“Tidak semua perjumpaan dirancang Tuhan untuk bersatu.” – Bu Kristin.
Menutup bulan Agustus ini, Disney+ Hotstar menghadirkan sebuah film Indonesia terbaru berjudul ‘Notebook’ pada 27 Agustus 2021 yang lalu. Dibintangi oleh Amanda Rawles dan Dimas Anggara, film arahan sutradara Karsono Hadi ini mengusung genre drama romantis yang ditulis oleh Tisa TS bersama sang produser, Sukhdev Singh.
Film ‘Notebook’ bercerita tentang seorang guru bernama Rintik (Amanda Rawles) yang memutuskan untuk mengabdi di salah satu sekolah yang terletak di Sumba. Perjalanan itu ternyata juga diikuti oleh motif lain untuk menghindari perjodohan yang dihadapinya di Jakarta. Namun tanpa disangka-sangka, di Sumba, Rintik justru dipertemukan dengan seorang pemuda bernama Arsa (Dimas Anggara).
Di antara lika-likunya beradaptasi dengan lingkungan baru, bahkan sempat diragukan mampu menjadi guru yang baik karena keyakinannya sebagai seorang Muslim yang menjadi minoritas di sana, masalah perasaan di antara Rintik dan Arsa ikut menjadi pembahasan di dalam film ini.

Seperti judulnya, yaitu ‘Notebook, film ini memang memusatkan kisah dari sudut pandang Rintik tentang apa yang membuat gadis itu memilih ke Sumba, bagaimana perasaannya selama berada di sana, serta tantangan-tantangan apa saja yang dihadapinya ketika menjadi guru. Semua hal itu dituliskan oleh Rintik ke dalam buku jurnal harian dan disuarakan di beberapa adegan yang memperlihatkan dirinya tengah menulis.
Secara keseluruhan, banyak sekali lubang di dalam alur pengisahan film ‘Notebook’. Narasi yang diawali dengan isu sesensitif gesekan di antara dua agama yang berbeda ternyata hanya terbatas pada desas-desus di antara perbincangan para guru dan ibu dari Arsa. Pada praktiknya, film justru membawa arah konflik yang dihadapi oleh Rintik selama menjadi guru di Sumba dengan membahas keengganan seorang wali murid untuk mengizinkan anaknya bersekolah. Keengganan itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan isu yang dibawa di awal tentang agama yang dianut oleh Rintik sebagai ibu guru.
Wali murid ternyata menolak memberi izin kepada anaknya untuk bersekolah karena alasan himpitan ekonomi sehingga beliau membutuhkan tenaga tambahan dari sang anak untuk ikut bekerja. Intinya, ada sedikit singgungan dari film terhadap potret beberapa anggota masyarakat ekonomi kelas bawah yang masih meragukan pendidikan dapat menjadi alat pengubah nasib kehidupan. Mendekati akhir durasi, film ini semakin mempertegas bahwa tujuan utamanya adalah mengisahkan kisah romansa klise, perjodohan karena balas budi dan cinta yang bisa datang tanpa terduga.

Nyatanya, isu sesensitif pandangan terhadap suatu agama yang menjadi minoritas di daerah tertentu hanyalah diposisikan sebagai hiasan di awal. Tidak ada eksekusi yang serius. Film lebih banyak memutari pengisahan pada hal-hal seputar percintaan yang dipenuhi oleh potret kasmaran dan kebimbangan. Akan tetapi, kerumitan kisah cinta itu juga terasa setengah-setengah ketika dimunculkan, terlebih terkait permasalahan Rintik dalam menghadapi perjodohannya. Ketika ia diceritakan menghindari situasi tersebut, tidak ada upaya dalam menjabarkan alasan ia menolak perjodohan ataupun upaya menegaskan penolakan.
Karakterisasi sosok Rintik dalam film ‘Notebook’ memang sangat terasa aneh. Di awal, saat isu tentang kehadiran Rintik diremehkan karena ia menjadi satu-satunya guru Muslim di sekolah, sosoknya digambarkan cukup anggun dalam menjaga diri dan membatasi kedekatan dengan lawan jenis, bahkan menolak untuk bersalaman dengan Bapak Kepala Sekolah. Namun seiring berjalannya cerita, Rintik seakan menepikan keanggunannya sebagai seorang Muslimah.
Rintik bersedia melingkarkan tangan ketika Arsa menyuruhnya berpegangan saat dibonceng di sepeda, meraih uluran tangan, bahkan merangkul lelaki yang membuatnya merasakan perasaan cinta yang baru. Sajian kisah itu menimbulkan kesan bahwa ‘Notebook’ bermaksud menggambarkan efek samping cinta yang bisa menggoyahkan keimanan, lalu membawa penganutnya untuk melewati hal-hal yang telah ia batasi di awal.

