“Fear no evil. Fear no evil.” – Mel (Texas Chainsaw Massacre)
Waralaba Texas Chainsaw Massacre kembali menghibur para fans horror, terutama mereka yang gemar dengan slasher movies. Serupa dengan film lainnya di genre yang sama, ‘Texas Chainsaw Massacre’ juga mempertunjukkan aksi pembantaian seorang pembunuh terhadap sekelompok orang.
Film rilisan Netflix ini menjadi sekuel langsung dari versi orisinalnya yang rilis pada tahun 1974, ‘The Texas Chain Saw Massacre’. Sally Hardesty, satu-satunya karakter yang selamat dari ancaman Leatherface, kembali muncul di film ini untuk menuntaskan dendam pribadi yang tersimpan selama puluhan tahun.
Disutradarai oleh David Blue Garcia, ‘Texas Chainsaw Massacre’ merupakan film garapan rumah produksi Legendary Pictures saat mengangkat waralaba film yang berusia hampir 50 tahun ini ke medium layar lebar. Dengan deretan pemeran baru, film ini menjadi tontonan sadis yang dipenuhi cipratan darah di setiap adegannya.
Sinopsis
Pasca kejadian di film pertama, Sally Hardesty (Olwen Fouéré) dimintai keterangan oleh polisi mengenai peristiwa yang menimpa dia dan teman-temannya. Selama kurang lebih 50 tahun, ia hanya sekali dua kali bersedia menerima wawancara mengenai kasus tersebut. Selama rentang waktu itu pula, Sally telah mempersiapkan diri dengan baik apabila harus dipertemukan kembali dengan Leatherface.
Usai merekap perjalanan Sally, ‘Texas Chainsaw Massacre’ langsung menceritakan peran apa yang dibawa para karakter baru ini ke dalam film. Mereka adalah Mel (Sarah Yarkin) dan Dante (Jacob Latimore), duo influencer yang sedang dalam perjalanan ke sebuah kota sepi bernama Harlow. Bersama dengan adik Mel, Lila (Elsie Fisher) dan pacar Dante, Ruth (Nell Hudson), mereka berencana merubah Harlow menjadi pusat keramaian.
Berbondong-bondong para investor datang untuk menggelontorkan uang yang nantinya akan digunakan untuk memperindah Harlow. Tapi ternyata, tak disangka bahwa masih ada seorang nenek yang masih tinggal di salah satu bangunan di situ. Ia adalah Virginia (Alice Krige), pengasuh di sebuah panti asuhan yang kini tinggal bersama satu-satunya anak yatim yang masih tersisa, seorang lelaki berbadan besar yang telah menetap di situ selama puluhan tahun.
Tanpa pikir panjang, Dante langsung meminta pihak keamanan setempat untuk membawa Virginia dan lelaki tersebut pergi. Mel yang merasa tak enak, inisiatif untuk ikut bersama para polisi, sebelum Ruth secara sukarela menggantikan posisi Mel.
Di perjalanan menuju kantor polisi, Virginia meregang nyawanya karena oksigen yang ia bawa-bawa sudah habis. Lelaki tersebut marah dan membunuh semua orang yang ada di mobil tersebut. Dengan amarah yang tinggi, ia menyayat muka Virginia dan memakainya seakan-akan itu adalah sebuah topeng.
Sebelum dibunuh, Ruth sempat meminta bantuan melalui radio yang berada di depan matanya. Ia mengatakan bahwa ada seorang lelaki dengan topeng muka manusia sedang membunuh orang-orang di sekitarnya. Suara itu pun sampai ke Sally, membuat memori yang ia pendam selama puluhan tahun bangkit seketika. Leatherface telah kembali.
Cerita yang relate dengan masa kini
Sebagai sekuel langsung dari film orisinalnya, ‘Texas Chainsaw Massacre’ membutuhkan sesuatu yang baru dan menyegarkan, juga berkaitan dengan penonton di era sekarang.
Pembuat cerita film ini, Fede Alvarez dan Rodo Sayagues memastikan hal tersebut dengan membawa isu terkini di negeri Paman Sam seperti penembakan di sekolah, gun control, cancel culture, dan fenomena influencer yang sedang merebak. Problematika dekade 2020-an mereka coba rangkum menjadi landasan cerita.
Lila yang merupakan penyintas penembakan di sekolah, selalu teringat-ingat akan peristiwa tersebut. Hal itulah yang nantinya menjadi semacam pelatuk bagi Lila ketika menghadapi Leatherface. Ia selalu teringat kembali akan peristiwa tersebut, membuat ia ingin bertindak lebih baik lagi dari sebelumnya.
