Review Midnight at the Pera Palace (2022)

Kisah Seorang Jurnalis yang Terlempar ke Masa Lalu dari Tahun 2022

“Kegelapan akan selalu menang ketika jiwa picik.” – Dimitri (Midnight at the Pera Palace).

 

‘Midnight at the Pera Palace’ memiliki premis yang menarik bagi mereka penyuka cerita investigasi dan fantasi. Serial buatan Emre Sahin, Kelly McPherson, dan Sam Anzel ini menyatupadukan kedua unsur tersebut, menyajikan sebuah tontonan perjalanan waktu seorang jurnalis asal Turki bernama Esra ke tahun 1919 untuk mencegah dibunuhnya Mustafa Kemal Ataturk, pria yang kelak akan menjabat sebagai presiden Turki.

Dibekali oleh dasar cerita yang menggugah keinginan untuk penonton, ‘Midnight at the Pera Palace’ seperti kehilangan arah di sepanjang episode karena melupakan banyak unsur yang sudah mereka bangun di awal. 

‘Midnight at the Pera Palace’ dibintangi oleh aktris ternama Hazal Kaya yang dengan apik berperan sebagai jurnalis penuh rasa penasaran dan kerap membandel saat menjalankan tugasnya. Hadirnya Hazal Kaya tak lantas membuat serial ini mempunyai cerita yang seru dan eksploratif. Naskah yang jauh dari kata bagus membuat banyak karakter di serial ini tenggelam di keburukan tersebut, termasuk para antagonis yang digambarkan sangat membosankan.

‘Midnight at the Pera Palace’ memiliki keunggulan dari segi tata artistik karena mampu memperlihatkan busana dan tampilan Turki yang elok dan menawan. Fesyen yang identik dengan masyarakat Eropa Tenggara pasca perang dunia pertama.

Sinopsis

Pera Palace adalah sebuah hotel di Turki yang sudah berumur tua. Di ulang tahunnya yang ke-130, Esra (Hazel Kaya) diminta oleh bosnya untuk meliput dan membuat 130 fakta tentang hotel tersebut. Dengan perasaan terpaksa, Esra mengiyakan perintah tersebut dan berangkat ke Pera Palace.

Sesampainya di Pera Palace, Esra disambut oleh manajer hotel, Ahmet (Tansu Bicer) yang akan memandu dia dan memperkenalkan beberapa sudut di hotel itu. Salah satu ruangan yang menjadi daya tarik wisata di situ adalah kamar yang ditempati Agatha Christie ketika menulis beberapa bukunya. 

Kegiatan meliput pun selesai, namun Esra ditawari oleh Ahmet untuk menginap terlebih dahulu di Pera Palace karena jalanan di luar masih diguyur hujan. Setelah menerima tawaran Ahmet, Esra ditempatkan di sebuah kamar kosong untuk beristirahat.

Saat hendak menyudahi hari, Esra melihat sebuah kunci tua di meja kamarnya, dan sadar kalau itu adalah yang digunakan untuk membuka kamar milik Agatha Christie. Tanpa pikir panjang, ia langsung masuk ke kamar itu dan malah terlempar ke tahun 1919. Ternyata, kamar itu bisa membawa penghuni yang memegang kuncinya melakukan perjalanan waktu ketika tengah malam tiba.

Terdampar di 1919 tak membuat Esra panik. Ia senang bisa bertemu dengan beberapa tokoh yang ia gemar, salah satunya Agatha Christie. Ahmet yang ternyata memiliki kunci yang sama dengan dirinya, datang menjemput Esra untuk kembali ke 2022. Tetapi, semua rencana itu buyar ketika melihat jasad dari kembaran Esra, Peride (Hazal Kaya), terkapar di kamar mandi ruangan tersebut.

Ahmet kaget bukan kepalang, sebab Peride seharusnya tidak meninggal saat itu. Khawatir bisa mengacaukan timeline yang sebenarnya, Esra dan Ahmet sepakat untuk melakukan investigasi atas pembunuhan tersebut, dengan Esra yang mau tidak mau harus berperan menjadi Peride.

