“Mereka pikir mereka benar, hanya karena jumlah mereka yang lebih banyak. Ya, mereka para orang-orang normal,” – Diego (Marilyn’s Eyes).
Hai Cilers! Siapa yang menyukai film bertemakan kesehatan mental atau yang isinya kehidupan dari orang-orang dengan gangguan jiwa? Atau pernah penasaran tidak dengan kisah bagaimana mereka bertahan hidup hingga menjalani terapi demi keinginan kuat untuk kembali pulih?
Secara garis besar, semua pertanyaan tersebut bisa ditemukan jawabannya dalam film Netflix terbaru, berjudul ‘Marilyn’s Eyes’ atau dikenal dengan judul aslinya ‘Marilyn Ha Gli Occhi Neri’. Film ini sudah bisa disaksikan sejak 15 Maret lalu.
Film drama romansa asal Italia yang disutradarai oleh Simone Godano, memberikan kisah menarik dari sebuah pusat rehabilitasi untuk orang-orang yang mengalami gangguan mental atau kesulitan untuk mengontrol emosi yang ada dalam diri mereka.
Sinopsis
Film ini mengisahkan tentang kehidupan orang-orang di sebuah pusat rehabilitasi mental, yang dipersatukan oleh makanan.
Kisahnya mengikuti dua orang bernama Clara (Miriam Leone) dan Diego (Stefano Accorsi) yang memiliki ide untuk membuat restoran dengan pembeli yang asli, bukan sekadar simulasi agar mereka dapat berkomunikasi dengan orang luar saja.
Namun, rencana tersebut tidak berjalan dengan lancar. Banyak hambatan yang mereka lalui, baik dari segi komunikasi antar sesama yang memburuk, karakter masing-masing yang memiliki gangguan mental berbeda, hingga kebiasaan lama yang justru berujung pada masalah baru.
Selain itu, mereka semua juga harus tetap menjalani masa rehabilitasi yang ditetapkan oleh persidangan, karena mereka ada di pusat tersebut setelah melakukan berbagai kesalahan karena gangguan mental yang diderita. Baik dari pengrusakan fasilitas umum, menghancurkan tempat kerja, hingga rumah yang dibakar secara sengaja.
Bagaimana kelanjutan dari kisah mereka yang menginginkan kesembuhan serta dapat diterima dengan baik di lingkungan mereka? Akankah usaha restoran tersebut bisa berjalan lancar karena pekerjanya memiliki masalah mental yang berbeda-beda?
Perjuangan untuk kembali pulih
Penonton akan diperkenalkan dengan sosok koki bernama Diego, yang digambarkan memiliki gangguan obsesif-kompulsif yang parah dan tidak bisa mengatur emosi yang ada dalam dirinya, sehingga membuatnya sering terjebak dalam amarah yang menggebu.
Ketika dirinya mulai masuk pusat rehabilitasi demi memulihkan gangguan yang dialaminya, agar sang putri tidak ketakutan lagi, ia dipertemukan dengan seorang perempuan bernama Clara yang memiliki karakter penuh percaya diri dan cerdas. Namun, memiliki masalah tersendiri tentang sebuah kepercayaan.
Mereka berdua bersama dengan para pasien lainnya, diberikan tugas oleh penanggung jawab di pusat rehabilitasi untuk membentuk sebuah restoran yang menyajikan hidangan tetap setiap harinya.
Alasan utamanya agar mereka bisa kembali pulih secara perlahan dengan mulai berkomunikasi bersama orang luar.
Pada hari pertama, kelompok tersebut mulai merasa sulit untuk saling bekerja sama. Karakter yang berbeda dengan gangguan yang beragam, menjadi masalah utama yang sulit diselesaikan. Diego selaku koki utama selalu bertindak penuh emosi jika ada bahan yang tidak sesuai dengan kemauannya.
Meskipun kisah dalam film ini hanya berfokus pada kepribadian Clara dan Diego, namun penonton akan dikenalkan dengan beberapa orang yang terlibat yang memiliki gangguan berbeda.
Ada yang mengidap sindrom tourette (Suatu gangguan sistem saraf yang menyebabkan gerakan berulang atau suara yang tidak diinginkan).
Kemudian ada gangguan yang disebabkan trauma mendalam akibat sebuah misi militer, yang menyebabkan orang itu tanpa sadar berada dalam imajinasi ciptaannya yang memberikan gambaran jika semua orang adalah penjahat yang harus dimata-matai.
