“Inilah keindahan, selalu dari luka berdarah” (Puisi Cinta yang Membunuh)
Sutradara hebat Indonesia, Garin Nugroho, kembali merilis film terbarunya yang berjudul Puisi Cinta yang Membunuh. Ini merupakan adaptasi dari kumpulan puisi cinta karyanya sendiri, Adam, Hawa dan Durian, yang diterbitkan pada tahun 1990-an.
Dalam detail deskripsi bukunya, Garin menawarkan cara lain untuk melacak jejak-jejak pengalaman juga kegelisahan melalui puisi-puisi bertema cinta. Melalui film ini, Garin akan menumpahkan seluruh perasaannya dalam bentuk visual. Apakah adaptasi puisi ini bisa berakhir dengan baik?
Selaku rumah produksi, Starvision bahkan menjelaskan bahwa Puisi Cinta yang Membunuh akan membawakan “Sebuah romansa yang harusnya berakhir indah menjadi sebuah teror yang mengerikan.” Jadi, sudah bisa diketahui bahwa akan ada unsur romantis, thriller, dan horor penuh teror yang membangun alur cerita film ini.
Bagaimanakah eksekusinya?
Sinopsis
Ranum (Mawar Eva de Jongh) merupakan perempuan yang selalu terperangkap kata-kata indah, baik dari laki-laki maupun perempuan yang berakhir menghianatinya. Anehnya, mereka justru ditemukan meninggal secara sadis oleh sosok misterius.
Drama keluarga Ranum terpilin dalam intrik, situasi puitik, romantis, yang seketika berubah jadi teror. Ketika Ranum ingin berkenalan lebih jauh dengan seorang pujangga bernama Hayat (Baskara Mahendra), kengerian tersebut datang lagi.
Ranum memutuskan tetap mencari cinta sejati yang indah dan hadirkan kebaikan untuk menepis tragedi yang dialaminya. Siapakah sosok penebar teror keji itu, dan berhasilkah Ranum meraih cintanya?
Thriller puitis yang gila
Sebagai adaptasi dari puisi, agaknya tidak mengherankan jika film yang satu ini menghadirkan narasi yang puitis, kaku, dan cukup menyentuh. Bagi penyuka sajak beribu makna, mungkin Puisi Cinta yang Membunuh akan cocok untuk mereka.
Uniknya, Garin mengemas puisi cinta tersebut menjadi sebuah film thriller horor romantis yang tidak malu-malu menampilkan darah dan kekerasan. Tipikal sang sutradara, ia juga menyelipkan beragam unsur seksualitas untuk menggambarkan ciri khasnya. Sejak awal, suasana langsung dibangun mencekam melalui skoring dan perpaduan akting yang gila. Mungkin itu menjadi alternatif untuk menghadirkan suasana horor, tanpa adanya visualisasi yang mendukung.
Sayangnya, babak awal terus menghadirkan percakapan secara puitis. Alhasil, penonton mungkin tidak bisa menangkap maksud atau jalan cerita yang ingin disampaikan oleh Garin. Barulah pada pertengahan, ketika Laksmi (Ayu Laksmi) dan Anna (Raihaanun) bercerita, film ini mulai terasa masuk akal.
Alur cerita yang melompat tak beraturan, membuat Puisi Cinta yang Membunuh penuh dengan teka-teki. Apakah yang sebenarnya terjadi? Untuk mengetahuinya, perlu keinginan kuat untuk bertahan hingga akhir film. Alih-alih horor penuh seni, jalan cerita justru tak jelas mau dibawa kemana.
Akting hebat para pemain
Di sisi lain, patut diakui bahwa Garin telah memilih ansambel cast Indonesia yang mampu melakukan perannya dengan baik. Sebagai Ranum, Mawar menampilkan karakter yang polos, penyendiri, namun bisa bersikap sadis dan gila. Salah satu bagian menarik dari karakternya, ketika Mawar membacakan bait-bait puisi saat menghabisi nyawa seseorang.
Tidak lupa akting dan chemistry dari Ayu Laksmi serta Raihaanun. Mereka merupakan kerabat terdekat Mawar, yang juga memiliki masa lalu kelam. Meski keduanya hidup dalam rasa trauma, namun Laksmi dan Anna berhasil tumbuh sebagai pribadi yang lebih kuat di masa sekarang.
Ada pula Baskara Mahendra, seorang pujangga yang berhasil memikat hati Ranum. Ia juga digambarkan memiliki ketakutan terhadap pensil sang ayah, di mana benda tersebut membangkitkan memori penyebab ayahnya meninggal dunia.
Kurang pedulian terhadap bentuk trauma
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, Garin melekatkan para karakternya dengan rasa trauma untuk membangun cerita horor ini. Masing-masing memiliki luka, yang bertahun-tahun mereka coba hadapi. Namun, sang sutradara justru tidak menguliknya dengan mendalam.
Agaknya perlu diperhatikan, bahwa masalah mental tidak bisa sembarang dibahas begitu saja. Ada yang perlu diteliti lebih mendalam, tidak hanya dengan contoh kasus namun juga pendekatan yang intens.
Contoh yang kurang nyaman ialah ketika Anna dibentak dengan keras oleh Laksmi saat menghadapi traumanya. Meski akhirnya berhasil, bukankah itu contoh yang buruk untuk menghilangkan rasa cemas dalam diri seseorang? Atau ketika Hayat mencoba untuk menyelesaikan masalah pelik Ranum dengan bait puisi tentang cinta. Hanya dengan itu, semua pertikaian selesai dan pelaku teror ikhlas menerima kehidupan pahitnya.
Tidak masuk akal ataupun relevan dengan kenyataan.
Kesimpulan
Puisi Cinta yang Membunuh bukanlah sebuah sajian yang cocok bagi penonton yang ingin terhibur. Ada teka-teki, kekerasan, darah, rasa trauma, yang membuat film ini cukup sulit untuk dinikmati. Bagi penyuka puisi, narasi puitis penuh makna bisa menjadi nilai lebih untuk film ini.
Selain visualisasi menarik dan deretan pemain hebat, Puisi Cinta yang Membunuh belum bisa memuaskan penonton dari segi cerita. Ada banyak hal yang terlalu cepat dan tidak disajikan secara mendalam. Agaknya, sang sutradara juga perlu lebih adaptif dengan bahasa dan keadaan zaman saat ini.
Director: Garin Nugroho
Cast: Mawar de Jongh, Baskara Mahendra, Morgan Oey, Raihaanun, Ayu Laksmi
Duration: 105 menit
Score: 5,2/10
WHERE TO WATCH
The Review
Puisi Cinta yang Membunuh
Ranum (Mawar Eva de Jongh) merupakan perempuan yang selalu terperangkap kata-kata indah, baik dari laki-laki maupun perempuan yang berakhir menghianatinya. Anehnya, mereka justru ditemukan meninggal secara sadis oleh sosok misterius.