“Orang gila macam apa yang berani menyerang bos gangster? Saya sangat yakin kalau dia adalah pembunuh berantai tersebut.” – Jung Tae-Seok.
Menonton film asal Korea yang satu ini terasa cukup spesial. Soalnya, “The Gangster, The Cop, The Devil” baru saja melakukan premiere-nya di Cannes International Film Festival 2019 pada Rabu (22/5). Jarang sebuah film, apalagi film Korea, bisa rilis dengan jadwal yang sama, sampai berdekatan banget dengan premiere-nya. Biasanya butuh waktu lebih lama agar penonton Indonesia dapat menikmatinya di layar lebar.
Film ini jadi semakin menarik karena dibintangi oleh Don Lee aka Ma Dong-Seok, aktor papan atas Korea yang baru-baru ini dikabarkan bakal membintangi film “The Eternals” milik MCU bersama Angelina Jolie dan Kumail Nanjiani. Di sini, Ma Dong-Seok bakal berperang sebagai Jang, seorang gangster kelas kakap yang memiliki banyak bisnis haram dan juga informan di kepolisian. Suatu malam, Jang diserang oleh lelaki tak dikenal hingga harus menjalani operasi.
Di lain tempat, seorang detektif bernama Jung Tae-Seok (Kim Moo-Yul) sedang menyelidiki kasus-kasus pembunuhan. Ia menduga bahwa ini adalah sebuah pembunuhan berantai dari bukti-bukti yang sebetulnya masih belum kuat. Ketika mendengar kabar Jang diserang orang tak dikenal, Jung langsung menemui Jang dan di situ film mulai memasuki tahap konfrontasi. Hingga pertengahan, penonton akan disuguhkan intrik-intrik khas dunia gangster yang dibangun secara perlahan.
Kemudian intrik antara dua kubu yang seharusnya bertolak belakang juga dijadikan mesin penggerak cerita. Ritme yang termasuk lambat di masa-masa ini bisa dipahami karena film perlu membangun eksposisi yang bagus, baik dari sudut pandang polisi maupun dari sudut pandang gangster. Bagaimana mereka termotivasi kepada si pembunuh bayaran ini harus beralasan, bagaimana ceritanya mereka mau bekerja sama juga harus dituturkan. Sesuatu yang sebenarnya memiliki awal yang simpel tapi prosesnya itu tak biasa.
Di sisi lain, penonton juga mulai invest kepada karakter “Devil”. Tidak disangka, film turut menyiapkan petunjuk-petunjuk yang membuat kita tertarik pada karakter sang pembunuh berantai. Biasa lah, kalau ada karakter semacam ini, pasti ada logika kausalitas yang seharusnya terkandung. Apalagi di scene tertentu, sang pembunuh bayaran terlihat lebih emosional dalam menjalankan aksinya karena sesuatu hal. Sayang, seiring berjalannya waktu kita tidak melihat ada sesuatu yang spesial dari dia. Logika kausalitas yang diharapkan muncul seketika itu juga dipatahkan oleh stereotipe.
Poin ini sama sekali bukan masalah, hanya saja bisa membuat penonton yang mungkin sudah tertarik dengan karakter pembunuh bayarannya menjadi sedikit kecewa. Selain itu pada akhirnya sang “Devil” juga tidak lagi bertaji. Ia hanya menjadi objek bagi si polisi dan si gangster guna memenuhi keinginan masing-masing. Meski begitu, akting dari Kim Sung-Kyu sangat dingin dan intimidatif. Cocok banget dalam berperan sebagai pembunuh. Aura kebengisan bisa terus terpancar, meski dirinya sedang berada di kondisi yang tidak menguntungkan.
Seperti yang sudah di-tweet oleh CBI Pictures selaku distributor filmnya, “The Gangster, The Cop, The Devil” agak sedikit “Afgan”. Bagi yang belum ‘ngeh’, itu adalah sebutan bagi kata “sadis” yang merujuk pada salah satu judul lagu dari sang penyanyi. Oke cukup Afgan nya, jadi memang film menunjukkan banyak adegan kekerasan dan darah. Mostly dari karakter Jang dan si pembunuh berantai. Akan ada beberapa scene di mana kita akan meringis kesakitan akibat gambar yang ditampilkan di layar. Selain itu ada beberapa scene juga yang menunjukkan aksi kekerasan menggunakan sebilah pisau tajam. Bagi sang pembunuh, adegan kekerasannya terhitung tidak terlalu brutal ditampilkan karena notabene kebanyakan terjadi di malam hari.
