Review Film Mother/Android (2021)

Sepasang Muda Mudi yang Bertahan Hidup di Tengah Ketidakpastian Dunia

“Manusia diprogram melalui hormon dan dorongan utama [untuk] memiliki hubungan emosional. Itu yang membuat kita hidup selama ini.” – Arthur.

 

‘Mother/Android’ bukanlah film mengenai pemberontakan robot pada umumnya. Film debutan sutradara Mattson Tomlin ini mengambil sudut pandang yang jauh berbeda. Biasanya, penonton akan dipertunjukkan dengan adegan action tumpah darah para manusia melawan robot. Namun, tidak dengan ‘Mother/Android’.

Dirilis oleh Netflix secara internasional pada 7 Januari lalu, ‘Mother/Android’ menjadi semacam pemanasan bagi para penikmat film Matt Reeves. Pasalnya, sutradara ‘The Batman’ itu juga ikut andil sebagai produser. Tak main-main, perannya cukup mempengaruhi jalan cerita dari film ini.

Sebelumnya, ‘Mother/Android’ hanya dirilis khusus di Amerika Serikat oleh Hulu. Baru untuk rilisan internasional, Netflix dipercaya memegang lisensinya. Kepercayaan tersebut juga didapat karena perusahaan produksi di balik film ini, 6th & Idaho Motion Picture Company, memiliki hubungan yang erat dengan Netflix.

Sinopsis

Di sebuah kamar mandi di Massachusetts, Amerika Serikat, sepasang anak kuliahan dihadapi oleh sebuah tantangan yang baru untuk mereka. Georgia (Chloe Grace Moretz) positif hamil, mengandung anak dari pacarnya, Sam (Algee Smith). Tak ingin ambil pusing, mereka akhirnya memutuskan untuk melupakan sejenak mengenai kehamilannya dan akan mencari tahu lebih lanjut setelah mereka hadir di pesta temannya.

Sementara itu, dunia sudah semakin canggih. Manusia berhasil menciptakan sebuah android yang menyerupai manusia, untuk dimanfaatkan sebagai pelayan. Mereka memiliki bentukan sama percis, hanya warna darah mereka yang membedakan dengan milik manusia. 

Saat pesta sedang berlangsung, tiba-tiba ada sebuah cahaya seperti blitz yang menyerang orang-orang di rumah tersebut. Tiba-tiba saja, para android berubah jadi jahat, tak acuh pada perintah pemiliknya, dan siap membunuh orang-orang yang ada di depan matanya. Georgia dan Sam beruntung karena masih bisa menyelamatkan diri dari kengerian yang melanda.

Lompat sembilan bulan kemudian, Georgia dan Sam kini tinggal di sebuah negeri yang dikelilingi oleh android kejam. Dengan kandungan yang sudah melewati batas waktunya, Georgia dan Sam didesak oleh waktu untuk segera menemui sebuah shelter yang aman untuk mereka dan bayi yang akan lahir.

Mereka tahu kalau di Boston ada sebuah kapal yang akan membawa orang-orang ke Cina dan Korea, negara-negara dengan situasi yang lebih aman terkendali. Untuk mencapai Boston, Georgia dan Sam perlu melewati banyak rintangan terutama daerah yang disebut “No Man’s Land”. Daerah yang sudah dikuasai oleh para android dan sulit ditembus oleh manusia dengan persenjataan selengkap apapun

Berpasangan yang ideal

© hulu

Melalui sinopsis di atas, pasti penonton sudah tahu ke mana arah film ini akan menuju. Layaknya ‘A Quiet Place’ dan ‘Birdbox’, para penyintas android uprising ini dijanjikan sebuah tempat yang jauh lebih nyaman dibanding tempat mereka berada sekarang. Ada semacam safe haven untuk mereka yang sudah mati-matian melewati berbagai tantangan di jalan. 

Walaupun dikelilingi oleh sekelompok robot yang instingnya adalah untuk membunuh manusia, film ini tidak akan memberi para penontonnya aksi tembak-tembakan sang karakter utama melawan robot-robot dengan dinamis. Tidak akan ada adegan intens seperti Will Smith menembaki para robot di ‘I, Robot’. Melainkan, adegan romansa mengenai dua muda-mudi yang rela berkorban untuk satu sama lain.

Georgia dan Sam tidak pernah mau lepas dari satu sama lain. Untuk mempertahankan itu, Sam rela melakukan apapun agar ia bisa terus bersama pasangannya. Semua cara ia lakukan untuk bisa mencapai Boston. Sejak di awal film, Sam sudah berjanji akan tanggung jawab untuk Georgia dan kelak bayi yang akan mereka miliki. Di sepanjang film pula, ia membuktikan komitmennya untuk bertanggung jawab dengan baik.

