Cineverse
  • Home
  • Movies
  • Series
  • Reviews
  • Hype
  • More
    • Games
    • Hobby
    • Lifestyle
    • Tech
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
Cineverse
  • Home
  • Movies
  • Series
  • Reviews
  • Hype
  • More
    • Games
    • Hobby
    • Lifestyle
    • Tech
No Result
View All Result
Cineverse

‘Robin Hood’, Remake yang Hadir dengan Aksi dan Sentuhan Modern

Juventus Wisnu by Juventus Wisnu
November 21, 2018
in Movies
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

“Four years ago I marched off to fight a lions court, came home to nothing. I was Robin of Loxley. Now I really don’t care what I am.” – Robin Hood.

Melihat judulnya saja, kamu pasti sudah tahu kalau ini merupakan film remake dari kisah klasik yang sudah diceritakan berulang-ulang kali. Robin Hood terkenal sebagai pemanah ulung yang mencuri harta dari orang-orang kaya gila kuasa, kemudian membagikannya kepada rakyat jelata. Dari generasi ke generasi, basic cerita itu tidak pernah berubah. Hanya saja, jika melihat ke tampilannya, tentu Robin Hood bisa mengalami perubahan atau “upgrading”.

Otto Bathurst yang sebagian karirnya dihabiskan untuk menyutradarai serial TV seperti “Peaky Blinders” (2011), “Black Mirror” (2013), sadar akan hal ini sehingga ia dan timnya langsung menampilkan hal tersebut. Ia memberikan sentuhan kekinian, khususnya dari unsur sinematik. Robin of Loxley terlihat lebih modern dengan pakaian yang potongannya lebih pas ke tubuh. Belum cukup, gaya memanahnya juga sudah setara dengan Hawkeye ataupun Arrow! Refreshing yang terlihat ekstensif, namun apakah hal itu berhasil memberikan jawaban kenapa kita harus nonton film “Robin Hood zaman now”? Berikut ulasannya.

Jadi, film “Robin Hood” diawali oleh sedikit ilustrasi yang menjadi prolog dari narasi filmnya. Di situ dijelaskan bahwa sang narator lupa persisnya latar tahun kejadian tapi dari aspek setting yang ada bisa dikira film berlatar abad pertengahan atau biasa disebut “Medieval”. Di sana tinggal seorang bangsawan bernama Robin of Loxley (Taron Egerton), yang hidup bersama dengan kekasihnya yaitu Marian (Eve Hewson). Suatu hari, Robin ditugaskan untuk mengikuti wajib militer. Meski ia merupakan bangsawan, Robin ternyata harus berperang menjadi seorang ksatria perang salib. Hampir terbunuh di jazirah Arab, Robin dikembalikan ke Inggris akibat sebuah insiden. Sampai di rumahnya, alangkah terkejutnya Robin ketika tahu ia kehilangan segalanya. Rumahnya hancur disita pemerintah. Marian juga tidak ada di sana. Lebih kaget lagi Robin ketika ia mengetahui dirinya dianggap sudah gugur dalam perang.

Jika mencoba untuk mencari film yang masih tergolong baru dan terlihat serupa dari segi visual, maka Robin Hood mirip-mirip dengan “The Three Musketeers” (2011) atau yang agak baru sedikit, “King Arthur” (2017) yang dibintangi Charlie Hunnam dan Jude Law. Pertama, dari pakaian yang dikenakan oleh karakter-karakter penting. Robin Hood begitu berbeda karena para tokoh menggunakan pakaian yang kelihatannya lebih kece meskipun filmnya jadi lepas dari akurasi sejarah dan out of context dengan latar medieval. Seperti yang biasanya kita tahu, latar medieval dihiasi oleh karakter-karakter yang mengenakan jubah bagi tokoh laki-laki golongan atas, dress bagi tokoh perempuan, kemudian pakaiannya juga terdiri dari kain dengan beberapa layer dan motif-motif tertentu. Jahitannya pun bukan jahitan mesin. Tapi, di sini, poin-poin tadi akan sulit ditemukan. Kostum yang dikenakan tokoh Sheriff Nottingham (Ben Mendelsohn) yang dulunya berbentuk jubah berubah menjadi semacam cape, yang membuatnya terlihat tak ada bedanya dengan tokoh Director Krennick di film “Rogue One”.

