“Tahukah kau apa yang diinginkan orang tua tapi tak bisa dipenuhi keturunan mereka? Waktu,” – Mui (How to Make Millions Before Grandma Dies, 2024)
Akhirnya film Thailand hadir lagi di Indonesia. Setelah sebelumnya kita dihadirkan Not Friends pada Januari lalu, kini giliran How to Make Millions Before Grandma Dies akan menghibur kita dengan kisahnya yang mengharukan dan tema seperti ini amat jarang diangkat ke layar lebar.
Film yang dihadirkan KlikFilm dan melakukan screening perdananya di Jakarta (8/5), berbeda dari kebanyakan film Thailand yang didominasi drama komedi remaja, kini film ini menghadirkan lewat drama keluarga yang menyentuh tiap orang yang menontonnya.
Bagaimana filmnya? Cineverse akan mengulasnya di bawah ini.
Sinopsis

M (Putthipong Assaratanakul), seorang pemuda putus sekolah yang memutuskan menjadi seorang gamer, dihadapkan pada persoalan keuangan yang pelik. Namun, saat M meminta uang kepada ibunya (Sarinrat Thomas), sang ibu malah memikirkan ibunya yang baru-baru ini terjatuh dan setelah diperiksa dokter, ibunya menderita kanker yang sudah memasuki stadium 4.
Sebelumnya, M melihat sepupunya, Mui (Tontawan Tantivejakul) merawat kakeknya dengan sepenuh hati dan dari situ Mui mendapatkan warisan yang cukup banyak dari almarhum kakeknya. Terinspirasi dari hal itu, M lantas mencoba mendekati neneknya, Amah (Usha Seamkhum) agar ia mendapatkan hal yang sama kalau neneknya meninggal.
Amah sempat curiga dengan kedatangan M yang tidak sewajarnya, bahkan ingin tinggal dan merawatnya tiap hari. Lama kelamaan setelah beradaptasi dengan Amah-nya yang rewel dan banyak maunya, mulai terlihat kalau sang nenek memang membutuhkan pertolongannya.
Terlebih kondisi Amah kian memburuk seiring berjalannya waktu dan divonis dokter hidupnya paling lama hanya setahun lagi. Tapi Amah masih saja menjalankan kesehariannya berjualan bubur di pinggir rel kereta sejak pagi.
Anak laki-laki Amah, Kiang (Sanya Kunakorn) dan Soi (Pongsatorn Jongwilas) terlihat memiliki motif yang sama dengan M. Paman M, Soi seringkali meminta uang kepada ibunya karena ia terlilit utang, sedangkan Kiang yang lebih mapan malah ingin ibunya tinggal dengan keluarganya.
Untungnya M tidak bergeming dengan bujukan kedua pamannya itu untuk tidak merawat neneknya, dan malah menjalankan apa yang ia lakukan tiap hari.
Tiap hari dengan tekun, M mengantar Amah untuk kemoterapi, berjualan bubur, bahkan memandikannya di rumah. Sampai ia sadar kalau ia menyayangi Amahnya lebih dari segalanya, dan bahkan tidak memikirkan uang sama sekali.
Narasinya lekat dengan keseharian kita

