“Selama aku dan Brotoseno masih hidup, pengilon kembar ini tak akan pernah bersatu,” – Tjokro Kusumo (Mangkujiwo, 2020)
Menyambut hadirnya Mangkujiwo 2 pada 26 Januari nanti, kita akan sedikit flashback film pertamanya yang terbilang fenomenal dan diakui sebagai salah satu film horor terbaik saat itu.
Karakter kuntilanak memang tak asing bagi masyarakat Indonesia. Sosok makhluk halus berwujud perempuan dengan rambut panjang terurai dan bergaun putih panjang ini, bagi sebagian orang dipercaya berasal dari perempuan hamil yang meninggal saat melahirkan.
Film ini mengisahkan tentang kuntilanak ini ditampilkan melalui sudut pandang yang berbeda dari versi cerita yang beredar pada umumnya. Mengusung genre thriller-horor, Mangkujiwo pertama bercerita tentang asal muasal lahirnya kuntilanak.
Hadirnya sang kuntilanak merupakan akibat langsung dari sebuah perseturuan dua tokoh yang berpengaruh di sebuah keraton. Dikisahkan Brotoseno (Sujiwo Tejo) dan Tjokro Kusumo (Roy Marten) memperebutkan pengaruh kekuasaan atas Loji Pusaka.
Kalah dalam perebutan kekuasaan tersebut membuat Brotoseno menyimpan rasa dendam pada Tjokro Kusumo. Brotoseno lalu membalaskan dendamnya kepada musuhnya itu melalui perempuan bernama Kanti (Asmara Abigail).
Sinopsis Film
Cerita dimulai dari seorang perempuan yang dianggap gila dan yang juga sedang mengandung. Kanti namanya yang dipasung dalam sebuah kandang ternak oleh Ki Lurahnya di suatu desa. Kanti akhirnya diambil oleh Brotoseno, seseorang yang begitu dihormati di daerahnya.
Brotoseno tahu nahwa Kanti pun menyimpan dendamnya pada Tjokro Kusumo, laki-laki yang telah menghamilinya. Dan ia menjanjikan kepada Kanti bahwa ia akan membantunya membalaskan dendamnya pada Tjokro Kusumo.
Kanti kemudian dibawa ke sebuah rumah yang jauh dari keramaian. Dan pada akhirnya jua ia tetap dipasung. Selain itu Kanti harus menjalani berbagai ritual yang mengerikan dan makan makanan yang menjijikan. Brotoseno ingin Kanti melahirkan anak setan dan menggunakan anak tersebut nantinya menjadi senjata karena dipercaya bahwa Tjokro Kusumo akan dibunuh oleh darah dagingnya sendiri.
Termasuk Kuntilanak Universe
Film tentang kuntilanak itu sendiri diangkat ke layar lebar pada tahun 2006. Film yang berjudul Kuntilanak tersebut dibintangi oleh Julie Estelle dan berhasil meraih kesuksesan pada saat itu sehingga lewat setahun kemudian di tahun 2007 dibuatlah sekuelnya yang diberi judul Kuntilanak 2 hingga berlanjut tahun berikutnya, tahun 2008 dirilis Kuntilanak 3.
Berselang 10 tahun kemudian dibuatlah reboot dari seri film Kuntilanak sebanyak 2 seri pada tahun 2018 dan 2019. Walaupun masih disutradarai oleh sutradara yang sama seperti pada triloginya yaitu Rizal Mantovani dalam kisah dwiloginya ini peran utamanya berganti dari Julie Estelle kepada Sandrinna Michelle Skornicki sebagai aktris utamanya.
Dan akhirnya pada awal tahun 2020 ini dibuatlah spin off tentang asal usul kuntilanak. Kata Mangkujiwo sendiri sering disebutkan dalam setiap film Kuntilanak. Dalam trilogi Kuntilanak, Mangkujiwo adalah perkumpulan atau sekte sesat yang menggunakan kuntilanak untuk berbagai keperluan bisa untuk dipakai membalas dendam dan yang lainnya.
Asal muasal kuntilanak dimulai dari sini
Orang yang bisa memanggil kuntilanak itu sendiri hanyalah orang dari keturunan Mangkujiwo yang asli. Dan dalam film ini Karmila yang diperankan oleh Karina Suwandi dan ibu dari Dinda (pemeran dalam Kuntilanak 2018 dan 2019) kembali hadir dalam kisah ini.
Karmila sendiri adalah keturunan dari Mangkujiwo yang dipercaya bisa mengendalikan kuntilanak. Dan kali ini Karmila berperan sebagai perantara jual beli barang-barang antik dan merupakan rekan bisnis dari Tjokro Kusumo.
