Review Morbius (2022)

Kisah Dokter Michael Morbius Menjadi Seorang Vampir Akibat Eksperimen Gagalnya

“We are the few against the many.” – Lucien (Morbius).

 

Morbius’ membuka keran Sony’s Spider-Man Universe menjadi lebih deras lagi. Setelah mendulang kesuksesan bersama dua film Venom, kali ini giliran anti-hero Morbius yang mendapatkan kesempatan debut di film live action, dibintangi oleh Jared Leto.

Sepak terjang ‘Morbius’ untuk bisa rilis bisa dibilang tidak mudah. Film ini melakukan syuting ulang sebanyak dua kali dan desas-desusnya akibat dari skrip yang ingin dirombak ulang. Belum lagi soal pengunduran jadwal yang dilakukan berulang yang mana salah satunya diakibatkan oleh pandemi yang sedang melanda. 

Meski beberapa kali terkena halangan, ‘Morbius’ akhirnya rilis juga di bioskop dan memberikan semburan angin segar untuk semesta Marvel di layar lebar. Dihiasi dengan scoring yang menggelegar, film ini berhasil membuat penonton terjaga dengan rentetan adegan action yang memesona. 

Ceritanya sendiri bisa dibilang sebagai titik kelemahan ‘Morbius’, tetapi hal itu segera tertutupi oleh penampilan ciamik para karakter. Jared Leto menunjukkan seorang Michael Morbius yang tak kenal lelah mencari obat untuk penyakitnya, juga Matt Smith yang memainkan peran antagonis di film ini bisa dibilang sebagai show stealer alias menjadi hiburan tersendiri di film.

Sinopsis

© Sony Pictures

Puluhan tahun lalu di Yunani, Michael Morbius kecil terbaring di rumah sakit khusus pengidap penyakit darah tak tersembuhkan. Setiap hari, anak-anak di situ harus tersambung dengan selang berisi darah guna membuat mereka tetap hidup. Suatu ketika, Morbius kedatangan teman sebaya di ranjang sebelahnya bernama Lucien. Morbius memanggil dia Milo dan keakraban antara mereka berdua pun mulai terbangun.

Bertahun-tahun kemudian, Morbius (Jared Leto) sekarang sudah dewasa dan menjadi seorang dokter yang cerdas. Ia merupakan seorang penemu darah buatan yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Di sisi lain, Milo (Matt Smith) tumbuh menjadi orang yang kaya raya, senantiasa mendanai terobosan-terobosan Morbius dari laboratorium.

Terobosan itu kemudian datang dari percobaan Morbius menyatukan DNA kelelawar dengan manusia, menghasilkan sebuah cairan yang bisa menyembuhkan Morbius. Namun, ada efek sampingnya di mana ia harus mengonsumsi darah manusia untuk tetap bertahan hidup. Morbius sadar bahwa perubahan ini membuatnya menjadi vampir yang rela menghantam manusia manapun untuk menghisap darahnya.

Penemuan itu ternyata sampai ke kuping Milo dan ia memaksa untuk menyuntikan cairan tersebut ke dalam tubuhnya. Morbius menolak, namun usahanya sia-sia. Milo sudah lebih dulu mengamankan cairan itu dan merubah dirinya menjadi vampir yang Morbius selalu hindari.

Babat habis dari para kelelawar

© Sony Pictures

Sebagai dua sosok yang menggunakan cairan tersebut, Morbius dan Milo selalu menampilkan kesan yang ganas ketika dihadapi dengan sekelompok manusia yang mengancam keberadaannya. Apalagi saat Morbius pertama kali berubah jadi vampir, ia dengan beringas memanfaatkan segudang keahliannya menghindari tembakan peluru yang melayang dan mencaplok leher orang-orang di depannya.

Milo pun melakukan hal yang serupa. Dengan kekuatan super cepat yang ia miliki, Milo lihai menghindar dari berbagai ancaman yang mengintai. Kemampuan mendeteksi dia juga sama dengan Morbius, membuatnya tak gentar menghadapi ancaman yang datang. Milo dengan aksi nyentriknya menjadi pembeda dibanding Morbius yang lebih suka melakukan kegiatannya tidak diketahui banyak orang.

Pancaran ekolokasi para vampir di film ini mengindikasikan keahlian mereka mempelajari kekuatan dengan cepat. Terutama pada Morbius, dukungan visualisasi yang muncul tiap kali ia menggunakan kekuatan tersebut menunjukkan bahwa dirinya telah sepenuhnya mendedikasikan jiwa dan raganya untuk kemampuan barunya. Ia bisa terbang melayang mengelilingi New York dengan mudah, layaknya seekor kelelawar.

© Sony Pictures

‘Morbius’ secara adil memberi porsi yang sama terhadap dua karakter, menumbuhkan rasa penasaran penonton akan pertempuran sengit antara dua vampir itu. Mana yang paling tangguh, mana yang paling pintar. Beruntung, dua vampir ini diperankan oleh Jared Leto dan Matt Smith yang mampu mengeluarkan penampilan adu peran terbaik dari masing-masing karakter.

Keinginan para vampir untuk mengonsumsi darah juga akhirnya mengantarkan penonton pada unsur menyeramkan di film ini. Sebagai salah satu proyek baru di semesta Marvel milik Sony, ‘Morbius’ memberikan sajian menyegarkan dengan menghidupi adegan horor dari premisnya, yaitu seorang vampir yang membutuhkan darah untuk bertahan hidup. 

