“We made something that’s a distraction in these difficult times,” – Darren Eigan (The Bubble).
Akan ada banyak film yang terinspirasi dari peristiwa COVID-19 yang sempat menghentikan semua aktivitas manusia dua tahun lalu – bahkan hingga saat ini, salah satunya ialah ‘The Bubble’.
‘The Bubble,’ yang sekarang telah tayang di Netflix, mungkin merupakan proyek pandemi paling bertabur bintang yang pernah kami dilihat. Film komedi yang diarahkan oleh sutradara Judd Apatow, menyatukan para aktor dan aktris terpilih yang berkumpul untuk membuat film aksi saat pandemi berkecamuk.
Meski bukan film terbaik yang mampu Netflix produksi, namun ada banyak sentuhan komedi yang disinggung dari beberapa waralaba film-film terkenal, seperti ‘The Batman’, ‘Dr. Strange’, hingga mungkin yang paling samar, ‘Jurassic World’.
Sinopsis
Film ini bermula ketika produser Gavin (Peter Serafinowicz) ingin membuat sebuah film lanjutan dari waralaba ‘Cillf Beasts’ dan segera mempersiapkan kebutuhan para pemain, termasuk hotel serta layanan kesehatan di tengah pandemi.
Sang produser berdedikasi untuk menjaga gelembung mereka tetap aman dan melindungi set dari virus COVID-19.
Gavin kemudian bertemu dengan aktris Carol Cobb (Karen Gillan) dan meyakinkannya agar kembali ikut ke dalam film tersebut.
Carol pun menyetujuinya dan ia bergabung lagi dengan rekan-rekan yang lain, Lauren Van Chance (Leslie Mann), Dieter Bravo (Pedro Pascal), Dustin Mulray (David Duchovny), Sean Knox (Keegan-Michael Key), Howie Frangopolous (Guz Khan), serta Krystal Kris (Iris Apatow). Mereka terbang ke Inggris dan memulai proses produksi.
Namun setibanya di lokasi, mereka semua diminta untuk melakukan karantina selama dua minggu setelah kedatangan. Berjuang agar tetap waras, tak lama kemudian, produksi dimulai.
Sementara para pemain dan kru melakukan yang terbaik untuk menjaga keamanan, kekacauan mulai terjadi. Saat pembuatan film berlanjut, kesehatan mental dan emosional para bintang mulai menurun. Mereka mulai frustasi dengan kondisi syuting yang berantakan dan kerap tertunda.
Sayangnya, studio harus terus melanjutkan proses syuting. Mereka melakukan berbagai cara untuk mengekang para pemain yang tidak bisa dikendalikan. Suasana syuting mulai terasa bak di penjara.
Karen Gillan dan premis menarik
Dua hal yang membuat film ini betah dilanjutkan mungkin hanya Karen Gillan dan alur cerita yang menarik. Menyuguhkan kisah tentang perjuangan para aktor dan kreator hiburan untuk menyajikan tontonan blockbuster di tengah pandemi, tentu ‘The Bubble’ seharusnya bisa jadi film yang menarik.
Para bintang yang sudah melalui proses karantina selama 2 minggu, nyatanya harus kembali masuk ke gelembung mereka ketika salah satu kru dinyatakan positif selama proses produksi. Hal ini tentu membuat para pemain frustasi.
Mereka tak bisa pulang, tak bisa menikmati proses syuting dengan tenang, tekanan yang datang dari pemain lain, hingga aturan-aturan yang tak masuk akal menghiasi jalan cerita ‘The Bubble’.
Dari sisi tersebut, penonton dapat melihat perjuangan para bintang untuk menghibur masyarakat – dan mendapatkan uang, dengan beragam pengorbanan. Ada yang tak bisa pulang, harus berpisah dengan pasangan karena dianggap terlalu egois, atau bahkan tidak bisa melakukan seks karena tidak ada yang menginginkannya.
Adapun karakter Karen Gillan tampil memukau seperti aktris melempem yang kebingungan dengan tidak jelasnya proses syuting.
Berniat untuk menjadi pelopor kebebasan, ia malah mendapat hujatan dari teman-teman hingga dikurangi dialog dalam naskahnya.
Gillan digambarkan seperti perempuan gila, frustasi, dan manja, hanya untuk mendapatkan kebebasannya. Alur cerita mulai membawa penonton agar mempertanyakan apakah dunia akan berakhir jika sebuah film berhenti diproduksi atau apakah para pemain harus melewati masa-masa yang begitu sulit demi syuting yang tak berakhir?
Skenario buruk, cerita gagal
Sayangnya, Judd Apatow tidak meninggalkan kesan yang baik untuk film berdurasi cukup panjang. Komedi yang disuguhkan terasa hambar. Malah film ‘The Bubble’ jadi terlihat konyol dan menyedihkan dengan lelucon yang terkesan dipaksakan.
Para bintang diberi cerita yang asal-asalan. Bintang ternama tiba-tiba muncul dari sudut tak terduga, membuat keberadaan mereka dianggap membantu, nyatanya tetap tak penting.
Mungkin di beberapa bagian, masih terdapat adegan yang membuat penonton tersenyum. Namun, hanya itu saja. Tidak ada adegan yang perlu dikenang atau “bisa dikenang” di film tersebut.
Judd Apatow seharusnya bisa mengubah jalan cerita menjadi sebuah film horor, alih-alih film komedi dengan sedikit aksi. Ia tidak perlu menyuguhkan komedi lagi, film ‘The Bubble’ sudah mati tak berjiwa. Para pemain yang hambar, tak ada emosi tersuguhkan melalui jalan cerita konyol tersebut.
Sang sutradara mungkin sadar film ini akan menjadi sebuah tontonan tidak berguna. Berulang kali secara tersirat, ia mengungkapkan pembelaan untuk film-film jelek yang jadi sasaran kritik negatif para penonton.
Gillan pernah berkata bahwa itu bukan salahnya –sebagai aktris, melainkan salah sang penulis yang memberi skenario buruk kepadanya.
Namun, di satu adegan pada akhir cerita, Apatow seakan menekankan bahwa para penonton tidak bisa menghakimi apa yang “mereka” beri kepada masyarakat, karena itu adalah usaha para tim kreatif, demi menyuguhkan hiburan di tengah kekacauan dunia. Sebuah alasan yang tak masuk akal.
Kesimpulan
‘The Bubble’ adalah salah satu film tak bernyawa yang sukses disuguhkan Netflix demi menghibur masyarakat. Jangan terlena dengan deretan pemain papan atas, yang kerap muncul di film-film ternama. Salahkan skenario katanya, namun mereka pun tak berjiwa.
Sejujurnya, ada film yang lebih baik untuk ditonton di waktu luang dibandingkan film pandemi-komedi-aksi ‘The Bubble’.
Director: Judd Apatow
Cast: Iris Apatow, Fred Armisen, Maria Bakalova, David Duchovny, Karen Gillan, Keegan-Michael Key, Leslie Mann, Kate McKinnon, Pedro Pascal, dan Peter Serafinowicz.
Duration: 126 minutes
Score: 2.9/10
WHERE TO WATCH
The Review
The Bubble
Di tengah pandemi, film 'Cliff Beasts' ingin terus menjalanlkan proses produksi. Namun, kekacauan terjadi ketika setiap kru dan pemain mulai merasa frustasi karena terkurung di sebuah hotel tanpa bisa kemana-mana. Sayangnya, studio harus terus melanjutkan proses syuting. Mereka melakukan berbagai cara untuk mengekang para pemain yang tidak bisa dikendalikan. Suasana syuting mulai terasa bak di penjara.