Tanpa penjelasan bagaimana peristiwa Blitz (awal mula para robot memberontak) bisa terjadi, Georgia dengan kandungannya tidak terlihat pernah menyerah untuk menggugurkannya. Terlebih lagi, komitmen mereka di awal memang untuk mengurus bayinya bersama-sama.

Bentuk hubungan ideal seperti ini yang coba ditunjukkan oleh Mattson Tomlin, yaitu dua orang saling memegang janji satu sama lain, bersatu menyatukan jiwa dan raga untuk kebaikan yang lebih besar di kemudian hari.

Lebih seperti film remaja

© hulu

Karena fokus yang diutamakan adalah hubungan Georgia dan Sam, ‘Mother/Android’ lebih mirip seperti film ABG yang menghadirkan kisah asmara yang sedang dilanda bencana. Kalau saja musuh di film ini bukan robot, pasti tidak akan lolos kualifikasi genre sci-fi. Untuk bisa lolos ke genre thriller saja sudah diragukan.

Tidak banyak aksi menegangkan yang ditunjukkan. Keberadaan robot-robot ini juga tidak begitu kelihatan batang hidungnya. Sekalinya diperlihatkan, adegan tersebut akan berjalan dengan cepat karena harus segera menangkap momen romantis antara Georgia dan Sam. 

Tentu mengecewakan. Dijanjikan melalui judul yang memiliki nuansa saintifik, tetapi tidak banyak menyajikan aksi mencekam para robot. Penonton seharusnya sadar kalau adegan thrilling tipikal di film sci-fi tidak akan banyak disinggung sejak awal karena lebih banyak interaksi dan percakapan mengenai percintaan.

Terlepas dari itu, bagaimana Georgia bertindak saat menghadapi para robot ini bisa dibilang cukup realistis. Saat harus menghadapi para robot, ia diminta oleh Sam memegang pistol miliknya dan menembaki robot-robot yang sedang mengejar mereka. 

Di atas motor yang sedang melaju kencang, Georgia menembaki para robot itu, namun hanya sedikit yang mengenai sasaran. Tidak heran tentunya karena ia hanyalah seorang anak kuliahan yang apes karena tiba-tiba dunianya diserang oleh robot yang memberontak.

Sisi teknisnya yang apik

© hulu

Sebuah keberuntungan bagi Mattson Tomlin karena sisi teknisnya seperti sinematografi, scoring, dan coloring membantu dengan baik adegan thrilling-nya yang sedikit itu. Georgia adalah satu-satunya karakter di film yang selalu dihadapi oleh berbagai macam ketegangan. Berkali-kali pula kamera bisa menangkap ekspresi dirinya saat sedang disudutkan oleh para robot.

Chloe Grace Moretz berhasil menunjukkan kebingungan yang melanda Georgia ketika berhadapan dengan berbagai rintangan di depan matanya. Ketakutan karena bisa sewaktu-waktu kehilangan Sam, serta adanya kemungkinan bayi di kandungannya tidak selamat. Sedangkan penampilan Sam tidak begitu menyita perhatian alias tidak begitu impresif.

Pada bagian scoring, tidak berlebihan jika mengatakan kalau alunan musiknya bisa membuat penonton deg-degan. Tidak sabar dan geregetan menanti apa yang akan segera dihadapi oleh Georgia selepas musiknya berhenti. 

Warna-warna di film ini juga identik dengan warna biru. Warna yang melekat pada tiap robot yang hendak melangsungkan aksi kejamnya. Ada satu adegan yang melibatkan warna merah menjadi dominan di akhir film. Selain menambah esensi mencekamnya, warna tersebut juga membawa penonton ke pertanyaan-pertanyaan seperti, “Akankah mereka selamat? Atau mereka akan tersiksa selamanya oleh para robot?”

Kesimpulan

‘Mother/Android’ memang tidak menunjukkan banyak adegan menegangkan khas film-film sci-fi, namun mengulik bagaimana sebuah hubungan bisa bertahan di tengah sebuah krisis, sama menariknya. Dengan mengambil latar di saat pemberontakan robot buatan manusia, film remaja satu ini bisa menjadi sesuatu yang menyegarkan jika dibanding film-film lainnya yang memiliki jalan cerita serupa. 

 

Director: Mattson Tomlin

Cast: Chloe Grace Moretz, Algee Smith, Raul Castillo

Duration: 111 menit

Score: 5.8/10

WHERE TO WATCH

The Review

Mother/Android

5.8 Score

Di dunia pascakiamat yang diguncang oleh pemberontakan android yang kejam, seorang wanita yang tengah hamil muda dan pacarnya mati-matian menyelamatkan diri.

Review Breakdown

  • Acting 8
  • Cinematography 6
  • Entertain 5
  • Scoring 5
  • Story 5
Exit mobile version