Menjanjikan sesuatu yang pada akhirnya tidak dilaksanakan

Ketika Esra pertama kali diperkenalkan, dia adalah seorang jurnalis yang kerap membandel dari perintah awal bosnya. Ia pernah diminta untuk membuat artikel pendek, namun malah datang dengan artikel in-depth dengan 10.000 kata. Alasannya, Esra ingin meliput kejadian tersebut dari skala yang lebih luas lagi. Itu tidak hanya terjadi sekali dua kali.

Di situ, Esra ditunjukkan sebagai jurnalis yang memiliki determinasi tinggi terhadap suatu hal. Kemampuannya dalam menyelidiki dan mencari tahu dapat dibuktikan dari rangkaian kegiatan membelotnya. Meski memang tidak disukai oleh bosnya, kelihaian Esra dalam mencari fakta tidak perlu diragukan lagi.

© Netflix

Sepanjang serial, kemampuan mumpuni tersebut tidak muncul sedikitpun. Esra lebih diperlihatkan sebagai orang yang konyol dan tanpa perhitungan melakukan berbagai kegiatan investigasinya. Sebagai pemeran utama dia memang memiliki tanggung jawab untuk menghidup serial fantasi ini dari sisi komedinya, namun itu menjadi kelemahan yang akhirnya meredam kemampuan jurnalis Esra yang sebenarnya.

Inkonsistensi dalam berbahasa

Ada satu hal yang cukup mengganjal dari percakapan di ‘Midnight at the Pera Palace’. Di serial ini diceritakan bahwa ada petinggi militer Inggris bernama George (James Chalmers) yang berambisi untuk menguasai Turki dan mengalahkan Mustafa Kemal Ataturk (Hakan Dinckol). Bersamanya adalah orang Turki yang berkhianat bernama Halit (Selahattin Pasali). Setiap mereka sedang terlibat percakapan, mereka menggunakan bahasa Inggris.

Berbeda dengan Halit, Esra yang beberapa kali melakukan konfrontasi dengan George, menggunakan bahasa Turki ketika berbicara. Meski mengerti, George lebih memilih untuk membalasnya dengan bahasa Inggris. 

© Netflix

Namun tiba-tiba, di sebuah percakapan antara Esra dan George, Esra menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi dengan musuhnya. Ini tentu menimbulkan kebingungan karena inkonsistensi yang ditunjukkan. Oke, mereka memang sama-sama memahami bahasa Turki dan Inggris, tetapi tentu lebih baik jika tidak ada perubahan penggunaan bahasa yang akan digunakan setelah beberapa percakapan berlalu.

Karakter George sudah benar menggunakan bahasa Inggris tiap berbicara karena dia adalah pembenci warga Turki. Jadi, menggunakan bahasa Inggris di tanah Turki tiap kali berada di sebuah percakapan, menjadi semacam cara George mencemooh orang-orang ini. Berbeda dengan Esra yang berubah-ubah.

Romansa di tengah kekacauan

Ketika Peride tewas, Halit menjadi tersangka utama karena memang dari awal dia diperintah oleh George untuk membunuhnya. Esra dan Ahmet yakin betul kalau Halit pelaku yang harus mereka incar. Kejar-kejaran pun dimulai. Esra harus mencari petunjuk dengan mengandalkan perannya sebagai Peride. Ia cukup diuntungkan dari hal itu karena Peride adalah keluarga pemilik dari Pera Palace. Akses yang ia miliki ke lingkungannya menjadi privilese tersendiri.

© Netflix

Kala bermain kucing-kucingan dengan Halit, tiba-tiba Esra mulai membangun perasaan kepadanya. Interaksi yang berulang tak mungkin tidak membuat Esra jatuh hati. Di sisi lain, Halit masih sulit untuk menebak-nebak perasaannya sendiri, dengan alasan utamanya adalah ia memiliki misi pribadi dengan George yang harus diselesaikan.