Untuk Taron, lebih gila lagi. Jika membandingkan dengan kostum Robin Hood-nya Kevin Costner, kostum Robin Hood-nya Taron terkesan lebih simpel dan ringkas. Tapi apakah tetap sesuai dengan tuntutan narasi? Oh belum tentu. Jaket yang dikenakan Robin of Loxley nampak seperti Jaket Superdry dari abad 21! Apakah jaket dengan jahitan yang cukup rumit seperti itu sudah ada di era medieval? Sepertinya belum, atau paling tidak susah untuk menerima kalau jaket itu ada. Belum selesai, ada juga saat di mana Robin mengenakan setelan luaran motif kotak-kotak. Terlihat keren memang, tapi di sisi lain busana ini akan kembali mengangkat alis penonton karena motif semacam itu jarang atau bahkan tidak pernah nampak ditampilkan pada setelan atas pakaian.

Kemudian, kostum yang dikenakan Marian juga tak luput dari perhatian. Marian masih mengenakan dress, namun dibuat lebih berwarna, tak sekedar pale (which is good). Tapi, di beberapa scene, Marian juga mengenakan semacam jaket yang justru menambahkan kesan rockstar, bukan rakyat jelata yang hidup di daerah tambang. Sudah gitu, jaketnya ini juga tidak hanya satu, tapi dua. Ada yang berwarna hitam, satu lagi berwarna krem. Dari sini terlihat bahwa departemen kostum film “Robin Hood” terlalu memodernisasi kisah klasik. Niat yang baik, tapi eksekusinya malah bikin kesesuaian antara aspek narasi dan sinematik jadi terusik.

Kemudian, ada beberapa poin yang dibuat berbeda antara cerita Robin Hood yang satu ini dengan Robin Hood versi Kevin Costner. Sayangnya, perbedaan-perbedaan ini justru memicu poin negatif berikutnya. Pertama, mengenai Sheriff Nottingham. Ia adalah orang yang di dalam film sangat berkuasa, apalagi jika kita melihatnya dari segi politis. Sheriff bisa memaksakan kehendak tanpa ada intervensi siapapun, padahal jika kita tahu, seharusnya ada satu karakter yang bisa menjadi “benteng” dan di versi Costner, karakter tersebut muncul. Bagi yang lupa nama tokohnya, ia adalah King Richard yang diperankan oleh Sean Connery. Ketiadaan King Richard dalam versi ini membuat film Robin Hood memiliki vacuum of power. Hal itu dimanfaatkan untuk membuat karakter Sheriff begitu perkasa namun di sisi lain jadi sedikit aneh karena absennya peran sang raja. Andai saja King Richard turut dimasukkan, cerita bisa jadi akan memiliki intrik yang lebih menarik dan dalam.

Kemudian mengenai dua karakter pendukung yaitu Will (Jamie Dornan) dan Gisbourne (Paul Anderson). Untuk Will, dia ditampilkan secara tidak jelas. Saat pertama kali bertemu dengannya, anggapan yang muncul adalah Will merupakan orang yang akan membantu Robin dari segi influence kepada rakyat. Bergerak di posisi rendah, kesan ini semakin kuat karena sikapnya yang berani berbicara kepada pemerintah. Ia juga merupakan orang yang membuat pengambilan suara ditunda karena kedatangan kembali Robin of Loxley.

Tapi, ketika film memasuki third act, film secara inkonsisten menyajikan karakter Will yang ditampilkan seperti 180 derajat berbeda. Karakter ini akan semakin berkembang seiring berjalannya waktu. Tapi motivasinya tidak cukup kuat. Hanya karena sesuatu yang sifatnya kekanak-kanakan. FYI, Will di film ini dengan Will di film versi Kevin Costner juga dibuat berbeda. Sayangnya lagi, sepertinya perbedaan itu tidak harus ada. Justru unsur emosi akan jadi lebih berasa lagi jika film ini tetap menempatkan Will sama dengan versinya dulu.