Selain jalan cerita terkait konflik dan resolusi yang seolah tidak diarahkan secara jelas dan tegas, hal lain yang mengganggu adalah dialek Sumba yang dilafalkan oleh Dimas Anggara. Mengambil peran sebagai seorang pemuda asal Sumba, aktor tersebut hanya menampilkan peforma yang baik di awal. Namun pada paruh pertengahan hingga akhir film, dialek Sumba menguap dan membuat perannya sebagai Arsa patut diragukan.
Walaupun hal itu tidak dapat dieksekusi secara optimal, permainan peran Dimas Anggara sebagai sosok yang tengah jatuh cinta ditampilkan dengan baik. Ia mampu membuat penonton ikut tersenyum menyaksikan tingkahnya yang kadang tersipu, kadang memalukan. Bersama Amanda Rawles yang terbilang baik pula dalam berperan sebagai seorang guru yang sederhana, lembut, dan sabar, kedua pemeran utama ini membangun chemistry yang indah di depan kamera.
Penampilan Ira Wibowo juga melengkapi keisitimewaan permainan peran para bintang yang memiliki jam terbang tinggi di dunia perfilman itu, bahkan Tanta Ginting sebagai Marius juga menghadirkan suasana yang menghidupkan sisi menghibur di dalam ‘Notebook’. Namun, saat dihadapkan dengan para pemain pendukung yang digambarkan sebagai masyarakat Sumba setempat, tampak ketimpangan kualitas akting yang justru mengganggu sisi alami dari keseluruhan permainan peran di dalam ‘Notebook’.

Sementara untuk teknis dari elemen skoring, tidak ada unsur musik-musik latar khas yang membuat ia terasa dihadirkan khusus dalam film ini. Dari awal hingga akhir, semua nada-nada itu terdengar biasa saja dan tidak menunjukkan peranan dalam mempengaruhi emosi penonton. Dari beberapa penjabaran di atas, dalam kata lain harus dikatakan, hal yang menjadi keunggulan film ini memang terbilang sangat minim.
Selain kualitas aktor dan aktris yang terbilang baik karena jam terbang dalam layar lebar yang tidak perlu diragukan lagi, elemen sinematografi ‘Notebook’ terbilang cukup menyenangkan untuk dilihat. Visualisasi bentang alam yang indah di Sumba tersorot dengan baik, meskipun masih tampak monoton dan kurang tereksplorasi secara maksimal. Setidaknya, kesan damai yang menenangkan dapat ikut tergambarkan di layar.
Pada akhirnya, harus diakui bahwa film ‘Notebook’ terlalu mentah untuk dihadirkan ke dalam layar lebar. Isu-isu yang sebenarnya menarik untuk dibahas hanya dimunculkan dengan kedalaman yang terbilang sangat dangkal. Kisah percintaan yang mendominasi terbatas pula pada konflik-konlik klise sehingga film ini belum bisa dikatakan baik, istimewa, apalagi mengesankan. Latar Sumba yang disajikan pun tidak dapat mengobati kehampaan dan ketidakjelasan alur ceritanya.
Director: Karsono Hadi
Cast: Amanda Rawles, Dimas Anggara, Ira Wibowo, Tanta Ginting, Dominique Sanda, Eko Mulyadi
Duration: 82 minutes
Score: 5.8/10
WHERE TO WATCH
The Review
Notebook
Notebook mengisahkan seorang guru Muslim bernama Rintik yang mengajar ke Sumba untuk menghindari perjodohan yang tengah dihadapinya. Selain beradaptasi dengan lingkungan baru dan menghadapi permasalahan di sekolah, Rintik juga jatuh hati kepada seorang pemuda asal Sumba bernama Arsa.