“Segala sesuatu yang bisa disampaikan, sebaiknya langsung disampaikan. Waktu enggak akan pernah bersekongkol dengan kita.” – Marcio.
Di penghujung tahun 2021, tepatnya pada tanggal 17 Desember, KlikFilm merilis tiga film terbaru mereka, salah satunya adalah ‘Menunggu Bunda’.
Sempat menghiasi layar JAFF (Jogja-NETPAC Film Festival) November lalu, film yang disutradarai oleh Richard Oh, kini datang untuk menyegarkan variasi film pada platform KlikFilm. Richard Oh sendiri terkenal memiliki sentuhan artistik yang tak jarang surreal di film-film beliau sebelumnya. Begitupun pada ‘Menunggu Bunda’.
Sinopsis
Premis dari ‘Menunggu Bunda’ cukup sederhana. Tiga orang anak dan seorang bapak menunggui sang ibu yang tak kunjung sadar dari koma di rumah sakit. Di waktu yang tidak seberapa lama itu satu persatu dari mereka mulai menemukan kebenaran tentang diri masing-masing, termasuk tentang ibu mereka.
Sinematografi Memukau dengan Set Seadanya
Dari sebuah premis yang sederhana, Richard Oh, sang sutradara sekaligus penulis, mampu mengembangkannya menjadi sebuah dunia yang lebih luas.
Walau plot utama tetap berputar di tiga orang anak tadi, tapi ornamenn lain yang turut menyumbangkan sisi artistik dalam plot mampu membuatnya semarak. Selain menyajikan intrik keluarga, Oh juga menyajikan apa-apa yang mengitari seseorang di waktu-waktu menjelang ajal.
Tentu dengan gaya sureallisnya, yang membuat alis berkerut-kerut dan membutuhkan pemahaman lebih agar dapat mengilhami dengan baik pesan dalam film.
Diceritakan Yenny (Putri Ayudya) terbaring tak sadarkan diri di sebuah bangsal kelas tiga. Anak-anaknya, Alya (Steffi Zamora), Alma (Adinda Thomas), Andra (Rey Mbayang) dan Marcio (Donny Damara), sang ayah, ikut menunggui.

‘Menunggu Bunda’ dibuka dengan tone hangat nyaris sepia. Akan tetapi, alih-alih merasakan nuansa kekeluargaan dan kenyamanan, pembuka ini menghadirkan nuansa suram nan depresif. Suasana ini didukung teknik pengambilan gambar yang variatif beserta set rumah sakit yang cukup meyakinkan di awal film.
Meski didominasi suasana suram, akan tetapi perasaan tentram saat berada di tengah keluarga masih dapat terasa dalam beberapa scene. Membangkitkan perasaan kehilangan sekaligus penerimaan selama menonton.
Sayangnya set yang menjanjikan di awal film tidak bertahan lama. Dari pertengahan menuju akhir, set terkesan seadanya bahkan nyaris asal-asalan. Contohnya seperti ruangan operasi dan toko swalayan.
Banyaknya pesan yang melempem
Scene di rumah sakit seringkali diselingi dengan scene flasback yang memperlihatkan kedekatan sang bunda dengan anak-anaknya. Mulai dari berbelanja bersama, liburan ke pantai, hingga ngobrol dari hati ke hati. Scene di masa lalu dapat memperlihatkan kalau keluarga mereka baik-baik saja dan dapat berjalan dengan utuh.
Akan tetapi, ketika kembali ke masa depan saat satu persatu organ dalam Yenny rusak, kedekatan mereka goyah. Walau seiring dengan terungkapnya satu persatu kenyataan yang ada, keluarga mereka pun dapat kembali utuh.
Makna itu dapat tertangkap dengan jelas, ditambah konsep keluarga tak sedarah yang mulai bangkit di pertengahan hingga akhir. Pesan yang cukup kekinian karena jarang disorot oleh film-film Indonesia bertema keluarga sebelumya.
Begitupun pesan-pesan lain yang turut serta menyemarakan film ini. Contohnya:
Pemaknaan soal penderitaan seorang pasien yang disorot lewat kacamata dua orang dokter. Dr. Myra (Gisele Calista) dan Dr. Miyagi (Nobuyuki Suzuki).
Pesan filosofis soal kematian dan kelahiran dari seorang pria misterius berbalut perban (Paul Agusta) yang seakan-akan memiliki mata rantai yang sama dengan keluarga mereka. Hal ini begitu mematik prasangka demikian, karena saat sedang menunggu sang ibu Alya dan Alma tengah mengandung. Seakan-akan siklus kehidupan sedang terjadi dalam bangsal itu.
Hanya saja, semua pesan itu tercerai berai dan tidak begitu mampu mendukung satu sama lain. Penghaturan cerita pun mulai terlalu banyak menggunakan telling daripada showing. Termasuk ketika mengungkap kebenaran dari tiap karakter.

