“Apakah negara ini milik rakyat atau Konfusianisme? – Jeong Yak-jeon (The Book of Fish).
Setelah lama tayang di bioskop Korea pada 31 Maret 2021 lalu, ‘The Book of Fish’ akhirnya dapat disaksikan oleh penonton Indonesia melalui layanan OTT KlikFilm. Film hitam-putih bergenre sejarah ini menjadi salah satu film terbaik Korea di tahun 2021 dan banyak mendapatkan respon positif dari para penonton.
Disutradarai oleh Lee Joon-ik, ‘The Book of Fish’ dibintangi oleh para bintang besar seperti Sol Kyung-gu, Byun Yo-han, Min Do-hee, Jo Woo-jin, Ryu Seung-ryong, hingga Lee Jeung-eun. Berkat kehebatannya, Lee Joon-ik bahkan mendapatkan penghargaan utama atas karyanya dalam film ‘The Book of Fish’ di BaekSang Arts Awards yang diselenggarakan 13 Mei 2021 kemarin. Selain itu, film ini juga berhasil menyabet beberapa penghargaan dalam Blue Dragon Film Awards yang juga diselenggarakan tahun lalu.
‘The Book of Fish’ diadaptasi dari sebuah buku karya Jeong Yak-jeon yang merangkum kisah nyata kehidupannya dengan Jang Chang Dae. Berlatar waktu pada era Joseon sekitar tahun 1801, film ini menceritakan kisah indah tentang seorang guru dan murid yang saling berbagi pengetahuan selama hidupnya.
Sinopsis
Film ini bermula dari keputusan kerajaan untuk membasmi ideologi-ideologi barat yang akan merusak tatanan negara. Saat itu, seorang cendekiawan era Joseon bernama Jeong Yak-jeon yang memiliki pemikiran kebarat-baratan, ditangkap dan diasingkan ke sebuah pulau terpencil bernama Heuksando.
Di tempat tersebut, Yak-jeon bertemu dengan seorang pemuda nelayan yang sangat pintar dan memiliki wawasan luas bernama Chang Dae. Awalnya, Yak-jeon mencoba untuk mendekati pemuda tersebut sebagai seorang guru agar Chang Dae dapat meluaskan wawasannya, namun Chang Dae menolaknya dan berkata tidak akan berguru kepada seorang pengkhianat.
Karena rasa ingin tahu dan ketertarikannya kepada makhluk laut yang sangat beragam di pulau Heuksando, Yak-jeon akhirnya memikirkan cara agar Chang Dae mau membantunya. Dengan imbalan bantuan untuk memahami aliran Konfusianisme secara mendalam, Chang Dae akhirnya setuju untuk membantu sang guru. Sejak saat itu, keduanya saling membagi pengetahuan yang akan memberikan jalan lebih baik bagi Chang Dae.
Persahabatan yang terjalin indah antara guru dan murid
Sebagai seorang bangsawan yang biasa menganggap rendah para nelayan, Yak-jeon dengan rasa ingin tahu yang besar akhirnya meminta bantuan Chang Dae untuk mengajarinya. Sementara menyerap semua pengetahuan laut yang Chang Dae punya, ia kemudian lebih mengenal dan memahami Chang Dae sebagai manusia seutuhnya.
Begitupun sang murid yang awalnya tidak ingin berguru dengan seorang yang dianggapnya pengkhianat. Saat itu, Chang Dae yang konservatif masih belum bisa menerima pemikiran yang berbeda dengannya. Namun, seiring berjalannya waktu, ia pun mulai bisa memahami perbedaan pemikiran yang dimiliki setiap orang.
Setelah sering bertemu dan belajar bersama, persahabatan keduanya pun terjalin. Dengan indah, sang sutradara menggambarkan bagaimana keduanya sering bertengkar namun saling membutuhkan. Yak-jeon yang awalnya tidak mengetahui apa-apa tentang biota laut tergantikan dengan adegan ketika ia sudah mahir menangkap ikan dan memberi nama makhluk laut yang ia temui. Sebaliknya, Chang Dae yang sebelumnya tidak bisa sedikitpun memahami pemikiran Yak-jeon yang kebarat-baratan, akhirnya bisa sedikit tertawa melihat perbedaan tersebut.
Menanamkan pentingnya pendidikan bagi setiap kelas
Di era tersebut, untuk mengenyam pendidikan tentulah tidak semudah sekarang. Buku-buku yang didapatkan oleh Chang Dae sendiri sulit untuk didapatkan, sehingga wajarlah bahwa keberadaan Chang Dae bagaikan penerang di pulau tersebut.
Meski begitu, Chang Dae awalnya gemar membaca buku untuk menyenangkan hati sang ayah yang merupakan bangsawan rendahan dari kota lain. Namun, lambat laun ia mulai gemar membaca buku-buku lain tentang aliran Konfusianisme dan memiliki tujuan yang lebih penting, yaitu untuk meningkatkan status keluarganya.
