Kehadiran ‘Transformers’ dalam perfilman dunia memang memberikan pengalaman baru untuk menyaksikan hubungan manusia dengan robot alien, namun benarkah sekuelnya tidak lebih baik dari film pertamanya?
Michael Bay, sang sutradara, sebagai salah satu sutradara besar di Hollywood, bukanlah pembuat film yang buruk. Porsi yang kuat dalam setiap filmografinya membuat sebuah kasus yang masuk akal dalam genre nya masing masing, termasuk ‘The Rock’, ‘Bad Boys’, dan bahkan ‘Armageddon’ oleh para sejarawan film.
Michael cukup baik dengan genre yang ia geluti, dan pernah juga melangkah keluar dari zona nyamannya dengan mengambil genre komedi gelap dan satir pada film ‘Pain & Gain’, kisah sebuah perang nyata pada film ‘13 Hours: The Secret Soldiers of Benghazi’ dan ‘6 Underground’. Project filmnya selalu memiliki dana yang besar, namun setara dengan menampilkan tim belakang layar yang luar biasa serta melakukan hal-hal inventif dalam penyuntingan, audio, dan visual.
Film yang terinspirasi dari serial Hasbro ini memang terlihat tidak masuk akal seperti apa yang dibayangkan penonton dari serial kartunnya. Film-filmnya terlihat semakin malas digarap dengan momen-momen yang sebagian selesai atau kelanjutannya salah.

Masalah berulang yang terjadi pada franchise ‘Transformers’ secara umum adalah plot dasar yang sama pada semua film. Ceritanya selalu mengenai Autobots yang menemukan semacam artefak di Bumi, lalu mereka bekerja sama dengan pemerintah dan beraliansi. Megatron juga selalu menemukan cara untuk melarikan diri, dari penjara. Masalah tentang “plot sama yang berulang” benar menjadi kasus franchise, tetapi 15 tahun lalu ini bukan masalahnya.
‘Transformers’ yang dirilis pada 2007 dalam seri Michael Bay, bukanlah sebuah mahakarya. Hal ini didasari pada plot yang longgar, cerita yang klise, dan dialog yang konyol. Namun, film ini kurang dalam hal sinisme yang ternyata muncul dalam film-film selanjutnya.
Ada perasaan saat menonton ‘Transformers’ sebuah kekonyolan yang menyenangkan, dan terlalu fokus dengan design tidak selalu merupakan hal yang buruk bagi franchise yang berdasar pada action figure. Ketika berbicara tentang hal terburuk yang ditawarkan oleh studio pembuat film, adalah ketika tidak merujuk pada “franchise Transformers” tetapi “sekuel Transformers”.
Kesalahan pertama yang ada pada sekuel ‘Transformers’ adalah dilupakannya protagonis yang memiliki alasan untuk berinteraksi dengan robot alien. Sam Witwicky (Shia Labeouf) bukan karakter yang rumit, tetapi remaja sederhana yang bisa menjadi gambaran sempurna untuk audiens film itu. Sam adalah sosok yang walaupun sering berkata kasar, ia bukan remaja yang kejam.
Latar belakang Sam dengan leluhurnya, Kaptem Witwicky, yang membuat ia terhubung dengan kemunculan Transformers di bumi. Namun yang menarik adalah hubungannya dengan Bumblebee. Ada sebuah chemistry antara Sam dengan Bumblebee yang seperti sebuah peliharaan, dan mungkin inilah yang menarik perhatian Steven Spielberg untuk bergabung ke project ini.

Hal-hal dasar di film pertama ini adalah hal dasar yang diabaikan oleh film-film selanjutnya. ‘Revenge of the Fallen’ mengubah Sam menjadi tokoh yang gila, sedangkan ‘Dark of the Moon’ memberikannya sebuah takdir yang konyol bagi karakter yang sudah tumbuh. Film-film berikutnya semakin memburuk ketika munculnya Mark Wahlberg sebagai pria Boston yang tinggal di Texas, yang kebetulan adalah penemu jenius.
Kemunculan pertama Sam menjadi sebuah awal yang baik untuk penonton dimana ia menjadi karakter yang menyenangkan untuk bertemu dengan Transformers pertama kalinya. Dia pria yang memiliki keinginan sederhana, sebuah mobil untuk menarik perhatian Mikaela Banes (Megan Fox) yang ia taksir. Penggambaran Michael tentang perempuan bukan salah satu aspek di film ’Transformers’ yang layak dipertahankan, namun hubungan Mikaela dan Sam sangat tulus dan menarik di film pertama.
Film ini mempertahankan para pemain pendukung agar tidak terlalu mencolok, dan ini menjadi masalah ketika aktor-aktor hebat yang dilibatkan seperti Stanley Tucci dan Frances McDormand tampaknya muncul dengan peran yang tidak cukup jelas.
Contoh lain seperti alur cerita moderasi militer yang melibatkan Kapten Ranger Angkatan Darat, William Lennox (Josh Duhamel) yang membantu menginformasikan taruhannya, ada juga pihak eksposisi yang cukup membosankan namun tegas dari karakter Menteri Pertahanan Amerika Serikat John Keller (Jon Voight), dan humor konyol yang dilontarkan Anthony Anderson dalam mengisyaratkan sejarah Transformers di Bumi.
Semua ini tidak kompleks, namun semuanya bergabung untuk menjaga cerita agar terus berjalan, walaupun menjadi tidak menarik.
Karakter manusia yang kurang menarik terus menjadi fokus film ini, padahal kritik yang sama selalu muncul pada para Transformers yang jarang disempurnakan. Hal ini menjadi alasan untuk yang terbaik melihat Transformers di film pertamanya.

Beberapa Transformers memang tidak didefinisikan dengan ciri berbeda, dinamika penting sudah ada ketika Sam memilih Bumblebee untuk menjadi partnernya dan Bumblebee berhasil membuktikan dirinya berada di dalam suatu lingkungan bersama Sam, serta Optimus Prime yang berusaha menemukan rumah bagi rakyatnya. Karakter di pemeran lainnya dapat dikembangkan di film-film selanjutnya, tetapi masalahnya bukan itu.
‘Transformers’ lebih mudah dinikmati oleh penonton karena mitologi tidak memerlukan pengetahuan yang obsesif. All Spark yang memberikan kekuatan pada Transformers, hanya itu, sedangkan sekuelnya hanya mencoba untuk mengulang segala sesuatu, dari mulai Piramida Mesir hingga garis waktu yang rumit.
Michael mengerti bahwa Transformers adalah mainan, jadi walaupun ada sesuatu yang epik di dalam pembuatan filmnya, ‘Transformers’ tidak akan mencoba menjadi ‘Lord of the Rings’. Beberapa adegan dan aksi memang dibuat setidaknya untuk membuat Michael dan tim bersenang-senang dengan konsepnya.
‘Transformers’ bukanlah film yang sempurna dalam segi apapun dan imajinasi siapapun. Itu akan menjadi aspek terpisah dalam filmografi Michael Bay, karena ia mungkin lebih nyaman dengan genre aksi, seperti ‘The Rock’ dan ‘Bad Boys’ daripada fiksi ilmiah.
Bagaimanapun, film yang menyenangkan ini tergelincir oleh reputasi budaya yang dilanjutkan oleh sekuelnya, dan itu sedikit mengecewakan. Meskipun itu menjadi pelopor era baru sinisme blockbuster, ada potensi dalam film ini untuk menjadi guilty pleasure yang sederhana.