“Seperti yang sudah pernah mama bilang, sebagai laki-laki yang terlahir dari kelamin yang berdarah, Martha, beta minta maaf,” – Damar (Woman from Rote Island, 2023)
Sebagai salah satu film yang didapuk sebagai Film Terbaik di FFI 2023 dengan perolehan 4 Piala Citra, di antaranya untuk Sutradara Terbaik, Sinematografi Terbaik dan Skenario Asli Terbaik, akhirnya diputar serentak di layar lebar Indonesia.
Rasa penasaran mungkin hadir di beberapa penikmat film yang ingin tahu seberapa bagusnya film ini hingga bisa mengalahkan dominasi Budi Pekerti (Andragogy) yang meraih total meraih 17 nominasi Piala Citra, namun ‘hanya’ berhasil membawa pulang 2 Piala Citra untuk Aktris Terbaik (Sha Ine Febriyanti) dan Aktris Pendukung Terbaik (Prilly Latuconsina).
Setelah Cineverse menonton film ini (tak hanya sekali) di beberapa event berbeda, rasanya kita malah meragukan kapabilitas Dewan Juri FFI yang memenangkan Woman from Rote Island. Sebagai orang awam penikmat film, kita sadar betul kalau keputusan menunjuk film ini untuk jadi yang terbaik sudahlah final dan tak bisa diganggu gugat lagi.
Sinopsis
Abraham yang telah meninggal sembilan hari, belum juga dikuburkan karena ia telah berpesan untuk tidak dikubur sebelum Martha (Irma Novita Rihi) pulang dari Sabah, Malaysia. Kepulangan Martha tentu menjadi kebahagiaan bagi keluarganya, terutama ibunya Orpa (Dessy Adoe) dan adiknya Bertha (Sallum Ratu Ke).
Namun, setelah dua tahun berada di luar negeri, Martha ternyata mengalami depresi berat akibat pemerkosaan yang dialaminya saat bekerja sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit. Sebagai kepala keluarga, Orpa juga harus menjadi wanita yang kuat. Namun, karena lingkungan kurang kondusif, Martha kembali menjadi korban pelecehan seksual.
Hanya menjual kisah sedih dan nestapa
Entah apa yang diinginkan Jeremias Nyangoen yang menyutradarai sekaligus menulis film ini. Plot cerita yang tidak jelas, pembabakan yang terlihat absurd, dan yang paling menganggu adalah seolah-olah Woman from Rote Island hanya sekedar menjual kisah sedih dan nestapa para perempuan Rote yang terintimidasi tanpa henti.
Tidak usah dengan menunjukkan adegan pemerkosaan yang diulang berkali-kali lewat beberapa adegan berbeda, kita juga sudah paham maksudnya. Ditambah lagi dengan adegan homoseksual yang malah mengaburkan masalah dan melebar kemana-mana.
Namun, dengan kejadian di atas menunjukkan seolah-olah perempuan Rote bukanlah sosok yang kuat dalam melawan segala bentuk pelecehan yang bisa terjadi kapan saja, bahkan di sekitar rumah mereka sendiri.
Konklusinya pun tidak mencerminkan sesuatu yang nyata dan bisa ditindaklanjuti. Hanya sekedar aksi teatrikal sekelompok perempuan yang terorganisir dengan baik dan hadir tanpa konklusi yang bisa dimengerti kaum awam.
Kesimpulan
Hanya dua aspek yang bisa dipuji dalam Woman from Rote Island. Dua aspek yang bisa dipuji adalah ide ceritanya yang tidak biasa (walaupun sayang eksekusinya jauh dari kata memuaskan), dan kualitas aktingnya yang teramat sangat baik untuk ukuran pemain lokal.
Chemistry antar mereka juga menyatu dan tidak ada kesenjangan yang terlihat. Menariknya lagi, kita bisa melihat bagaimana akulturasi budaya lokal dengan agama Kristen bisa hidup berdampingan tanpa mengganggu satu sama lain. Hanya itu saja yang bisa menjadi nilai tambah film ini.
Visualisasinya masih tergolong biasa saja (bila kita bandingkan dengan nominator lain) dan transisi adegannya terbilang buruk untuk level sekelas film terbaik FFI. Untuk jadi yang terbaik di Indonesia? Sangat bisa. Tapi untuk maju dan memenangkan penghargaan di festival film berskala internasional? Mimpi sajalah.
Director: Jeremias Nyangoen
Cast: Merlinda Dessy Adoe, Irma Novita Rihi, Bani Sallum Ratu Ke, Van Jhoov, Maria Dona Ines, Leonard Leo Leba, Putri Diana Soarez Moruk, Yulius Oktavianus, Chelsi Tasi
Duration: 108 Minutes
Score: 4.6/10
WHERE TO WATCH
The Review
Women from Rote Island
Women from Rote Island mengisahkan Mama Orpa yang harus menghadapi diskriminasi dalam masyarakatnya dan menjadi korban kekerasan