“You don’t think it’s paranoid if I wanna change the locks. Do you?” – Anna Fox (The Woman in the Window).
Joe Wright selaku sutradara film ini bilang kepada Total Film edisi April 2021 bahwa ia enggan, bahkan menolak untuk membandingkan film terbarunya, ‘The Woman in the Window’, dengan karya Alfred Hitchcock tahun 1954 berjudul ‘Rear Window’.
Cuman memang, ia mengakui kalau dirinya kerap kembali pada film-film Hitchcock ketika membuat sebuh karya. Kelihatan banget sih, memang. ‘The Woman in the Window’ sebuah drama-thriller dengan unsur kriminal bercerita tentang seorang wanita bernama Anna (Amy Adams).
Ia adalah seorang psikolog anak yang juga penyintas agrofobia. Agrofobia sendiri adalah keadaan di mana seseorang merasa cemas, panik, dan tidak berdaya akan sesuatu kondisi atau keadaan. Suatu hari, ia menyaksikan sebuah tindakan keji dilakukan oleh salah seorang tetangganya yang tinggal di rumah seberang.
Penerapan Visual Ala Hitchcock
Materi begini dibawakan dengan gaya visual ala Hitchcock. Penuansaan yang muram, kemudian film juga bermain-main dengan suara, hal-hal seperti ini diterapkan oleh Joe di dalam film agar penonton bisa merasakan ketegangan secara perlahan, alias creeping.
Sayang saja, filmnya hanya bisa ditonton via streaming Netflix setelah sebelumnya membatalkan rencana theatrical release tahun lalu akibat pandemi. Palet warna yang soft coba digabungkan dari ornamen-ornamen yang ada di dalam rumah Anna. Ini menambah kecantikan dari shot yang terlihat lush. Camerawork-nya juga oke dari sinematografer Bruno del Binel.
Ia tahu kapan filmnya butuh kedalaman, kapan filmnya butuh sesuatu yang mendobrak. Soalnya meski Anna itu mengalami agoraphobia, namun ia hidup di rumah yang cukup luas. Maka dari itu ada beberapa cavernous shot yang bisa kita temukan di dalam film.
Kemudian ada juga shot transisi yang kurang lebih memberikan rasa identik. Tidak ketinggalan, terdapat beberapa shot yang gambarnya ditampilkan miring. Secara eksplisit sinematografi macam ini menunjukkan sesuatu yang tidak beres.
Ada yang miring, alias tidak seimbang dalam hidup karakter utama. Ini pun benar adanya, dan Cilers sudah dikasih petunjuk mengenai hal tersebut dari awal filmnya dimulai hingga nanti sambil ceritanya berjalan.
Ngomongin soal awal, homage dari ‘Rear Window’ nya Alfred Hitcock juga bisa terlihat dengan jelas dari awal. Ini pun menjadi salah satu perhatian ketika novelnya yang ditulis oleh A.J. Finn dirilis pada tahun 2018 lalu. Set-up nya mengingatkan banget sama ‘Rear Window’, di mana karakter utama melihat ke tetangga-tetangga yang ada di rumah seberang.
Kemudian ada kalanya Anna coba menangkap situasi dengan kamera, yang mana bisa jadi sesuatu yang baru. Dalam artian, baru kali ini melihat seorang psikolog anak memiliki kamera SLR lengkap dengan tripod layaknya seorang fotografer professional.
Kalau di ‘Rear Window’ kan memang James Stewart berperan sebagai karakter fotografer berita jadi paasti punya tools semacam itu. Terakhir ada juga cuplikan dari ‘Rear Window’ di dalam scene. Oke, apakah ini baik untuk filmnya? Secara tampilan, iya. ‘The Woman in the Window’ memiliki crafting yang misterius sekaligus cantik.
Tapi jika lebih dari itu, ini kayak film Hitchcock yang disutradarai oleh orang lain dan tentu hal ini merupakan sesuatu yang sebaiknya dihindari. Apalagi Joe sendiri bilang enggan dan lebih terpikir dengan karya sutradara lainnya, Robert Bresson, di film ‘A Man Escaped’ (1956) untuk film ini.
Harapan yang Lebih Tinggi untuk Amy
Amy Adams tampil bagus, namun di sisi lain karakternya di sini juga bisa menjadi batu sandungan untuk tidak mendapatkan nominasi apapun di award season, terutama Oscar, nanti.
Secara akting, ia mampu menampilkan betapa struggling-nya karakter Anna. Kita bisa dibuat excited untuk menelusuri apa yang dialami oleh karakter ini, baik di masa lalu maupun masa sekarang hingga ke depan sampai film berakhir.
Meski begitu, memerankan karakter Anna memang sesuatu yang, istilah kata, memang harus begitu. Jadi ini adalah sesuatu yang memang diharapkan dan tentunya tidak mengejutkan ketika Amy Adams bisa membawakannya dengan baik.
