“Ketidaktahuan adalah berkah dari Ilahi,” – Karsa Atmojo (Sewu Dino)
Tahun lalu, 2022, jagat sinema Indonesia dihebohkan dengan dirilisnya film KKN di Desa Penari, film bergenre horor ini di saat itu memang ditunggu-tunggu kehadirannyan oleh para penggemar film. KKN di Desa Penari kemudian menjadi fenomenal karena menjadi film terlaris dengan mencapai rekor penonton hingga 10 juta.
Sebelum muncul dalam bentuk layar lebar, KKN di Desa Penari sempat membuah heboh para netizen dengan ceritanya yang banyak membuat orang penasaran di salah satu platform media sosial. Karya yang ditulis oleh Simpleman ini lalu dibuat dalam bentuk buku yang berjudul sama.
Sekarang ini karya kedua dari Simpleman, seorang penulis yang selalu menutupi identitasnya ini muncul kembali dan dialihwahanakan ke film. Karya kedua Simpleman yang diangkat ke dalam film ini berjudul “Sewu Dino”.
Sama seperti halnya KKN di Desa Penari, Sewu Dino juga berangkat dari kehebohan platform media sosial dan dituangkan kembali ke dalam novel. Dan sekarang film ini dirilis menjadi salah satu film yang disiapkan untuk menyambut hari raya Lebaran 2023.
Sinopsis Film
Tiga orang perempuan muda yang baru saja diterima bekerja sebagai asisten rumah tangga di keluarga kaya raya bernama Atmojo, secara tiba-tiba dibawa masuk kedalam suatu daerah yang jauh dari keramaian. Ketiga orang yang bernama Sri Rahayu (Mikha Tambayong), Erna (Givina Lukita), dan Dini (Agla Artalidia) tersebut dibawa jauh masuk ke tengah hutan dan tiba di sebuah rumah kayu sederhana.
Di dalamnya, mereka terkejut karena ternyata mereka ditugaskan untuk merawat dan menjaga seorang gadis muda bernama Della Atmojo (Gisellma Firmansyah), cucu dari kepala keluarga Atmojo. Della ternyata terkena santet bernama Sewu Dino dan tugas dari Sri, Erna, dan Dini adalah menjaganya sampai hari ke 1000. Apa yang tejadi setelah 1000 hari, apakah Della bisa terlepas dari santet tersebut?
Sewu Dino adalah film yang kental dengan unsur kebudayaan Jawa, film yang juga kental dengan praktik klenik ini disajikan dengan dialog-dialog berbahasa Jawa. Bagi yang mengerti bahasa Jawa, dialognya cukup mudah dimengerti karena menggunakan bahasa Jawa sehari-hari. Tapi bagi yang tidak memahami bahasa Jawa jangan takut karena dialog tersebut disertai dengan teks berbahasa Indonesia.
Alur ceritanya cukup rapi tertata dan mudah diikuti bagi yang menontonnya. Intensitas ketegangan dibangun secara perlahan dengan dibalut misteri demi misteri tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan Della dan siapa yang mengirimkan santet tersebut. Film ini membangun cerita seramnya dengan memberikan gambaran melalui praktik-praktik klenik yang mistis yang terkadang mengerikan.
Untuk sebuah film horor, kehadiran makhluk menyeramkan dan jumpscares yang ditampilkan dalam Sewu Dino terbilang minim. Kesan horor maupun kengerian dibangun dengan baik lewat kejadian-kejadian mistis dan praktik-praktik klenik yang ditampilkan yang semakin membuat penasaran dan rasa cemas tentang apa yang terjadi selanjutnya bagi yang menontonnya sepanjang film ini berlangsung.
Suasana ngeri tersebut juga terbantu dengan latar tempat yang digambarkan secara tepat seperti dalam novelnya. Sebuah rumah kayu sederhana berdiri di tengah hutan dan jauh dari keramaian menambah aroma mistis semakin mencekam.
Apalagi latar waktunya pun ikut memberi dukungan di mana latar kejadian banyak terjadi di senja hari menjelang matahari hampir terbenam. Nuansa remang-remang menjelang kegelapan tersebut turut memberikan perasaan gelisah dan galau.
Desain produksi pun terbilang mendetail cukup berhasil memberikan gambaran suasana terpencil di sebuah pedesaan Jawa. Mulai dari rumah kayu yang tanpa listrik, di mana pada malam harinya penerangan yang didapat hanya melalui lampu petromaks ataupun lampu cempor semakin membuat daya mencekam bertambah kuat.
Demikian pula penggambaran rumah dari keluarga Atmojo sebagai keluarga kaya raya di Jawa Timur. Rumah mewah berarsitektur bergaya modern dan kuno khas Jawa itu berhasil memberikan nuansa kemegahan tentang keluarga Atmojo yang memang sedari dulu dipandang sebagai keluarga terpandang.
Lokasi dari hampir semua peristiwa yang terjadi dalam Sewu Dino terpusat dalam rumah kayu di hutan terpencil tersebut, di mana di dalamnya hanya ada Sri, Erna, dan Dini serta Dela sebagai korban santet. Interaksi dan dialog yang terjadi di antara Sri, Erna, dan Dini terbilang apik terlihat alami meski pun ketiganya baru saja saling kenal. Performa akting ketiganya pun cukup bagus dan berbagi waktu peran yang hampir merata.
Meski Mikha Tambayong yang diplot sebagai Sri sebagai karakter utama di sini baru terlihat lebih menonjol pada saat menjelang akhir filmnya. Sayangnya dibanding dua peran lainnya, Erna dan Dini, tata rias dan kostum yang dipakai oleh Sri sebagai seorang gadis desa yang lugu masih terlihat modern dan modis, kurang memberikan penggambaran sesungguhnya sebagai seorang perempuan muda dari desa.
Visual efek dan riasan karakter dari Sengarturih yang merasuk dalam raga Della Atmojo juga terlihat halus dan meyakinkan menunjukkan keseraman yang sesungguhnya seperti selama ini yang dibayangkan dalam novel Sewu Dino.
Kesimpulan
Sewu Dino memberikan keakuratan narasi berdasarkan novelnya, rasa penasaran dari misteri yang menyelubungi peristiwa dalam keluarga Atmojo dan pada akhirnya berakibat tragis pada Della Atmojo disajikan dengan intensitas kengerian yang apik. Untuk sebuah film yang terbilang minim dalam membangun ketakutan melalui kehadiran makhluk mengerikan, Sewu Dino cukup berhasil melakukannya.
Director: Kimo Stamboel
Cast: Mikha Tambayong, Rio Dewanto, Karina Suwandi, Marthino Lio, Givina Lukita, Maryam Supraba, Agla Artalidia, Pritt Timotius, Giselma Firmansyah
Duration: 120 minutes
Score: 7.0/10
WHERE TO WATCH
The Review
Review Sewu Dino (2023)
Sewu Dino mengisahkan tentang santet 1000 hari yang menimpa gadis muda bernama Della Atmojo, dan tiga orang pelayan ditugaskan menjaganya tiap hari