“Bukankah film itu diputar untuk ditonton? Kalau tidak ada penontonnya, terus bagaimana?” – Pak Bimo (‘Layar’)
Alih-alih membawakan kisah-kisah romantis, misteri, atau horor, Ifa Isfansyah akan kembali mengarahkan sebuah film drama baru yang berjudul ‘Layar’.
Berkisah tentang kondisi bioskop dan para pekerjanya, ‘Layar’ adalah sebuah karya menarik yang patut dinantikan oleh masyarakat. Pasalnya, cukup jarang film yang membahas bioskop terlebih di masa pandemi kemarin.
Seperti yang kita ketahui, pandemi mengubah beragam lini kehidupan. Mulai dari ekonomi, pendidikan, sosial, bahkan hingga budaya atau seni. Oleh karena itu, film ‘Layar’ dapat memberikan perspektif baru tentang kondisi bioskop yang berada di ambang kehancuran.
Sinopsis
‘Layar’ akan berkisah tentang sosok Ani, seorang perempuan desa berumur 35 tahun yang bahagia sekali karena bekerja di bioskop Merapi. Sayangnya, bioskop tutup karena pandemi. Karyawan dipangkas, layar harus harus diturunkan. Bioskop dijual.
Ini adalah sebuah cerita bagaimana usaha Ani untuk mempertahankan satu-satunya layar di bioskop tersebut dengan segala upayanya. Meski mengalami tekanan dan telah merugi sejak 10 tahun yang lalu, masih ada harapan besar bagi Ani untuk terus melestarikan bangunan tua tersebut.
Cerita menarik dan inspiratif
Sebagai pecinta film, tentu saja ‘Layar’ adalah judul yang tidak boleh dilewatkan. Sebuah karya tentang film itu sendiri memang tak akan lekang oleh waktu. Ada kesan nostalgia yang selalu ditampilkan oleh judul-judul tersebut, begitupun di film ‘Layar’.
Sang romantis Ani hanya ingin bioskop rakyat tersebut berdiri meski di tengah pandemi. Telah merugi bertahun-tahun tidak membuatnya patah semangat dan kehilangan harapan. Bioskop sudah menjadi bagian dari hidupnya, maupun orang-orang di sekitar tempat tersebut.
Seperti yang kita ketahui, pandemi telah membuat lumpuhnya dunia perfilman. Baik para pemain di depan layar atau di belakang layar. Semua merasa rugi, tak terkecuali industri bioskop.
‘Layar’ menjadi satu-satunya judul yang menyorot keresahan tersebut. Ani adalah salah satu dari pecinta film yang merasa kehilangan akibat pandemi. Bioskop yang terancam keberadaannya kini harus mereka perjuangkan. Ada kenangan dan impian yang menyelimuti bioskop Merapi. Oleh karena itu, Ani dan kawan-kawan tidak boleh menyerah begitu saja.
Chemistry yang cukup baik terjalin antar semua karakternya. Mulai dari warga sekitar, Ani dan teman-teman, bahkan para penonton yang sudah menjadi langganan Bioskop Merapi. Cerita yang sederhana, menarik, dan inspiratif ini juga membuat ‘Layar’ cukup menyenangkan untuk dilihat.
Para penonton diberi gambaran, bagaimana para pekerja bioskop harus bertahan di tengah kesulitan. Proyektor jadul, gedung berdebu, tiket dan poster yang masih sederhana menjadi visual yang membawa kenangan. Seperti kembali ke masa lalu, pekerja bioskop masih memasarkan film lawas mereka menggunakan cara tradisional, yaitu dengan mengelilingi desa sambil membawa poster.
Sementara itu, kita juga diajak untuk mengenang bagaimana kondisi bioskop rakyat di sudut-sudut kota. Bagaimana bioskop kecil yang jarang terdengar begitu berarti bagi masyarakat, khususnya filmmaker lokal.
Kisah inspiratif ini seolah ingin memberitahu bahwa tidak selamanya semua bergantung pada uang. Nilai dan harga tentu memiliki perbedaan, begitupun Bioskop Merapi yang menyimpan sejuta kenangan.
Latar modern dengan sentuhan jadul
Bioskop Merapi diceritakan berada di sebuah daerah kecil yang jauh dari kota. Layaknya bioskop Senen di Jakarta, Merapi juga masih bertahan dengan alat-alat sederhana. Jauh dari kata layak pakai namun masih bisa berfungsi dengan baik.
Uniknya, meski berlatar modern, namun sang sutradara memberikan sentuhan lawas pada filmnya. Tone remang seakan menyiratkan bahwa film ‘Layar’ berlokasi di tempat yang tak terjamah di masa lampau. Padahal, keadaannya terjadi belum lama ini di masa pandemi.
Film-film yang mereka suguhkan juga hanya terlihat film lawas saja. Tidak ada poster/gambar film modern, walaupun latar waktu terjadi di masa kini. Agaknya, ‘Layar’ lebih cocok dibuat untuk mengenang para pecinta film yang harus kehilangan bioskop konvensional di paruh waktu 90an.
Dialog yang kaku
Meski mereka mampu menjalin interaksi dengan baik, namun masih terasa kaku di beberapa titik. Dibintangi bintang lokal yang mungkin jarang terdengar namanya, para pemain ini bisa dibilang sudah memberikan yang terbaik. Meski begitu, terkadang mereka hanya berbicara sesuai dengan dialog dan tidak terlalu lugas.
Hal ini cukup terlihat jelas ketika adanya perdebatan antara produser film dengan asistennya. Kata-kata yang ingin disampaikan oleh produser tersebut cukup baik, begitupun dengan akting sang asisten. Namun alangkah lebih menarik lagi apabila mereka bisa mengatakan hal tersebut dengan lebih santai, tidak terlalu terpaku pada naskah.
Adapun akting Siti Fauziah dan Pritt TImothy tentunya tidak perlu diragukan lagi. Keberadaan mereka sangat membantu dan lebih menghidupkan film tersebut. Terlebih ketika mereka saling bersitegang tentang kelanjutan bioskop Merapi. Ada emosi dan ketegangan yang terpancar di antara keduanya.
Kesimpulan
‘Layar’ adalah salah satu karya menarik dari Ifa Isfansyah, yang menyorot perjuangan bioskop rakyat di tengah pandemi. Cerita sederhana, menarik, dan inspiratif ini cukup menghibur dan memberikan pengalaman baru bagi para penonton.
Kita seperti diajak ke masa lalu, ketika tiket film masih murah dan menonton hanya sekedar duduk menyaksikan film – tidak terikat dengan pusat perbelanjaan apapun. Masih ada beberapa kekurangan di film ini, namun tidak menutupi rasa nostalgia dan kepentingan bioskop terhadap hidup kita.
Director: Ifa Isfansyah
Cast: Siti Fauziah, Brilliana Arfira, Resti Praditaningtyas, Aryudha Fasha, Freddy Rotterdam, Adi Marsono, Kurniawan Hasnajaya, Tuminten, Pritt Timothy, Tri Sudarsono
Durasi: 70 menit
Score: 7.6/10
WHERE TO WATCH
The Review
Layar
Ani bahagia sekali karena bekerja di bioskop Merapi. Sayangnya, bioskop tutup karena pandemi. Karyawan dipangkas, layar harus harus diturunkan. Bioskop dijual.