“Aku hanya berpikir jika ini sesuatu yang akhirnya bisa kita miliki. Sesuatu yang bisa membawa kita ke tempat lebih baik.” – David (Mary)
Pengalaman menonton ‘Mary’ mungkin merupakan sesuatu yang membingungkan. Bagaimana bisa aktor sekelas Gary Oldman yang berperan sangat baik di ‘Darkest Hour’, dua tahun kemudian langsung terjun sebagai kapten kapal di film horor yang untuk menyelesaikannya saja harus berkali-kali mempercepat film ke 10 detik ke depan.
Well, that’s the beauty of this industry.
‘Mary’ adalah film keluaran tahun 2019 yang disutradarai oleh Michael Goi. Rekam kerja Michael sendiri selama lima tahun sebelum menyutradarai ‘Mary’ lebih banyak ia habiskan sebagai sinematografer. Hanya ada tiga proyek yang ia sutradarai, yaitu dua film bioskop dan satu film televisi.
Mengingat dua posisi tersebut memiliki jobdesk yang sangat berbeda, membuat ‘Mary’ menjadi film tanpa nahkoda yang dibiarkan terombang-ambing ke sana ke sini (pun intended). Film ini nihil dari segi cerita, akting, scoring, bahkan sinematografinya sekalipun tidak bisa dibanggakan.
Sinopsis
David (Gary Oldman) dan Sarah (Emily Mortimer) adalah sepasang suami-istri dengan dua anak perempuan, Lindsay (Stefanie Scott) dan Mary (Chloe Perrin). Sepanjang hidupnya, David bekerja sebagai seorang kapten kapal milik orang. Keahliannya teruji. Reputasinya pun tidak main-main. Semua penumpang senang dan nyaman jika dikapteni oleh David.
Namun, David tidak ingin selamanya seperti ini. Ia tidak ingin terus-terusan bekerja untuk orang dan memiliki keinginan untuk segera memiliki kapalnya sendiri. Angan-angan tersebut pun terbayar. David membeli sebuah kapal hasil temuan penjaga pantai, dan bertekad untuk memulai “sesuatu yang baru” dari kapal itu.
David merasa percaya diri ketika kapal itu ia bawa layar pertama kalinya bersama Sarah dan anak-anak. Tidak ada sesuatu yang aneh dan mengganggu. Sampai akhirnya semua ketenangan itu buyar saat mereka mengalami mimpi yang seram saat tidur, para awak kapal bertindak aneh, dan Mary yang juga ikut bertindak di luar kebiasaan.
Mereka sadar bahwa ada sesuatu yang aneh dan menyeramkan di kapal tersebut.
Durasi singkat pembawa malapetaka
‘Mary’ tayang di bioskop dengan durasi yang relatif singkat jika dibandingkan dengan film layar lebar lainnya. Memiliki total durasi 84 menit, film produksi Tooley Entertainment ini hanya meraup pemasukan sebesar 709,528 dolar AS dari perilisan internasional.
Durasinya yang singkat ini juga mempengaruhi jalan cerita, dimana mereka seakan-akan ingin film cepat selesai sejak menit pertama baru dimulai. David yang baru saja menyelesaikan perjalanan laut, langsung diceritakan ingin memiliki kapal baru. Sempat ada perselisihan antara Sarah dengan dirinya, tiba-tiba mereka sudah rujuk kembali dan setuju untuk berlayar menggunakan kapal tersebut.
Film ini juga diceritakan menggunakan plot maju mundur. Jadi, semua perjalanan laut yang dilalui oleh David dan keluarga ini merupakan adegan flashback. Di adegan masa kini, Sarah diperlihatkan sedang di sebuah ruang interogasi bersama seorang detektif, pasca “kejadian” yang terjadi di kapal tersebut.
Plot maju mundur inilah yang lagi-lagi menjadikan film ini buruk di setiap sudutnya. Mereka sebenarnya memiliki kesempatan untuk mengulik lebih dalam alasan sebenarnya David bersikeras ingin membeli kapal ini. Tetapi, mereka lebih memilih untuk menceritakan adegan Sarah dengan sang detektif, yang sebetulnya mereka ingin beritahu bahwa ada sesatu, lho, di kapal tersebut.
Sayangnya, semua itu gagal total.
Penulis Anthony Jaswinski seperti sedang ditodong senjata saat menggarap skrip ini. Ia dituntut untuk buru-buru menyelesaikannya. Sekilas mengenai sang penulis naskah, rekam kerja Anthony di garapan-garapan sebelumnya selalu menerima penilaian rendah. Apalagi jika sedang menulis film horor/thriller. ‘Satanic’ dan ‘Vanishing on 7th Street’ merupakan dua karyanya di genre yang sama, yang mendapatkan nilai rendah dari IMDb. Harus ada wawancara mendalam dengan dirinya untuk mengetahui alasan di balik ia tetep kekeuh menggarap film horor/thriller.
