“Kapten, apakah kau tahu berapa harga dari kebebasan? Segalanya,” – Calvin Khumalo (Silverton Siege).
Hai, Cilers!
Silverton Siege adalah sebuah film thriller aksi yang terinspirasi oleh insiden kehidupan nyata yang memicu gerakan Bebaskan Mandela secara mendunia.
Film yang sudah tayang di Netflix sejak 27 April lalu, mengambil latar tahun 1980 dan berfokus pada tiga pejuang keadilan berkulit hitam yang melakukan berbagai misi sebagai bentuk penolakan mereka atas aturan yang tidak meguntungkan para masyarakat kulit hitam.
Sinopsis

Setelah sebuah misi sabotase gagal, tiga orang pejuang keadilan yang terdiri dari, Calvin Khumalo (Thabo Rametsi) Mbali Terra Mabunda (Noxolo Dlamini), dan Aldo Erasmus (Stefan Erasmus), memutuskan untuk mencari perlindungan di sebuah bank Afrika Selatan di Silverton, Pretoria.
Mereka menyandera karyawan bank beserta nasabahnya, dan menuntut pembebasan Nelson Mandela sebagai ganti dari pembebasan para tahanan sandera. Namun, ada kejanggalan dari gagalnya misi yang mereka lakukan dan berujung pada sebuah pengkhianatan.
Semua yang terlibat memiliki satu kesamaan – perjuangan untuk kebebasan. Karena Trio menyadari satu-satunya pilihan mereka adalah penjara atau kematian, mereka memutuskan untuk bernegosiasi untuk pembebasan Nelson Mandela.
Plot tak rapih, samarkan pesan utama

Film ini dibuka dengan narasi yang dibacakan oleh salah satu pemeran utama, Calvin Khumalo. Ia memberikan gambaran kepada penonton tentang hak dan kebebasan warga kulit hitam di negara Afrika Selatan, yang masih dibedakan dengan warga kulit putih.
Lalu adegan berpindah ketika para pejuang muda mulai menjalankan misi dengan memata-matai sebuah pabrik bensin. Sayang, semua rencana yang mereka rancang harus hancur begitu saja karena apa yang akan mereka lakukan sudah diketahui pihak polisi, yang saat itu juga sedang menyamar untuk menangkap mereka semua.
Hampir keseluruhan dari film ini menampilkan plot yang tidak rapih, saling berlompatan dan tidak menjelaskan pesan di setiap adegan, hal itu yang membuat pesan utama dari film ini terasa samar untuk disampaikan kepada penonton.

Sutradara hanya berfokus pada perjuangan tiga orang yang menginginkan kebebasan bagi kaum mereka, namun menanggalkan hal-hal detail lainnya. Alur cerita yang ditampilkan memang berjalan lancar, tapi tetap saja karena tampil dengan serba cepat, membuat pesan yang seharusnya bisa menggugah hati, justru hadir sebagai cipratan air saja, tidak membuat basah kuyup.
Beberapa cerita diselesaikan dengan cepat dan terburu-buru, karena ingin menyelesaikan keseluruhan cerita, membuat film ini sangat terasa sekali bolongnya. Bahkan ada adegan yang seharusnya bisa dieksplor lebih jauh lagi, yakni soal anak dari menteri yang bukannya dimanfaatkan dengan baik malah diberikan porsi yang amat sedikit sehingga kehadirannya sama sekali tidak memberikan kesan apapun.
Sisi emosional para pemain yang ‘nanggung’

Ada beberapa pemain yang cukup mengganggu karena penampilannya yang ‘nanggung’ atau bahkan bermain dengan porsi yang sedikit, sehingga menggangu penjiwaan dari karakter utama. Para sandera memang diberitahukan bahwa mereka tidak dibunuh dan akan dipulangkan.
Ketiga pelaku penyanderaan juga tetap bersikap tidak menyakiti mereka, hanya saja semuanya terasa hambar. Apalagi ketika klimaks dari film ini ditampilkan, bukannya diberikan porsi yang luas justru yang diberikan hanya proses penyelesaian yang cepat dan begitu saja.
Hal tersebut juga berdampak pada penjiwaan dan sisi emosional yang sedang ditampilkan para pemain, karena plot yang tak rapih membuat para pemain harus sesegera mungkin mengganti ekspresi dan emosi mereka untuk menyamai cerita yang sedang berjalan.
Karenanya, ketika adegan Calvin sedang sesak nafas dan berada dalam perasaan kehilangan yang mendalam, justru yang disorot malah adegan diluar bank di mana para polisi sudah memberikan perintah untuk menerobos masuk. Jadi, terasa nanggung sekali ketika penonton sedang menyelami perasaan Calvin, adegan malah berganti dengan cepat tanpa transisi yang lembut.
Visual dan skoring jadi penguat film

Beruntungnya, visual yang diberikan cukup memanjakan mata penonton dengan sudut pengambilan yang variatif dan tidak membosankan. Baik dari detail-detail ekspresi para pemain hingga suasana diluar tempat penyanderaan yang diramaikan oleh para polisi.
Keadaan di dalam Bank juga ditampilkan dengan suasana mencekam yang terkadang membuat penonton turut merasa berdebar dan sedikit ketakutan.

Selain visual yang bagus, skoring yang diperdengarkan juga sesuai dan tepat dengan setiap adegan yang sedang ditampilkan. Mulai dari adegan pengejaran dengan irama yang bersemangat dan menggebu-gebu, hingga ketika adegan sedang menampilkan sisi emosional yang mendalam, yang mengalunkan irama lembut.
Kesimpulan
Silverton Siege menjadi film pengingat bagi kita semua untuk tidak membeda-bedakan seseorang berdasarkan ras, suku, maupun warna kulit. Karena kita masih berada di negara yang sama, yang membuat kita harus saling menghormati setiap perbedaan yang ada.
Pesan yang diberikan memang tidak begitu kuat, namun apa yang ingin disampaikan sutradara lumayan bisa tersampaikan, baik dari segi kesetaraan bagi warga kulit hitam, maupun kebebasan yang diperjuangkan untuk menolak tindakan diskriminasi.
Bagi penonton yang menyukai genre aksi yang emosional, film ini menjadi saran rekomendasi yang bisa kalian saksikan. Meskipun apa yang tersaji di film ini tidak begitu memuaskan, namun tetap saja apa yang diberikan masih bisa ditonton dan dipetik pesan moralnya.
Director: Mandla Dube
Casts: Thabo Rametsi, Noxolo Dlamini, Arnold Vosloo, Stefan Erasmus, Michelle Mosalakae
Duration: 101 minutes
Score: 6.0/10
WHERE TO WATCH
The Review
Silverton Siege
Berlatar tahun 1980, Rametsi, Dlamini, dan Erasmus memerankan trio Silverton Siege – tiga pejuang kemerdekaan muda yang bersemangat. Setelah sebuah misi sabotase gagal, ketiganya pun berujung mencari perlindungan di sebuah bank Afrika Selatan di Silverton, Pretoria. Mereka pun menyandera bank beserta nasabahnya, dan menuntut pembebasan Nelson Mandela sebagai ganti pembebasan para tahanan.