-alih menampilkan karakrer Lisbeth yang sedang “celeng” dengan cara biasa, film langsung menempatkan penonton dalam diri Lisbeth sehingga kita juga merasa ikut sempoyongan. Sensasi pusing dan kunang-kunang terasa dengan jelas. Lewat shot yang variatif, kadang menempatkan kamera betul-betul sebagai mata kita atau menampilkan Lisbeth di layar, efek yang memusingkan ini dibiarkan mengalir sampai Lisbeth sudah mulai kembali normal. Jangan lupakan juga kredit untuk tim tata rias yang berhasil menciptakan kengerian di salah satu scene yang melibatkan tokoh Mikael Blomkvist. Penampakan yang akan kamu lihat selain mengagumkan juga disturbing, jadi bersiaplah.
Sayangnya, kembali lagi terjadi kekurangpekaan di sana-sini. Penulisan karakter pendukung yang diharapkan justru melempem. Mikael Blomkvist yang diperankan oleh Sverrir Gudnason terlihat sangat berbeda dengan Micke versi Daniel Craig. Kita tidak bisa melihat kekuatan yang tetap harus ditonjolkan oleh seorang karakter pendukung, apalagi karakter pendukung ini sudah menjadi bagian penting dari kisah ‘Dragon Tattoo’.
Belum selesai, Micke di sini juga terlihat jauh lebih muda, layaknya personel boyband. Apa yang ia lakukan juga tidak berpengaruh besar. Justru Micke kerap ditampilkan sebagai karakter yang lemah dan awal dari masalah yang lebih buruk. Ia kalah bersinar dengan karakter pendukung lainnya yaitu Edwin Needham, agen NSA yang dimainkan oleh Lakeith Stanfield. Motivasi dan tujuan yang jelas dari karakter ini membuat film jadi lebih menarik. Terjadi kucing-kucingan yang mengasyikkan antara dia dengan Lisbeth. Agent Needham pun memainkan peran vital di third act.
‘The Girl in the Spider’s Web’ adalah ketika film superhero, spionase, dan keluarga digabung dengan seorang hacker menjadi jagoan utamanya. Kadar aksi jelas lebih tinggi dan membuat kisah ini jadi berbeda dengan film-film sebelumnya, yang lebih menonjolkan sisi misteri. Sayangnya, itu yang kita ketahui mengenai ‘Dragon Tattoo’ sebelum ini dan perubahan yang tampil akan mengejutkan penonton. Positif atau negatif kalian yang menentukan, hanya saja cerita dan penjabaran konfliknya jadi biasa-biasa saja, seluruh kejutan juga tidak berhasil mengejutkan. ‘Third act’-nya memang menghibur, walaupun meruntuhkan sesuatu yang sudah dibangun dengan susah payah.
Director: Fede Alvarez
Starring: Claire Foy, Sylvia Hoeks, Lakeith Stanfield, Sverrir Gudnason, Claes Bang, Andreja Pejic, Stephen Merchant, Christopher Convery, Cameron Britton
Duration: 117 Minutes
Score: 7.0/10