Ada satu hal lagi yang sebenarnya sangat menjanggal di film ini. Mereka tidak memperlihatkan si biang kerok dari penyebab “kegaduhan” kapal dengan jelas. Lagi-lagi, durasi yang pendek menahan untuk sosok tersebut menampakkan diri. Sedikit sekali jumpscare di film ini. Padahal seharusnya itu bisa membuat pengalaman menonton lebih menakutkan. Semua unsur menegangkan pun luntur hilang terbawa arus.
Permasalahan lain yang mungkin tidak boleh luput dari perhatian adalah dialog antar karakter. Banyak sekali kalimat-kalimat yang terucap dari mulut para peran yang aneh sekali untuk didengar. Saking anehnya, tidak bisa ditolerir lagi.
Sinematografi dan skoring yang bikin geleng-geleng kepala
Cukup disayangkan ketika mengetahui sutradara Michael Goi adalah seorang sinematografer di banyak serial televisi. Di film ‘Mary’, tidak sekalipun terlihat sinematografi yang memanjakan mata. Pemandangan perairan Florida yang semestinya bisa tertangkap kamera dengan bagus, abstain dalam film ini.
Beberapa kali Sarah berada di sebuah adegan yang menyudutkan dirinya dengan sang pembuat kegaduhan. Berkali-kali pula Sarah nyaris dipertemukan dengan sumber dari segala keanehan di kapal tersebut. Namun, pengambilan gambar tidak mampu menangkap wajah ketakutan Sarah secara maksimal.
Scoring di film ini jujur ingin membuat saya sedikit tertawa. Semuanya ditempatkan di posisi yang kurang tepat. Pada saat David sedang berjalan melihat-lihat kapal, alunan musik masih biasa saja, hanya ada suara kerumunan. Saat David akhirnya menghampiri kapal yang ia dambakan, musik tiba-tiba berubah menjadi mistis, namun masih samar-samar.
Tidak sampai selesai alunan tersebut bergema, tiba-tiba langsung berubah lagi ke musik emosional. Penonton tidak diberi waktu untuk bisa merasakan dan menyerap suasana mistis tersebut. David juga bercerita bahwa ia seakan memiliki keterikatan dengan kapal tersebut. Hebat sekali, ya, David. Kapal yang lebih mirip sebuah rongsokan itu bisa mengingatkan dirinya kepada sesuatu yang emosional.
Akting yang mencengangkan
Saya rasa Gary Oldman cukup malu saat adu peran dengan aktor dan aktris di film. Mungkin Emily Mortimer bisa menjadi pengecualian, tapi sisanya benar-benar seperti tidak niat akting.
Ada sebuah adegan dimana Mary memukulkan gelas kaca ke Lindsay. Gelas pun pecah terbagi menjadi beberapa bagian, dan reaksi Lindsay di situ hanya memegang mukanya kesakitan tanpa teriakan histeris seperti layaknya orang dipukulkan benda pecah belah ke kepalanya. Mungkin Lindsay, seorang ABG labil yang masih dilarang membuat tato oleh orang tuanya, sudah ahli menerima pukulan seperti itu.
Ada lagi saat Tommy (Owen Teague) yang sedang bermesraan dengan Lindsay. Adegan tersebut malah mengingatkan saya pada film-film chick flick. Rasanya kurang cocok jika memasukkan adegan seperti itu ke film yang tujuannya membuat tegang penonotnnya.
Tommy ini juga perannya antah berantah. Penonton tidak diberi background story secuil pun mengenai dia. Tidak tahu apakah dia kekasih Lindsay atau hanya awak kapal kepercayaan David. Yang jelas, ada satu adegan dimana ia ketakutan terhadap suatu hal, Tommy tidak menunjukkannya dengan baik.
Mungkin saja keburukan itu semua akibat dari arahan yang diberikan sang sutradara tidak tereksekusi dengan baik. Entah dari penyampaiannya yang kurang jelas atau apapun alasan lainnya. Aktor sekaliber Gary Oldman pun juga tidak lebih tidak kurang dalam mengamalkan perannya sebagai David.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, ‘Mary’ adalah sebuah proyek berantakan yang seharusnya dibiarkan mengendap di flashdisk milik sang sutradara. Tidak ada adegan yang enak untuk ditonton. Cerita dirancang dengan gegabah, menimbulkan kesan terburu-buru. Semuanya terjadi dengan tiba-tiba. Tidak ada buildup yang baik untuk mencapai klimaksnya.
Director: Michael Goi
Casts: Gary Oldman, Emily Mortimer, Manuel Garcia-Rulfo, Stefanie Scott, Chloe Perrin, Owen Teague, Jennifer Esposito
Duration: 84 minutes
Score: 3.4/10
WHERE TO WATCH
The Review
Mary
Sebuah keluarga yang ingin memulai bisnis kapal sewaan membeli sebuah kapal yang menyimpan rahasia mengerikan.