Cerita enemies-to-lovers seperti ini memang sudah umum. Di cerita Esra dan Halit, mereka kerap saling menggoda satu sama lain, yang malah membuat cerita menjadi dragging. Bosan dan berjalan lambat. Ketika Esra seharusnya bisa menuntaskan agenda investigasinya dengan cepat, ia masih perlu melakukan dialog untuk membangun percikan roman antara keduanya.

Karakterisasi lemah

Delapan episode ‘Midnight at the Pera Palace’ ditulis langsung oleh para kreator serialnya. Di semua episode itu, karakter di film ini menunjukkan grafik penurunan yang disebabkan oleh buruknya penulisan. Baik itu dari segi cerita maupun naskah.

Esra yang dari lahir sudah yatim piatu dan akrab dengan yang namanya kesepian, hampir saja mendapatkan sosok father figure dari seorang Ahmet. Namun, pria ini banyak diceritakan terpisah dari Esra, sibuk melakukan bagian investigasinya sendiri. Padahal, potensi yang ada untuk mereka jadi dynamic time traveler duo benar-benar terbuka lebar. 

© Netflix

George sebagai karakter antagonis juga sangat lemah dari sisi kalimat yang ia lontarkan. Kalimat-kalimat yang terucap tidak menggambarkan kebencian yang mendalam. Tidak hadir sebuah ancaman yang berarti ketika ditujukan kepada Esra dan komplotannya.

Kelemahan itu untungnya rada tertutupi dengan penampilan apik Hazal Kaya. Ia mampu dengan baik memperlihatkan berbagai sisi Esra. Ketika Esra dihadapi dengan situasi emosional, Kaya bisa membuat suasana episode tersebut jadi lebih sedu. Ketika Esra terlibat di situasi mencekam, Kaya pun dengan baik menunjukkan kalau Esra sedang berada di momen yang mempertemukan hidup dan mati.

Busana indah dari warga Turki di tahun 1919

‘Midnight at the Pera Palace’ banyak mengambil inspirasi mengenai Pera Palace dari buku Midnight at the Pera Palace: The Birth of Modern Istanbul karya Charles King. Di buku tersebut diceritakan bagaimana Turki pada era itu dilihat dari eksotismenya.

© Netflix

Salah satu unsur yang terlihat mencolok adalah bagaimana musik jazz menjadi semacam nyawa bagi penduduk Istanbul pada kala itu. ‘Midnight at the Pera Palace’ pada beberapa adegan mempertontonkan keindahan musik tersebut secara baik. Ada sebuah tempat bernama Garden Bar yang orang-orang datang menonton live music dengan khidmat.

Jempol juga harus diberikan kepada tim tata artistik ‘Midnight at the Pera Palace’ yang menggambarkan suasana Turki tahun 1919 dengan baik. Melalui busana yang dikenakan oleh para extras, set tempat yang disusun menyerupai kehidupan pada masa itu, serta mobil-mobil kuno lalu lalang, petualangan Esra mencari pembunuh Periode terasa lebih menyenangkan. 

Kesimpulan

© Netflix

Pada akhirnya, ‘Midnight at the Pera Palace’ memiliki keunggulan pada sisi tata artistik, namun terkekang oleh cerita dan dialog mereka sendiri. Tiap karakter sejatinya bisa menunjukkan performa terbaik yang mereka miliki, tetapi keputusan yang dipilih oleh para kreator serial gagal membawa mereka tampil secara maksimal.

 

Director: Emre Sahin & Nisan Dag

Cast: Hazal Kaya, Selahattin Pasali, James Chalmers, Yasemin Szawlowski, Okan Has, Yasemin Sannino, Tansu Biçer, Engin Hepileri, Ahmet Varli

Episode: 8

Score: 5.8/10

WHERE TO WATCH

The Review

Midnight at the Pera Palace

5.8 Score

Di sebuah hotel bersejarah Istanbul, seorang jurnalis terlempar ke masa lalu dan harus menghentikan kejadian yang dapat mengubah nasib Turki modern.

Review Breakdown

  • Acting 7
  • Cinematography 7
  • Entertain 5
  • Scoring 6
  • Story 4
Exit mobile version