Sosok Shalahuddin Siregar, Sutradara Film Pesantren

Pesantren akan segera tayang di Bioskop Online pada 24 Mei mendatang

shalahudin

© Bioskop Online

Pesantren merupakan karya dari Shalahuddin Siregar atau yang akrab disapa Udin. Ia adalah salah satu sutradara Indonesia yang dikenal lewat karya-karya dokumenternya.

Hai, Cilers!

Pesantren merupakan film dokumenter yang menampilkan kisah para santri di pondok pesantren yang ada di daerah Cirebon. Film tersebut sebenarnya sudah pernah tayang terbatas di bioskop pada tahun 2022 kemarin, namun kini penayangannya kembali hadir lewat platform Bioskop Online.

Shalahuddin Siregar adalah sutradara yang menggarap film dokumenter tersebut. Dengan latar belakang sebagai akuntan, tak membuat Shalahuddin Siregar kesulitan untuk mewujudkan karya-karyanya di dunia perfilman.

Ia diketahui aktif mengikuti serangkaian lokakarya termasuk Berlinale Talents, IDFA Academy, dan Tokyo Talents. Dia juga menyutradarai dan memproduksi tiga film dokumenter panjang. Semuanya telah diputar di festival internasional termasuk International Documentary Film Festival Amsterdam (IDFA) dan Dok-Leipzig.

Salah satu film dokumenter yang ia kerjakan berjudul Negeri di Bawah Kabut. Film dokumenter tersebut dirilis pada 2011 lalu dan bercerita tentang kehidupan masyarakat petani di Desa Genikan, yang berada di kaki Gunung Merbabu.

Ide ceritanya muncul saat ia melihat salah seorang warga desa yang menghancurkan hasil panennya sendiri berupa sayur kubis. Mereka menghancurkan hasil panen karena harga jual yang anjlok dengan berkisar Rp. 150 per kilogram.

Film tersebut berhasil memenangkan Muhr Asia Africa Special Jury Prize, Dubai International Film Festival untuk kategori film dokumenter. Sementara di ajang Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2012 film ini memenangkan beberapa penghargaan diantaranya Geber Award, NETPAC Award dan Special Mention.

Film dokumenter lainnya yang ia buat berjudul Lagu untuk Anakku, sebuah film dokumenter yang berkisah tentang para penyintas tragedi 1965. Dulunya, para penyintas ini diasingkan atau dipenjara. Selama di penjara, sebagian dari mereka aktif menulis lagu tentang ibu, tentang anak dan tentang kisah cinta.

Lebih dari 50 tahun kemudian, sekelompok penyintas tersebut mendirikan paduan suara Dialita, yang fokus untuk menyanyikan lagu-lagu yang dibuat di penjara, dan lagu-lagu yang pernah dibungkam pada masa Orde Baru. Dengan harapan dapat meneruskan sejarah kelam Indonesia yang tidak kunjung selesai, kepada generasi muda.

Selain film dokumenter, Shalahuddin Siregar juga pernah menggarap film antologi berjudul Lima. Bersama Lola Amaria, Tika Pramesti, Harvan Agustriansyah dan Adriyanto Dewo, ia menggarap film Lima yang erat kaitannya tentang pancasila. Bahkan film ini ditayangkan pada 31 Mei 2018, satu hari sebelum Hari Lahir Pancasila.

Memiliki cerita masing-masing dari para pemainnya, film ini berisikan tentang pemakaman seorang ibu dari keluarga yang berbeda keyakinan, ujian seorang pelatih atlet yang menghadapi masalah SARA hingga kasus perundungan yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa tak berperikemanusiaan lainnya.

Selain dua itu, film Pesantren adalah karya terbaru Shalahuddin Siregar yang wajib ditonton. Pasalnya, alasan sang sutradara menggarap film ini ada kaitannya dengan film Negeri di Bawah Kabut.

“Salah satu karakter di film dokumenter panjang pertama saya Negeri di Bawah Kabut adalah anak 12 tahun bernama Arifin yang ingin masuk SMP Negeri, tetapi orang tuanya terlalu miskin untuk membayar biaya registrasi yang mahal. Akhirnya mereka mengirim Arifin ke pesantren. Ketika film ini dirilis, ada yang menyayangkan keputusan mengirimkan Arifin ke pesantren karena mereka mengira dia akan dididik menjadi teroris. Pesantren juga sering dituduh kolot dan tidak berkembang. Saya terganggu dengan stigma ini, tetapi meskipun beragama Islam, saya tidak punya pengetahuan yang cukup tentang pesantren. Karena itulah saya membuat film ini, untuk mencari tahu seperti apa sebenarnya kehidupan di pesantren,” ungkap Shalahuddin Siregar.

Ia pun memilih pesantren Pondok Kebon Jambu di Cirebon, yang merupakan pesantren tradisional di Indonesia, tetapi istimewa karena dipimpin oleh perempuan. Hal yang jarang sekali ditemukan sebuah pesantren dengan santri laki-laki dan perempuan, dipimpin oleh perempuan.

Film ini pun mendapat sambutan hangat dan terpilih di kompetisi XXI Asiatica Film Festival 2020 dan International Documentary Film Festival Amsterdam (IDFA) 2019. Film ini juga telah tayang di Madani International Film Festival dan sempat ditayangkan di The University of British Columbia pada Maret 2022.

Film Pesantren sendiri merupakan film dokumenter yang mengajak penonton untuk menyelami kehidupan para penghuni Pondok Kebon Jambu Al-Islamy, salah satu pesantren tradisional terbesar di Cirebon. Para santri di pesantren ini dididik untuk berpikir kritis, mendukung kesetaraan gender, dan menghargai keberagaman.

Penggambaran bahwa laki-laki juga bisa menjadi orang yang penuh perasaan, atau perempuan mampu menjadi pemimpin, membuat film ini berhasil menampilkan kehidupan di dalam pesantren dari sudut pandang berbeda.

Banyak nilai-nilai baik yang diajarkan, bahwa Islam itu baik, damai, sejuk, moderat, toleran dan merangkul. Sosok dalam film bisa menjadi harapan baru untuk Indonesia.

Untuk menonton film Pesantren, jangan lupa untuk membeli tiket di Bioskop Online. Penonton bisa membeli tiket film Pesantren seharga Rp 15.000,- dan bisa mendapatkan harga khusus pre-sale sebesar Rp 10.000,- yang bisa dipesan mulai 15 hingga 23 Mei 2023.

Dengan membeli tiket film Pesantren, penonton juga ikut berbagi, karena sebagian dari setiap pembelian tiket akan di donasikan ke Rumah Zakat. Donasi tersebut nantinya akan disalurkan dalam rangka membantu pesantren dan santri di desa berdaya binaan Rumah Zakat.

Exit mobile version