Nah, untuk Jang sendiri kekerasannya lebih nyata terlihat. Ia adalah orang yang sangat kuat dalam memukul. Maka dari itu, kalau Jang memukul orang maka orang tersebut akan langsung modar. Bisa dibilang, Jang adalah karakter yang mewakili karakteristik “Afgan” nya film ini yang sekali pukul langsung modar. Ada beberapa highlight ketika berbicara mengenai hal ini. Yang pertama adalah adegan ketika Jang dan pembunuh bayaran bentrok untuk pertama kalinya. Lalu yang kedua adalah scene perkenalan Jang yang bisa bikin penonton terkejut.
Gimana dengan si detektif? Ia terlihat menarik dari segi karakternya. Jung adalah detektif muda idealis yang tengil dan blak-blakan. Sikapnya yang tak bisa disogok menyebabkan dirinya tak takut untuk mengekspresikan dirinya, sehingga membuat atasannya jengkel setengah mati. Motivasinya dalam kasus ini pun semakin membuat karakternya menarik di tahap konfrontasi. Tapi kredit lebih justru mesti dialamatkan kepada Kim karena ia bisa menunjukkan sebuah perbedaan di tahap resolusi. Jung melakukan sesuatu yang penting dan di situ kita bisa melihat bagaimana setengil-tengilnya dia, Jung adalah orang yang tetap taat pada hukum yang berlaku. Kim bisa menjadi rekan main yang seimbang dengan Ma Dong-Seok sehingga alur cerita yang memang dibawa oleh mereka berdua bisa berjalan terus secara dinamis, menarik, perlahan tapi pasti.
Kerja sama yang sebetulnya bukan kerja sama 100 persen ini bermuara pada sebuah konklusi yang oke. Meski memiliki kelemahan yaitu tidak ada yang bisa diharapkan dari karakter yang awalnya tampil sangat kuat, tahap resolusi di sini memiliki keindahan dalam editing. Alih-alih menampilkan alurnya lempeng ke depan, film pasti menyusun bagian ini secara acak agar kejutan-kejutan yang sebetulnya tidak terlalu mengejutkan bisa disampaikan dengan cara yang tidak membosankan.
Efeknya masih bisa kita rasakan. Ditambah dengan teknik sinematografi yang memunculkan efek dramatik pada momen-momen tertentu, “The Gangster, The Cop, The Devil” memiliki sebuah payoff yang diharapkan. Oh, berbicara mengenai editing, sebetulnya bagian ini tidak hanya tampil brilian di tahap resolusi. Pada tahap konfrontasi, ada satu bentuk editing yang sangat halus digunakan sebagai pergantian scene. Bentuk tersebut adalah “Wipe” dan “Dissolve”.
Teknik wide adalah sebuah transisi shot, di mana frame sebuah shot bergeser (menyapu). Entah ke arah kiri, kanan, atas, bawah, atau yang lainnya hingga shot yang tadi tergantikan oleh shot yang baru. Wipe biasa digunakan untuk perpindahan shot yang terputus waktu dan selisihnya gak terlalu jauh. Sebagai salah satu bentuk editing yang paling jarang ditemukan, ternyata digunakan dengan sangat smooth di dalam film. Shot yang awalnya menyorot Jung kemudian berpindah ke Jang kemudian langsung dissolve. Ini merupakan bentuk editing yang bertumpuk.
Maksudnya adalah, gambar A selama beberapa detik bertumpukan dengan gambar B. Tidak lupa, ada beberapa kali film menggunakan montage sequence. Ini merupakan serangkaian shot yang menunjukkan suatu rangkaian proses dari sebuah peristiwa dari waktu ke waktu. Teknik editing yang ada di sini bisa bermacam-macam, yang penting tujuannya adalah menjabarkan proses dari peristiwanya. Dalam film kita bisa melihat dengan jelas apa peristiwa dan tujuan dari dilakukannya montage sequence ini. Mengingat “The Gangster, The Cop, The Devil” adalah film yang didasari kisah nyata, tentu rentang waktu yang panjang bisa dibuat efektif dengan montage sequence.
Untuk action-nya sendiri, bila dalam “John Wick: Chapter 3” mempertontonkan aksi baku hantam yang memiliki seni dan lebih ekspresif, di film “The Gangster, The Cop, The Devil” adalah kebalikannya. Mereka lebih menunjukkan aksi baku hantam yang brutal, to the point, jauh dari kata cantik. Tapi ini bukan sesuatu yang buruk. Namanya juga film gangster. Pasti akan menjadi seperti itu. Cuman, konsep yang menarik tetap disajikan secara konsisten dari awal, yaitu bagaimana kongkalikong antara gangster dan polisi. Perseteruan yang cenderung biasa saja tapi dibuat seru, dengan kekuatan penuh dari Ma Dong-Seok. Kamu pasti gak akan mau kena tinju dia di sini. Langsung modar!
Director: Lee Won-Tae
Starring: Kim Moo-Yul, Ma Dong-Seok, Kim Sung-Kyu
Score: 7.8/10