Dengan latar keluarga keturunan Cina-Thailand yang merupakan mayoritas di negeri Gajah Putih tersebut, tentu saja sejumlah tradisi Cina digambarkan dalam film ini.
Yang menjadi perhatian Cineverse adalah film ini secara tidak langsung menyelipkan narasi bagaimana mencari perhatian orang tua atau nenek/kakek sebelum mereka meninggal dunia. Sebuah stigma yang sebenarnya banyak dilakukan banyak orang lain di seluruh dunia.
Di mana orang yang paling dekat mengurus orang tua di saat terakhirnya akan mendapatkan warisan terbesar. Tidak melulu saudara, tapi bisa saja pengurus atau orang yang ditugaskan merawat mereka.
Namun dalam How to Make Millions Before Grandma Dies, kita akan melihat korelasi antara nenek dan cucunya yang terlihat intim. Tentu saja kedekatan ini dekat begitu cepatnya. Hal ini diawali dengan betapa canggungnya M saat berusaha masuk untuk mengenal neneknya yang ternyata rewel dan banyak maunya.
Sebuah cara yang brilian dari Pat untuk membuat film ini mempunyai nuansa komedi yang terlihat alami dan spontan membuat penonton akan tertawa di beberapa adegannya. M pun secara cerdas bisa menempatkan dirinya di antara neneknya dan kedua pamannya yang mempunyai intrik tersembunyi yang baru terlihat belakangan.
Benturan dua tradisi yang digambarkan sangat unik
Sangat jarang kita melihat film Thailand yang karakternya digambarkan mempunyai keturunan Tionghoa. Kalaupun ada, hal itu tak digambarkan secara eksplisit seperti di film ini. Kita bisa melihat bagaimana kebiasaan Amah sehari-hari lewat sederhananya hidup yang mereka jalani.
Tapi di satu sisi kita melihat anak-anak Amah, kecuali ibu M dan M, memiliki gaya hidup modern yang sudah tidak mencerminkan asal usul mereka dan cenderung menggampangkan sesuatu dengan uang.
Sedangkan Amah masih saja berdoa kepada Dewi Guan Yin yang merupakan sosok dewi belas kasih yang masih banyak dipuja oleh banyak orang tua keturunan Tionghoa sampai saat ini. Secara rutin, Amah memberi persembahan di depan patung yang ia letakkan di rumahnya.
M yang melihat hal itu merasa aneh melihat Amah masih melakukan hal tersebut, dan terkadang sampai dimarahi Amah karena tidak memberi persembahan yang benar kepada Dewi tersebut di meja persembahan. Sebuah kontradiksi menarik antara dua budaya yang dipisahkan waktu.
Belum lagi masalah kebiasaan orang tua yang disiplin soal waktu dan anak muda yang seringkali bangun siang. Hal ini saja sudah bisa membuat kita tertawa melihatnya.
Di saat Amah sudah menjual bubur dari jam 5 pagi, namun M baru bisa bangun beberapa jam kemudian dan berlari menyusul Amah yang sudah sibuk melayani pembelinya. Kebiasaan bangun pagi ini akhirnya bisa diikuti M dan ia tiap hari membantu Amah berjualan bubur.
Visualisasinya dan tata artistiknya dikemas indah
Rumah Amah memang luar biasa digambarkan secara visual. Tipikal rumah orang Tionghoa zaman dahulu di dalam gang perkotaan dengan koridor besi dan cenderung pengap dan panas di dalam karena minim ventilasi.
Nuansa hijau juga terlihat kental terlihat di tembok rumah yang dihiasi ornamen khas Tionghoa seperti lukisan, kalender, gantungan, juga lemari dengan banyak kaleng untuk menyimpan uang dan meja persembahan dengan kaki tinggi untuk Dewi Guan Yin.
Sejumlah shot menarik terkonsentrasi pada Amah dan M di sekitar rumah yang mereka tempati, juga di jalan pinggir rel kereta yang memang indah dengan tanaman lebat di salah satu sisinya. Blocking pemain juga terlihat bagus, membuat pergerakan pemain bisa terlihat baik dan tidak menutupi satu sama lain, terlebih saat satu keluarga ini berkumpul di ruang makan yang relatif sempit.
Kesimpulan

How to Make Millions Before Grandma Dies akan membuat kita tersadar betapa berharganya orang tua, terlebih bisa menemani mereka di saat mereka sakit dan menjelang ajal. Film ini memberi pelajaran penting kalau uang bukanlah segalanya.
Di akhir konklusi film, terlihat kalau keinginan M bahkan telah tercapai jauh-jauh hari, bahkan sebelum neneknya telah tiada. Jujur saja film ini akan membuat kita menangis sekaligus menyadari kalau orang terpenting di hidup kita adalah orang tua atau nenek kita sendiri.
Uang bukanlah segalanya, dan M akhirnya menyadari hal itu setelah kereta api melintas di hadapannya. Sebuah transisi cantik ke masa lalu dan lantas menyadarkan M akan pentingnya nenek yang ia sayangi itu.
Akting yang brilian dari Putthipong Assaratanakul dan Usha Seamkhum, didukung juga oleh visualisasinya yang indah dengan desain produksi yang digarap serius.
Film ini akan membuat kita jatuh hati pada narasinya yang dekat dengan keseharian kita, terhadap keluarga kita sendiri, bahkan tanpa kita sadari, air mata akan jatuh menetes saat melihat film yang mengharukan ini.
Nantikan How to Make Millions Before Grandma Dies pada 15 Mei 2024 di jaringan bioskop XXI, CGV dan Cinepolis di seluruh Indonesia.
Director: Pat Boonnitipat
Cast: Putthipong Assaratanakul, Usha Seamkhum, Tontawan Tantivejakul, Sarinrat Thomas, Sanya Kunakorn, Pongsatorn Jongwilas
Duration: 125 Minutes
Score: 9.0/10
WHERE TO WATCH
The Review
How to Make Millions Before Grandma Dies
How to Make Millions Before Grandma Dies mengisahkan betapa pentingnya seorang nenek ketimbang warisan yang selama ini ia incar