Jika Karmila adalah karakter yang menjadi penghubung antara film Kuntilanak dan Mangkujiwo, ada juga benda pusaka yang selalu ada dalam setiap cerita kuntilanak dan yang menjadi ‘benang merah’ yang memorable bagi para penggemar saga ini atau audiens yang pernah menontonnya.
Bahkan adalam film ini diceritakan bahwa ternyata cermin tersebut ada 2, satu cermin disimpan oleh Brotoseno dan yang lainnya disimpan oleh Tjokro Kusumo. Dan cermin ini mempunyai peranan cukup penting dalam kisah asal usul kuntilanak itu sendiri.
Film ini sendiri menampilkan dua timeline dari era yang berbeda walau pun tidak disebutkan secara spesifik dari berbagai setting dan properti yang dipakai menunjukkan tahun tersebut berkisar antara 1920-an atau 1930-an dan dalam hal ini terlihat jelas dari masih digunakannya delman atau kereta kuda sebagai alat transportasi.
Dan timeline berikutnya maju berselang 19 tahun kemudian seperti yang dikisahkan dalam film, di antara tahun 1940-an atau 1950-an seperti yang terlihat dari busana yang dipakai para karakternya atau pun dekorasi rumah yang ada serta mobil yang digunakan.
Lebih dekat ke thriller daripada horor
Sutradara Azhar Kinoi Lubis menyajikan cerita dengan alur cerita yang maju mundur secara bergantian. Hal inilah yang menjadikan film ini cukup unik karena jarang film yang bergenre sejenis ini memakai plot cerita seperti yang telah disebutkan di atas.
Selain itu lagi dalam film ini Kinoi tidak menampilkan banyak sosok makhluk mistis itu sendiri seperti pada umumnya film-film horor dan juga memakai teknik jumpscares untuk menakuti-nakuti audiensnya.
Tapi secara perlahan-lahan membangun kengerian, ketegangan yang intens dengan balutan aura mistis Jawa yang kental plus misteri-misteri yang dicoba untuk diungkapkan satu demi satu, meskipun pada awal film adegan-adegan yang tersaji terasa lambat dan membingungkan untuk para audiens.
Film ini lebih berfokus pada sisi cerita yang kelam tentang misteri Kuntilanak itu sendiri tapi sayangnya perpindahan periode ke periode lainnya kadang kurang jelas posisinya.
Film ini tentunya menyajikan latar belakang budaya Jawa yang kental, dimana sosok Brotoseno yang diperankan Sujiwo Tejo yang juga berlatar belakang budayawan Jawa menjadikan karakter ini begitu meyakinkan.
Tapi sayangnya peran Uma sebagai anak angkatnya yang diperankan aktris Yasamin Jasem masih kurang menampilkan karakter yang secara emosional ‘asing’ dengan sosok sang ayah.
Dan aktor senior Septian Dwi Cahyo di sini yang berperan sebagai Sadi si bungkuk dan bisu sebagai asisten Brotoseno tampil mencuri perhatian demikian juga penampilan dari Asmara Abigail yang tampil penuh keyakinan sebagai perempuan yang terpasung walaupun di beberapa adegan terasa repetitif tapi hal itu bisa dimaklumi karena ‘porsi’ perannya di sini.
Hal yang cukup menggangu lainnya adalah dari segi tata rias dimana perbedaan dalam tata rias wajah dan rambut pada karakter Brotoseno atau Tjokro Kusumo tidak terjadi banyak perubahan yang signifikan padahal dalam timeline-nya jelas-jelas ada perbedaan waktu selama 19 tahun. Begitu juga dalam kostum yang dipakai oleh Uma yang terlihat cukup modern dibandingkan periode waktu yang dipakai dalam filmnya.
Kesimpulan
Mangkujiwo adalah film yang mendekat ke genre thriller dibandingkan kata ‘horor’ itu sendiri, eksposisinya terbilang jelas dan bagus demikian pula alur cerita terbilang rapi. Menegangkan sekaligus melangutkan jiwa. Bagi yang belum pernah menonton, film ini masih ditayangkan secara streaming di WeTV.
Director: Azhar Kinoi Lubis
Cast: Sujiwo Tejo, Djenar Mahesa Ayu, Karina Suwandi, Asmara Abigail, Samuel Rizal, Septian Dwi Cahyo, Yasamin Jasem, Roy Marten
Duration: 106 minutes
Score: 7.0/10
WHERE TO WATCH
The Review
Mangkujiwo
Mangkujiwo mengisahkan asal muasal sosok kuntilanak yang ditampilkan melalui sudut pandang berbeda dari versi cerita yang beredar pada umumnya