“Next time is next time. Now is now,” – Hirayama (Perfect Days, 2023)
Setelah sebelumnya Cineverse mengulas The Iron Claw yang menjadi unggulan KlikFilm di bulan April, kini giliran Perfect Days akan menjadi ulasan berikutnya yang lebih menarik. Perfect Days sebetulnya sudah tayang terbatas saat JAFF 2023 (Jogja-Netpac Asian Film Festival) dan JWCW 2023 (Jakarta World Cinema Week) pada November silam.
Kini KlikFilm secara resmi merilis resmi Perfect Days lewat platformnya agar kita bisa melihat bagaimana kuatnya film ini menggambarkan karakter utamanya dengan dialog yang amat minim.
Perfect Days ditayangkan untuk pertama kalinya di Festival Film Cannes ke-76 pada tanggal 23 Mei 2023, di mana film tersebut berkompetisi untuk Palme d’Or dan memenangkan Hadiah Juri Ekumenis dan Penghargaan Aktor Terbaik untuk Kōji Yakusho.
Perfect Days yang disutradarai Wim Wenders, juga dinominasikan untuk Film Internasional Terbaik di Academy Awards ke-96, dan menjadikan film ini pertama kalinya mewakili Jepang dengan sutradara yang bukan orang Jepang.
Di situs agregator ulasan Rotten Tomatoes, Perfect Days mendapat rating sebesar 96% berdasarkan 167 ulasan, dengan rating rata-rata 8,3/10.
Sedangkan di Metacritic, yang menggunakan rata-rata tertimbang, memberikan film tersebut skor 80 dari 100, berdasarkan 37 kritikus, yang menunjukkan ulasan yang “umumnya disukai”. Seperti apakah filmnya? Cineverse akan mengulasnya di bawah ini.
Sinopsis
Hirayama (Kōji Yakusho) sehari-harinya bekerja sebagai pembersih toilet umum di Shibuya, Tokyo. Rutinitasnya dimulai dari subuh, di mana ia bersiap-siap mengendarai mobilnya sambil mendengarkan music dari koleksi kaset lawasnya.
Pagi itu ia mendengarkan The House of the Rising Sun dari grup band The Animals dan sesampainya di toilet umum tersebut, dengan teliti ia membersihkan dengan peralatan yang ia siapkan dari mobilnya. Hirayama membersihkan semua toilet yang ada di tempat umum yang menjadi area kerjanya.
Ia sesekali bertemu orang yang ingin memakai toilet dan membuatnya menyingkir sementara waktu sebelum melanjutkan tugasnya lagi.
Pekerjaan itu ia kerjakan setiap hari dan saat di rumahnya, Hirayama menjalani hidupnya dalam kesederhanaan, dengan membaca novel, menyetel kasetnya di radio, menyiram tanaman yang ia miliki dan terkadang menonton TV.
Sampai suatu saat ia menyadari sesuatu yang membuatnya tersadar akan hidupnya selama ini.
Minimalis dan beralur lambat
Perfect Days bukanlah film yang dipenuhi dialog dari karakter utamanya. Film ini sangat minimalis dalam menyampaikan narasinya yang cenderung lambat dan repetitif. Dari menit pertama berlangsung, kita diberikan gambaran bagaimana Hirayama menjalani hidupnya sehari-hari.
Namun, dialog yang pertama kali dia ucapkan baru muncul di menit ke-13, itu pun hanya sekenanya dan bukan dialog panjang. Dialog intens dua arah bahkan baru ia lakukan setelah paruh pertama film, ketika keponakannya datang dan ikut menemaninya bekerja.
Hirayama memang lebih banyak menggunakan bahasa tubuhnya untuk menyatakan sesuatu ketimbang menggunakan mulutnya sendiri. Perfect Days justru memperlihatkan kepada kita betapa sederhananya dia dalam menjalani hidupnya yang tenang dan introspektif sebagai pembersih toilet umum di kota Tokyo yang ramai.
Pekerjaannya bukan pekerjaan biasa dilakukan orang Jepang pada umumnya, namun dari situlah kita diajak memahami kemisteriusan Hirayama dan juga terhadap orang-orang yang ia ajak bicara.
Dengan tidak adanya eksposisi karakter yang ekstensif, kita akan diajak untuk menarik kesimpulan sendiri dan membenamkan diri dalam kesunyian yang dijalani Hirayama.
Pemilihan soundtrack merefleksikan hidup yang dijalaninya
Mendengar setiap lagu yang ia mainkan lewat kaset dalam perjalanannya ke tempat kerja memang merefleksikan hidupnya sehari-hari. Sejumlah lagu yang didominasi oleh band atau penyanyi di era 60-70an seperti The Animals, Patti Smith, The Velvet Underground, Otis Redding, diperdengarkan ke kita.
Dan paling menyentuh saat lagu Nina Simone yang berjudul Feeling Good diputar dan Perfect Day dari Lou Reed, menjadi epilog indah yang terlihat dari ekspresi wajah Hirayama yang di-shot secara close-up.
Kesimpulan
Perfect Days dengan indahnya mampu menggambarkan bahwa hidup sendiri dengan kesederhanaan pun kita bisa hidup bahagia. Hubungan Hirayama yang mendalam dengan alam sekitarnya, kecintaannya terhadap buku, dan apresiasinya terhadap musik yang dihadirkan lewat koleksi kasetnya, memberikan kepuasan hidup yang selama ini ia cari dan ia jalani tiap hari.
Penyampaian narasi secara minimalis mungkin akan membuat sebagian penonton merasa bosan dengan repetisi yang dilakukannya.
Namun, dengan cara itulah Wim Wenders mampu menghantarkan pengalaman menonton yang ekstensif, dengan sejumlah adegan yang mengundang kontemplasi dan refleksi.
Penggunaan soundtrack yang dihadirkan lewat kaset lawas, akan menimbulkan rasa nostalgia bagi banyak penonton yang mengalami masa tersebut. Sebuah kesederhanaan dalam musikalitas yang bahkan mampu mengalahkan kedigdayaan Spotify di era digital seperti sekarang ini.
Secara brilian, Perfect Days mengajak kita untuk menghargai hal-hal kecil dalam hidup yang dapat membantu mengalihkan perhatian kita dari banyak kecemasan yang kita alami sehari-hari. Hal itulah yang sekarang dijalani Hirayama agar ia bisa mencapai ketenangan batin yang absolut.
Perfect Days sudah bisa kamu tonton secara ekskusif di KlikFilm.
Director: Wim Wenders
Cast: Koji Yakusho, Tokio Emoto, Arisa Nakano, Aoi Yamada, Yumi Aso, Sayuri Ishikawa, Tomokazu Miura sebagai Tomoyama, Min Tanaka
Duration: 124 Minutes
Score: 8.0/10
WHERE TO WATCH
The Review
Perfect Days
Perfect Days mengisahkan kesederhanaan seorang pembersih toilet umum dalam menjalani hidupnya sehari-hari yang digambarkan secara minimalis