Review Satria Dewa: Gatotkaca (2022)

Gebrakan Perdana Proyek Semesta Film Adiwira Satria Dewa

“Kalo emang bener ini warisan nenek moyang lo, artinya lo punya gen spesial,” – Dananjaya (Satria Dewa: Gatotkaca).

 

Satria Dewa adalah salah satu dari sejumlah proyek semesta film adiwira atau superhero berskala besar yang tengah dibangun di ranah film tanah air. Namun, berbeda dengan semesta film adiwira besar lainnya yang merupakan hasil adaptasi seri komiknya, Satria Dewa mengambil sumber mitologi pewayangan Mahabharata sebagai fondasi garis besar kisahnya.

Meski demikian, bagi Cilers yang tidak familiar sebelumnya dengan mitologi wayang tidak perlu khawatir. Karena, unsur mitologi yang dikedepankan dalam babak pembuka semesta film adiwira ini dikemas ringan dan masih diibaratkan baru menyentuh sebatas permukaan dari keseluruhan sumber mitologi tersebut.

© Satria Dewa Studio

Film ini merupakan arahan paling gres sutradara Hanung Bramantyo. Sedangkan, untuk jajaran pemainnya antara lain Rizky Nazar, Yasmin Napper, Daniel Adnan, hingga dua aktor laga yang sudah berhasil go international: Yayan Ruhiyan dan Cecep Abdul Rahman.

Sebelum pembahasan lebih lanjut, perlu diinformasikan sebelumnya, bahwa Satria Dewa merupakan awal dari rangkaian proyek ambisius yang eksistensinya pertama kali mengemuka di tahun 2018. Namun, butuh waktu tiga tahun, sebelum film babak pertamanya ini yang mengedepankan tokoh pewayangan Gatotkaca, ‘Satria Dewa: Gatotkaca‘ akhirnya bisa direalisasikan.

Sinopsis

Dalam jagat Satria Dewa, disebutkan bahwa umat manusia terbagi menjadi dua garis keturunan, yakni Pandawa dan Kurawa, yang sudah ratusan tahun lalu saling berperang. Berlanjut ke masa modern, di Astinapura, para keturunan Kurawa mulai bangkit menyusun kekuatan dan melakukan perburuan terhadap para garis keturunan Pandawa. Tujuannya, untuk membangkitkan kembali tokoh besar Kurawa, Aswatama.

© Satria Dewa Studio

Dalam situasi itulah seorang pemuda bernama Yudha (Rizky Nazar) terseret dalam konflik perang besar tersebut, yakni saat sahabatnya, Erlangga (Jerome Kurnia) menjadi salah satu korban pembunuhan berantai yang dilakukan sosok misterius bertopeng. Dengan bantuan Agni (Yasmin Napper), putri dosen di kampusnya dan kakak beradik Dananjaya (Omar Daniel) dan Gege (Ali Fikry), Yudha semakin jauh terlibat dalam konflik Kurawa vs Pandawa ini, dan mendapati takdir yang sudah lama digariskan padanya sejak ia masih kecil.

IP yang lebih beresiko tinggi dibanding IP adiwira lain

‘Satria Dewa: Gatotkaca’ adalah IP yang punya tingkat resiko paling tinggi dibanding dengan IP semesta film adiwira yang sudah lebih dulu memulai sepak terjang di kancah layar lebar, yakni BLCU (lewat Gundala) maupun Skylar (Valentine). Hal ini dikarenakan, walaupun landasan saganya legendaris, namun semua elemen yang ada di film ini sama sekali baru.

© Satria Dewa Studio

Tak pelak karakteristik ini punya poin plus dan minusnya tersendiri. Di antaranya: tidak perlu tahu banyak tentang mitologi pewayangan untuk dapat mengikuti kisah ini, tapi sekaligus materi filmnya sejatinya rentan andaikata dikuliti secara mendalam oleh kalangan yang paham mitologi wayang aliran garis keras.

Tata kamera yang tertata baik

Ditujukan sebagai tontonan bagi kalangan semua umur, ‘Satria Dewa: Gatotkaca’ dikemas dalam sajian storyline yang sejatinya simpel, dan mengusung formula lazimnya kisah origin di film-film adiwira. Sungguhpun demikian, meski dikarenakan konsep dan sumber kisah yang melatarinya tergolong kompleks, kentara bahwa tim perumus naskahnya sedikit kewalahan dalam pengaturan alur kisahnya.

© Satria Dewa Studio

Namun, rasanya, hal itu tidak terlalu menjadi masalah bagi kaum awam dalam menikmatinya. Sementara untuk tata kameranya, meski ada beberapa shot adegan aksi yang angle-nya agak kurang pas, secara keseluruhan lumayan tertata baik. Gatotkaca juga berhasil dalam menyajikan frame-frame yang menunjukkan kesan estetik, gritty, dan juga eksostisme keindahan ala tradisional lokal.

Performa Rizky Nazar yang prima

Dari segi akting, bisa dibilang Rizky Nazar adalah kunci dari Gatotkaca. Melalui gestur dan mimik air mukanya, bisa dibilang ia nyaris sempurna dalam menampilkan dualisme ironis kehidupan seorang Yuda yang menerima kehidupan pahit dan juga aura heroisme sebagai Gatotkaca.

© Satria Dewa Studio

Bahkan, bisa dibilang ia sukses memikul beban sangat kuat dalam membawa filmnya dari awal sampai akhir. Sebagai heroine di filmnya, Yasmin Nappier sebagai Agni juga meyakinkan baik dalam hal melakoni porsi aksinya maupun menjalin chemistry dengan Nazar.

Sementara, kuda hitam dalam lini ini, bisa dibilang sosok itu disematkan kepada Ali Fikry. Perannya sebagai Gege sangat mencuri perhatian lewat kejenakaannya dan bisa dibilang sebagai moodmaker yang prima di filmnya.

Kesimpulan

© Satria Dewa Studio

Secara keseluruhan, sebagai film babak pembuka, ‘Satria Dewa: Gatotkaca’ punya banyak kekurangan (terutama di bidang skripnya). Akan tetapi, Bramantyo bisa dikatakan mampu menambalnya dengan sajian berbagai aspek visual dan spesial efek bisa dibilang salah satu yang terbaik untuk ukuran film tanah air.

Sebagai penutup, terlepas dari segala kekurangan dan tekanan yang ada, ia masih layak dipuji dalam melakoni pekerjaan berat membuka gerbang pertama semesta adiwira baru tanah air, yang menjanjikan dan menarik untuk diikuti sepak terjang ke depannya.

 

Director: Hanung Bramantyo

Cast: Rizky Nazar, Yasmin Nappier, Daniel Adnan, Yayan Ruhiyan, Cecep Abdul Rahman

Duration: 129 minutes

Score: 6.4 / 10

WHERE TO WATCH

The Review

Satria Dewa: Gatotkaca

6.4 Score

Dalam jagat Satria Dewa, dua garis keturunan, yakni Pandawa dan Kurawa, di masa modern, melanjutkan peperangan mereka yang sudah dimulai ratusan tahun lalu. Dalam situasi itulah seorang pemuda terlibat dalam konflik itu, dan mendapati takdir yang sudah lama digariskan padanya sejak ia masih kecil.

Review Breakdown

  • Acting 7
  • Cinematography 7
  • Entertain 6
  • Scoring 6
  • Story 6
Exit mobile version