Last but not least, Gisbourne. Karakter ini memiliki perbedaan dari status-nya di dalam film. Bila mengacu kepada versi Kevin Costner, Gisbourne adalah tangan kanan dari Sheriff Nottingham, tapi di film versi Taron Egerton, Gisbourne adalah prajurit perang salib (Crusader) yang secara khusus dipanggil ke Inggris untuk mengalahkan Robin Hood. Jujur, jika Gisbourne tetap menjadi tangan kanan Sheriff Nottingham maka fim akan lebih menarik. Gisbourne bisa dimanfaatkan secara optimal dalam melakulan perampasan pemerintah pada rakyat jelata. Selain itu, motivasi juga menjadi lebih kuat karena keinginan untuk membunuh Robin Hood pasti semakin memuncuk jika Gisbourne tetap tinggal di Inggris dan berkonfrontasi dengan Robin dari awal-awal, bukan malah sebaliknya. Keterkaitan antara Robin dan Gisbourne di film ini juga terasa janggal. Film memanfaatkan sesuatu yang sesungguhnya dimanfaatkan secara keliru guna memunculkan hukum sebab-akibat antara dua karakter ini.

Cuma yang paling konyol dari Robin Hood terletak pada segi cerita di adegan aksinya. Tidak seperti unsur action-nya yang dibuat seru dan berenergi, cerita yang melatari aksi justru memunculkan flaws yang bisa bikin drop. Untuk sequence keributan di area tambang, action yang sudah sedemikian rupa sulitnya berjalan di atas rel yang sudah berbeda dari tujuan semula. Awalnya karakter utama ingin pergi ke tambang karena motif A, namun setelah sampai sana, motif A tadi berubah menjadi motif B, yang sayangnya cheesy.

Kemudian di babak resolusi. Di sini film mengambil inspirasi dari “The Italian Job” (2003) di mana konklusinya terlihat serupa. Itu tidak masalah. Yang jadi masalah adalah perencanaan skrip yang kayaknya belum matang. Hal ini ditunjukkan dari betapa bodohnya pasukan Sheriff Nottingham dikelabui. Hampir seluruh pasukan (termasuk Sheriff Nottingham) keluar menghadapi para pemberontak sehingga tidak menyisakan bala tentara yang cukup di belakang. Ini membuat pihak antagonis terlihat bodoh sekali. Sheriff Nottingham yang sudah begitu jahatnya ternyata masih bisa melakukan kesalahan seorang pemula.

Modern take dari kisah klasik yang terlalu berlebihan unsur modern-nya hingga membuat ketidaksesuaian antara unsur mise-en-scene dan tuntutan naratif. Ceritanya dituturkan secara dinamis, pace-nya cepat sampai membuat aspek lain yang dibutuhkan seperti kedalaman cerita dan emosi jadi kurang terekspos. Chemistry antara Taron Egerton dan Eve Hewson juga kurang greget. Beberapa kali mereka memeragakan keintiman di saat yang canggung. Jadi, apa lagi yang ingin kita ketahui dari sang pencuri yang satu ini?

 

Director: Otto Bathurst

Starring: Taron Egerton, Jamie Foxx, Ben Mendelsohn, Jamie Dornan, Eve Hewson, Tim Minchin, Paul Anderson

Duration: 116 Minutes

Score: 6.0/10

Tags: Ben MendelsohnEve HewsonJamie DornanJamie FoxxOtto BathurstPaul AndersonPopularTaron EgertonTim Minchin
Juventus Wisnu

Juventus Wisnu

“Don't ask yourself what the world needs, ask yourself what makes you come alive. And then go and do that. Because what the world needs is people who have come alive.”

Related Posts

Black Bird

Inilah Pemain & Karakter yang Muncul di Serial ‘Black Bird’

July 7, 2022
Kingsman: The Golden Circle

Pertemuan Taron Egerton dengan Marvel, Perankan Wolverine?

July 3, 2022
The Holiday

Lama Tak Terdengar, Cameron Diaz Kembali Lagi Berakting

July 1, 2022
dakota johnson

Dakota Johnson Akui Syuting ‘Fifty Shades of Grey’ Sangat Kacau

June 30, 2022

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Cineverse

© 2020 - 2022 Cineverse - All Right Reserved

Follow Us

  • Home
  • About Us
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Privacy Policy
  • Kode Etik Jurnalistik

  • Login
  • Sign Up
No Result
View All Result
  • Home
  • Movies
  • Series
  • Reviews
  • Hype
  • About Us
  • More
    • Games
    • Hobby
    • Lifestyle
    • Tech

© 2020 - 2022 Cineverse - All Right Reserved

Welcome Back!

Sign In with Facebook
Sign In with Google
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Sign Up with Facebook
Sign Up with Google
OR

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In