Sebagai seorang rendahan, Chang Dae tidak mau dianggap orang yang miskin dan bodoh. Ia ingin dianggap ada sebagai seorang manusia dan mempunyai kesempatan untuk mendapatkan status yang lebih baik. Melalui pendidikan, Chang Dae yakin bahwa ia bisa mencapai harapan tersebut.
Hasilnya terbukti bahwa dengan semakin luasnya pendidikan yang Chang Dae dapat, ia juga membuka kesempatan bagi setiap orang untuk mengenyam pendidikan. Atas permintaan warga, Yak-jeon dan Chang Dae kemudian membuka sekolah agar anak-anak yang ingin belajar bisa menuju tempat tersebut.
Uniknya, tidak hanya tentang laki-laki, pelajaran untuk lebih menghargai seorang perempuan terutama ibu, juga dinarasikan dalam film ini. Sayangnya, banyaknya tema menarik dalam film ‘The Book of Fish,’ malah membuat film ini kurang fokus dan berkembang secara detail meski durasi film yang cukup panjang.
Terlalu banyak tema yang tidak berkembang
Film ‘The Book of Fish’ dengan apik mengangkat tema bersejarah di tahun 1801 ketika adanya penganiayaan Katolik atau lebih dikenal dengan Penganiayaan Sinyu. Menurut sejarah, lebih dari 300 orang terbunuh di era Dinasti Joseon yang berkuasa ketika Raja Sunjo yang baru naik. Pemerintah saat itu melakukan tindakan keras terhadap Gereja Katolik di Korea, seolah-olah karena agama tersebut bertentangan dengan cita-cita Neo-Konfusianisme dan mengancam sistem hierarki sosial.
Pemikiran konservatif ini digambarkan melalui Chang Dae yang merupakan penganut Konfusianisme. Ia gemar mengkonsumsi buku-buku tentang aliran tersebut, meskipun pemahamannya tentang bahasa Cina tidak sempurna dan kasta rendahnya menghalangi dia untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih banyak. Sebagai pemuda idealis, ia selalu percaya bahwa kembali ke tradisi Konfusianisme dan menolak pemikiran Barat akan memperbaiki pemerintahan Korea.
Adapun Yak-jeon berpandangan bahwa Konfusianisme dan ide-ide Barat bukanlah hal yang tidak bisa disatukan. Dengan kata lain, bahwa pemikiran Konfusianisme dan nilai-nilai Barat bisa menjadi pelengkap apabila setiap insan dapat mengambil hal-hal baik dalam ideologi tersebut. Chang Dae pun sempat merasa heran mengapa Yak-jeon bisa memahami hal-hal Konfusianisme, padahal ia sendiri lebih setuju dengan pemerintahan tanpa raja seperti di negeri Barat.
Dengan harapan agar tema tersebut dapat dikulik secara mendalam, film ini lebih banyak berbicara tentang bagaimana Chang Dae merangkak untuk mendapatkan posisi yang lebih baik melalui pendidikan dan pemikirannya terhadap Konfusianisme. Sementara itu, Yak-jeon juga digambarkan semasa hidupnya hanya mempelajari tentang biota dan kehidupan makhluk laut, tidak ada narasi menarik yang menjelaskan mengapa ia begitu menyetujui pemikiran barat sehingga rela untuk diasingkan.
Kesimpulan
Mendapat banyak penghargaan di tahun 2021, KlikFilm akhirnya menghadirkan ‘The Book of Fish’ untuk dinikmati para pecinta film di Indonesia. Bertem sejarah, film ini akan menghadirkan suasana menonton melalui gambar monokrom.
Meski film ini menyentuh dan menghibur, namun ada beberapa tema yang tidak bisa dikembangkan dengan baik. Persahabatan dan pendidikan rasanya jadi tema utama dalam film bersejarah yang seharusnya bisa merangkum kejadian-kejadian penting dalam hidup sang cendekiawan Jeong Yak-jeon. Namun, akting yang bagus dari kedua tokoh utama yaitu Sol Kyung-gu dan Byun Yo-han mungkin akan membuat kita lupa waktu dan menikmati film monokrom asal Korea yang satu ini.
Director: Lee Joon-ik
Cast: Sol Kyung-gu, Byun Yo-han, Min Do-hee, Jo Woo-jin, Ryu Seung-ryong, Lee Jung-eun
Duration: 126 Minutes
Score: 7.6/10
WHERE TO WATCH
The Review
The Book of Fish
Seorang cendekiawan era Joseon bernama Jeong Yak-jeon yang memiliki pemikiran kebarat-baratan, ditangkap dan diasingkan ke sebuah pulau terpencil bernama Heuksando dan bertemu dengan seorang pemuda nelayan yang sangat pintar dan memiliki wawasan luas bernama Chang Dae. Tertarik dengan pengetahuan yang dimiliki Chang Dae, Yak-jeon mencoba untuk mendekati pemuda tersebut agar dapat saling berbagi ilmu.