Masing-masing ornamen pelengkap ini tidak memiliki landasan yang cukup kuat dan asal masuk. Walau memang terkesan surealis dan artistik, akan tetapi penting rasanya untuk tetap menjaga rantai cerita menjadi satu keutuhan.
Ada perasaan tak nyaman terselip begitu tokoh-tokoh tambahan keluar masuk tanpa meninggalkan kesan yang mendalam. Termasuk ketika suami Alya datang dan bicara soal kematian terhormat. Dialog soal ibu yang dijadikan kelinci percobaan para dokter memang cukup menusuk.
Dialog itu memberikan perspektif baru soal kasih sayang seorang anak pada orang tua. Mereka rela mengorbankan segala hal untuk sang ibu. Entah itu harta, waktu, bahkan keluarga masing-masing. Hanya saja, kesan ini seakan tersisihkan dan terasa tidak pas karena dalam dialog disebutkan bahwa kematian terhormat adalah di tengah keluarga, di rumah. Sedangkan dalam film sendiri semua keluarga bahkan berkumpul untuk menunggui sang bunda.
Apa sutradara memang berencana untuk membuat banyak kecanggungan atau hal ini termasuk ke dalam unsur “artsy”?
Jika memang bertujuan untuk mengharmonisasikan masalah realis dengan penggambaran surealis, rasanya dua hal tersebut tidak menyatu di film ini. Alih-alih melahirkan terobosan anyar lewat sajian arthouse-realis, ‘Menunggu Bunda’ terasa seperti blueprint yang belum matang.
Perasaan dilempar-lempar dari satu masalah ke masalah lain lumayan menghantui saat menonton pertengahan film.
Skoring Film yang Terlalu Dramatis
Ada beberapa bagian dari ‘Menunggu Bunda’ yang benar-benar membuat terenyuh dengan audio mendayu. Ada pula beberapa bagian yang terasa terlalu dramatis karena skoring yang tidak pas dengan keadaan.
Misal ada perubahan emosi yang tidak begitu signifikan dari para aktor, tiba-tiba musik menggelegar. Kurang nikmat rasanya karena penonton seperti sedang dipaksa untuk turut prihatin atau mengerti dengan keadaan para karakter.

Walau tidak dapat dipungkiri kalau teknik ini lumayan berhasil menutupi performa beberapa pemain yang naik turun di sepanjang film. Danilla Riyadi pun ikut mengisi soundtrack dari film ini lewat lagunya yang berjudul ‘Dari Sebuah Mimpi Buruk’.
Akting Putri Ayudya dan Donny Damara Sebagai Penyelamat Film
Jam terbang memang tidak dapat berbohong. Putri Ayudya berhasil menghidupkan karakter bunda yang lembut hati dan bijaksana dengan baik. Walau tanpa dukungan tata rias yang baik, tapi performanya memerankan seorang wanita idealis dari masa muda hingga menua patut diacungi jempol.
Donny Damara yang berperan sebagai bapak memiliki pesonanya tersendiri lewat gestur seorang penderita Alzheimer yang menjanjikan. Minimnya dialog tidak membuat karakter ayah tertutupi, caranya berduka dan menggambarkan kebingungan rasanya begitu pas.

Sisanya nyaris seperti pertunjukan teater pada layar lebar. Entah karena sengaja atau meamng dialog-dialognya terasa kaku saat diucapkan. Beberapa aktor pun sempat keserimpet saat sedang bicara.
Tiga aktor muda yang berperan sebagai anak sebetulnya sudah cukup baik dalam mebawakan karakter, akan tetapi secara gestur dan kematangan berakting masih belum bersinergi dengan lawan main mereka.
Kesimpulan
Dapat dikatakan, ‘Menunggu Bunda’ merupakan penyegar untuk film-film bertajuk keluarga yang dirilis oleh KlikFilm. Cara penyampaian yang unik dan terbilang semi-surreal bisa menjadi sebuah tontonan menarik untuk merasakan pengalaman berbeda dalam menonton film.
Walau terbilang belum sempurna dalam membenturkan melodrama realis dengan penyampaian surreal, akan tetapi ‘Menunggu Bunda’ masih mampu menghaturkan pesan-pesan rumit dengan cara yang cukup puitis.
Sutradara: Richard Oh
Pemain: Putri Ayudya, Donny Damara, Adinda Thomas, Stefhani Zamora Husen, Rey Mbayang, Gisele Calista, Suzuki Nobuyuki.
Duration: 88 minutes
Score: 6.2/10
WHERE TO WATCH
The Review
Menunggu Bunda
Yenny memutuskan untuk menjadi seorang ibu bagi tiga orang anak asuh. Suatu hari ia terbaring sakit dan tak kunjung sadar dari komanya. Yenny mencoba menyimpan rapat tentang rahasia ini. Selama ia koma, perlahan-lahan tabir terbuka tentang kebenaran dan juga penemuan jati diri.