Meski baru muncul di pertengahan film, adegan horor yang dieksekusi secara singkat ini mampu memberi ketegangan yang maksimal. Di sebuah koridor yang lampunya berkedip, seorang staf setempat harus bisa kabur dari ancaman yang mengintai. Beberapa kali ia menengok ke belakang, memantau siapa sosok yang mengincarnya. Raut kekhawatiran dari wajah orang ini terasa betul, sehingga menjadi sebuah jaminan jika ikut terbawa merasakannya.

Dibantu oleh suara yang menggelegar

© Sony Pictures

Pengisi musik Jon Ekstrand menjadi orang yang kreditnya tidak boleh dipandang sebelah mata. Diiringi oleh banyak hentakan musik yang keras, setiap aksi Morbius terasa lebih nyata. Salah satu keberhasilan ‘Morbius’ membuat penontonnya tetap terjaga di sepanjang film datang dari tangan dingin Ekstrand yang mampu mengolah alunan nada di film ini menjadi lebih mengesankan.

Bisa dibilang ini adalah sebuah jaminan pasti kalau ‘Morbius’ bisa membawa penonton merasakan langsung ketegangan antara Morbius dan Milo. Tensi tinggi antara mereka berdua sama rasanya seperti menonton Spider-Man berhadapan dengan Green Goblin di ‘The Amazing Spider-Man 2’.

Rivalitas Morbius dan Milo serupa dengan Peter dan Harry, yaitu diakibatkan oleh kecemburuan yang dimiliki oleh salah satu pihak. Milo dan Harry sama-sama ingin mendapatkan kekuatan seperti Morbius dan Peter, namun mereka tidak diizinkan oleh sahabat karibnya. Mereka merasakan ketidakadilan yang sama.

© Sony Pictures

Adegan roman di ‘Morbius’ menambah kesan bahwa meski Morbius sudah berubah menjadi vampir ganas dan menyeramkan, ia tetap bisa merasakan hangatnya kasih sayang. Rasa cinta yang ia miliki tidak hilang dengan haus darah yang terus mengintainya setiap 6 jam sekali. 

Lagi-lagi, Ekstrand dengan baik mampu mengelilingi sentuhan romantis di ‘Morbius’ melalui musik yang adem dan menenangkan. Ini seperti semacam polisi tidur untuk film ini memperlambat lajunya setelah dihajar habis dengan aksi para vampir ini. 

Sisi ceritanya amat lemah dieksekusi

© Sony Pictures

Di tengah keindahan gemerlap visualisasi dan CGI saat adegan fighting sedang terjadi, ‘Morbius’ sayangnya terhambat dari sisi cerita. Sisi paling vital dari sebuah film. Kelemahan itu datang dari konflik yang dibangun, sehingga menimbulkan kesan “gitu doang” ketika film berakhir.

Berbagai karakter pendukung juga sangat mengecewakan karena kehadirannya hanya seperti sebuah tempelan. Lagi-lagi memberikan kesan “ya udah” dari mereka.

Konflik yang ‘Morbius’ miliki sangat datar. Pembangunan detail-detail cerita benar-benar biasa saja, jadi konflik yang akhirnya mulai timbul tidak begitu berbobot. Cuma gitu doang. Tidak ada specialty yang mereka tawarkan karena apa yang ada di film ini sudah sangat umum terjadi di banyak film superhero. 

Serba biasa saja itu akhirnya menimbulkan formula generik yang jelas akan sulit membekas pada kesan penonton usai meninggalkan bioskop. Ini bisa saja adalah buah dari syuting yang dilakukan berulang kali, di mana restrukturisasi skrip banyak dilakukan, sehingga berimbas pada pendalaman karakter. 

Karakter seperti Martine Bancroft (Adria Arjona) tidak mampu menunjukkan potensi terbaiknya sebagai tangan kanan Morbius. Kehadirannya banyak tersia-siakan, apalagi setelah Morbius mendapatkan kekuatannya untuk pertama kali. Ia hanya muncul sekali dua kali dan penuntasan cerita karakternya benar-benar membingungkan.

Padahal, ia berkesempatan untuk menjadi penengah antara Morbius dan Milo dan tentu karakternya akan mentereng, berhubung Bancroft juga tahu betul seluk beluk Morbius saat mendalami eksperimen DNA kelelawar ini.

Kesimpulan

© Sony Pictures

‘Morbius’ memberikan angin segar untuk semesta Marvel di layar lebar. Filmnya memiliki tempo cepat dan penuh aksi. Bersamaan dengan latar musik yang menggelegar, ‘Morbius’ adalah tontonan yang tidak boleh dilewatkan.

Namun, sisi cerita yang menjadi kelemahannya akan sangat mengganggu jalannya film ini. Mereka tidak mampu meramu kisah apik Michael Morbius menjadi anti-hero yang disegani dan ditakuti akibat dari konflik yang dibangun kurang baik.

Besar kemungkinan ‘Morbius’ tidak akan menjadi film yang melekat dan berkesan bagi para penonton. Sony harus berdoa kalau film ini mendapatkan pemasukan besar yang tinggi agar kemungkinan dibuatnya sekuel bisa terjadi.

 

Director: Daniel Espinosa

Cast: Jared Leto, Matt Smith, Adria Arjona, Jared Harris, Al Madrigal, Tyrese Gibson

Duration: 104 minutes

Score: 6.6/10

WHERE TO WATCH

The Review

Morbius

6.6 Score

Ahli biokimia Michael Morbius (Jared Leto) mencoba menyembuhkan dirinya sendiri dari penyakit darah langka, namun secara tidak sengaja ia menginfeksi tubuhnya dan berubah jadi mahluk yang menyerupai vampir.

Review Breakdown

  • Acting 6
  • Cinematography 7
  • Entertain 7
  • Scoring 7
  • Story 6
Exit mobile version