Perihal influencer, orang-orang ini persis seperti apa yang sering kita temui di internet sekarang-sekarang ini. Mereka dengan modal followers dan likers di media sosial, merasa bisa merubah sesuatu seenaknya dengan dalih “starting fresh”. Bukan hanya mereka yang menjadi korban Leatherface, namun Harlow juga menjadi korban gentrifikasi orang-orang ini. Kumpulan orang yang dikit-dikit bisa meng-cancel orang lain karena berbeda dari mereka.
Darah yang berceceran di mana-mana
It’s a slasher movie. What do you expect? Darah berceceran di sepertiga film. Kepala hancur, anggota tubuh patah, dan tentu aksi gergaji dari Leatherface. Untuk membuka itu semua, sutradara David Blue Garcia memulainya dengan Leatherface mematahkan pergelangan tangan sang polisi, yang kemudian ia gunakan untuk menusuk leher polisi tersebut.
Beberapa kali kita akan dibuat kaget dan ternganga oleh efek visualnya yang…. sangat sadis! Badan disayat dengan sedemikian rupa, sampai para korban benar-benar tidak berdaya. ‘Texas Chainsaw Massacre’ sudah seperti bongkar pasang badan manusia. Dari yang mulai anggota tubuh yang kebelah dua dengan potongan secara horizontal, hingga potongan lainnya yang dilakukan secara diagonal.
Di trailer, diperlihatkan sebuah bus yang berisikan orang sedang merekam Leatherface sedang berdiri di hadapan mereka. Salah satu dari mereka nyeletuk, “Try anything and you’re canceled, bro.” Spoiler alert, Leatherface tidak peduli akan hal tersebut.
Eksekusi yang lemah membuat sekuel ini tak sebanding daripada film aslinya
Duo penulis Alvarez dan Sayagues memang terkenal berkat karya apiknya di ‘Dont Breathe’ dan ‘Evil Dead’. Sayangnya, dengan beban berat yang mereka pikul, cerita dari ‘Texas Chainsaw Massacre’ belum bisa berdiri bersama dengan film orisinalnya. Didapuk sebagai film horor terbaik sepanjang masa dan paling berpengaruh di industri, ‘The Texas Chain Saw Massacre’ menawarkan segala hal yang bisa diberi oleh film horor.
Dengan keperkasaan film orisinalnya, ‘Texas Chainsaw Massacre’ kelak hanya akan diingat sebagai film kesembilan di waralaba ini. Berdiri berdempetan dengan film-film lanjutannya yang relatif terlupakan. Tidak ada kesan yang membekas dari film ini.
Kekecewaan tentu hadir oleh keberadaan Sally Hardesty. Di film pertamanya, Sally diceritakan sangat ketakutan dan benar-benar sedang berada di neraka dunia. Teriak yang tak kunjung berhenti menunjukkan bagaimana Sally harus bertahan hidup melawan Leatherface dan keluarganya.
Ketakutan yang berkelanjutan itu telah memupuk menjadi sebuah dendam. Dendam puluhan tahun, ditambah ambisinya untuk membalaskan kematian adiknya, dituntaskan dengan waktu singkat. ‘Texas Chainsaw Massacre’ hanya memberi duel antara Sally dan Leatherface dengan cuma-cuma. Tak ada pelampiasan habis-habisan dari Sally ketika ia menghadapi kembali sang pembunuh.
Kesimpulan
‘Texas Chainsaw Massacre’ hadir dengan isu yang cukup kompleks untuk sebuah slasher movie. Padahal, film dengan genre ini bukan hadir untuk membuat penontonnya peka mengenai problematika terkini. Penonton hadir untuk menyaksikan ketakutan dahsyat dari para karakternya kala menghadapi seorang pembunuh yang berdiri di hadapan mereka.
Atmosfer yang muncul di film ini tidak sesuai dengan ekspektasi tersebut. Bukannya dibuat deg-degan menyaksikan karakter utama film ini berjibaku melawan Leatherface, penonton harus dibuat kesal dan gregetan dengan ulah para so-called influencers ini. Menonton pembantaiannya pun memang terasa enjoyable, namun lebih karena ingin melihat orang-orang ini dihabisi nyawanya saja oleh Leatherface.
Director: David Blue Garcia
Cast: Mark Burnham, Sarah Yarkin, Elsie Fisher, Olwen Fouéré, Jacob Latimore, Moe Dunford, Alice Krige, Jessica Allain.
Duration: 81 minutes
Score: 5.6/10
WHERE TO WATCH
The Review
Texas Chainsaw Massacre
Dalam sekuel ini, para influencer ingin membangkitkan kehidupan baru di sebuah kota sepi di Texas, bernama Harlow. Nahas, mereka bertemu dengan Leatherface, seorang pembunuh terkenal yang mengenakan topeng kulit manusia.