Apakah penampilan baik tersebut akan meninggalkan kesan? Belum tentu. Karena dari awal Anna sudah begitu dan hampir di sepanjang film kita akan disuguhkan hal itu saja. Perjalanan yang mampu memberikan perkembangan terhadap arc-nya tidak nampak dan tentunya ini yang kita harapkan dari karakter yang dimainkan oleh seorang aktris sekaliber Amy Adams.
By the way, aktor pemenang penghargaan lainnya, Gary Oldman, juga tampil di sini memerankan karakter pendukung bernaama Alistair Russell. Lalu Julianne Moore menjadi istrinya. Jennifer Jason Leigh akan memberi kita sebuah kejutan di tahap konfrontasi film.
Lalu influence Marvel juga hadir lewat dua aktornya, yang sebelumnya sama-sama bermain di serial ‘The Falcon and the Winter Soldier’, Wyatt Russell dan Anthony Mackie. Tidak lupa, ada Brian Tyree Henry yang berperan sebagai detektif.
Dari seluruh karakter ini Wyatt Russell bisa dibilang paling teringat perannya. Ia tidak sekedar menjadi penghuni rubanah dari apartemennya Anna. Gary dan Julianne tampil secukupnya namun efektif.
Nah yang menarik justru adalah Fred Hechinger yang berperan sebagai Ethan Russell. Dia sudah diperkenalkan di tahap persiapan, lalu menjadi salah satu tools yang digunakan untuk semakin memercikkan masalah di tahap konfrontasi. Tapi yang paling menjadi perhatian adalah Ethan akan memegang role yang sangat penting di tahap resolusi.
Akhir yang Aneh dari Kasus yang Kompleks
Sepanjang film kita akan bermain dengan karakter Anna dan persepsinya. Apa yang Ia lihat itu kadang dipertentangkan dengan asumsi-asumsi orang lain yang menganggap bahwa Anna sedang tidak dalam kondisi yang baik-baik saja.
Kemudian di awal film juga sudah diberikan eksposisi mengenai dirinya, obat yang mesti diminum, dan dampak alkohol. Belum lagi kita juga akan disuguhkan adegan flashback yang penting dari backstory Anna. Jadi semua itu ada di perspektifnya Anna. Bagaimana ia menyikapi konflik yang Ia hadapi saat ini dengan kondisinya sekarang. Ini sudah cukup mencengkram hingga tiba saatnya di tahap resolusi. Nah di sini kita akan melihat sesuatu yang kompleks sekali dari apa yang kita lihat sejauh ini dari cerita filmnya.
Terkait dengan karakter Ethan, apa yang disuguhkan oleh film kurang bisa bekerja sama sekali. Ketika film coba memperluas jangkauan dengan petunjuk-petunjuk yang ada di tahap konfrontasi, tidak ada sama sekali hal yang merujuk ke karakter tersebut.
Jadi ketika saatnya telah tiba bisa jadi kita betul-betul akan mengernyitkan dahi. Kok gini ya jadinya? Sama sekali bingung karena planting-nya belum nancep benar. Ditambah lagi, di sepanjang film ditunjukkan ada good will yang disampaikan dari Anna dan good will ini menjadi penghubung motivasi karakter utama dengan kasusnya. Apa yang ia alami dulu beresonansi dengan apa yang Ia alami sekarang.
Sekali lagi kita ditunjukkan bahwa film dengan visual menawan saja tidak cukup. Mau itu visual dari penuansaan, sinematografi, hingga akting. ‘The Woman in the Window’ menarik hingga akhir yang aneh tapi nyata. Apa yang menjadi harapan justru berbalik menyerang tanpa belas kasihan dan tentu saja ini adalah sesuatu yang tidak diharapkan.
Bagaimana film menuturkan bagian ini pun tidak kelihatan. Yang lebih terlihat adalah bagaimana film bermain-main dengan perjuangan dari karakter utama, lalu bermain-main dengan visual ala Hitchcock. It’s clearly a dark turn, and no wonder Joe want to make a movie that are kind and gentle, full of live and light that can give him hope after this.
Director: Joe Wright
Cast: Amy Adams, Gary Oldman, Jennifer Jason Leigh, Julianne Moore, Fred Hechinger, Brian Tyree Henry, Wyatt Russell, Anthony Mackie, Jeanine Seralles
Duration: 100 Minutes
Score: 6.6/10
WHERE TO WATCH
The Review
The Woman in the Window
The Woman in the Window mengisahkan seorang wanita agorafobia yang tinggal sendirian di New York. Ia pun mulai memata-matai tetangga barunya, dan menyaksikan sebuah tindakan kekerasan yang mengganggu dirinya