Semua permasalahan tersebut dirangkum dan diberikan penyelesaian yang sama, yakni saling membantu satu sama lain untuk menjalankan sebuah restoran. Dengan begitu, mereka juga turut berjuang demi kepulihan yang diinginkan.
Kisah menarik, didukung scoring yang tepat
Film ini dibuka dengan adegan seorang koki yang sedang menghancurkan segala isi dan perabotan di sebuah ruang makan besar. Ditampilkan dengan gaya slow-motion serta alunan musik seriosa yang mengiringi adegan tersebut, sukses menampilkan pembukaan yang penuh emosional.
Ide cerita yang ditampilkan dalam film ini sangat menarik. Penonton akan melihat dengan sudut pandang lain mengenai orang-orang yang mengalami gangguan mental.
Bagaimana perjuangan mereka untuk kembali normal, serta kesulitan saat mengontrol diri ketika kambuh juga diperlihatkan dengan jelas.
Film ini berhasil menekankan bahwa meskipun masyarakat lebih suka menjauhkan orang-orang yang mengalami gangguan mental, namun pada kenyataannya tujuan mereka untuk sembuh adalah keluaga.
Mereka juga memiliki banyak cinta untuk dibagikan kepada orang-orang yang mereka sayangi.
Namun, jika kamu mencari penjabaran dan penjelasan dari permasalahan setiap karakter maka tidak akan pernah bisa ditemukan. Sebab film ini tidak begitu memberikan detail yang dalam.
Sebaliknya, sang sutradara hanya fokus pada satu alur saja yakni perilaku penderita gangguan yang ingin pulih dengan mendirikan sebuah restoran.
Scoring yang digunakan mulai dari pembuka hingga penutup, semuanya terasa tepat dan sesuai dengan kisah yang ditampilkan.
Irama yang penuh penjiwaan dengan menekankan melodi-melodi menyentuh seperti alunan piano, biola hingga petikan gitar yang terdengar menawan serta berhasil mengimbangi emosi yang sedang diberikan oleh para pemain.
Pendalaman karakter yang memukau
Akting yang diberikan Stefano Accorsi dalam memerankan sosok Diego, patut diacungi jempol dan diberi tepuk tangan yang banyak. Ia berhasil menampilkan karakter Diego yang memiliki gangguan obsesif-kompulsif dan tidak bisa mengatur emosi yang ada dalam dirinya.
Baik dari segi penggunaan kalimat, gestur tubuh, hingga lirikan-lirikan yang diberikan benar-benar menggambarkan bagaimana orang yang memiliki gangguan tersebut merasa kambuh dan lepas kontrol.
Selain itu, Miriam Leone juga mampu memerankan karakter Clara dengan cukup baik. Clara merupakan karakter yang memiliki gangguan Mitomania (keadaan seseorang yang sering bohong dalam jangka waktu yang lama dan terus dilakukan untuk mendapatkan keuntungan pada setiap kebohongan yang disampaikan).
Pada awal film hingga menuju pertengahan, penonton akan bingung dengan sosok Clara yang terlihat baik-baik saja, namun harus berada dalam pusat rehabilitasi. Dari gaya bicara, pemikiran hingga perilaku yang ditampilkan menunjukan dirinya tidak mengalami gangguan apapun.
Namun, memang benar jika seseorang yang terlihat baik-baik saja belum tentu benar adanya. Clara hidup dalam fantasi dan imajinasi yang diciptakannya sendiri untuk mendapat kesenangan. Dalam dunia kebohongannya, dia sering dipuji karena kemiripannya dengan Marilyn Monroe.
Kesimpulan
‘Marilyn’s Eyes’ menampilkan sudut pandang cerita yang menarik dengan penyajiannya yang ringan namun memberikan pesan mendalam. Kisah yang ditampilkan pun masih terasa dekat dengan penonton, meski tidak begitu banyak.
Pemilihan konflik yang tak begitu berat, namun juga tidak terasa ringan, berhasil menguatkan setiap permasalahan yang ada akibat gangguan mental yang diderita para karakter dalam film ini. Dukungan skoring yang tepat serta pengambilan sudut yang sesuai, menambah nilai plus tersendiri.
Jika kamu ingin melihat kesulitan apa yang mereka hadapi hanya untuk berkomunikasi dengan orang disekitar mereka, maka wajib menyaksikan film ini.
Meski judul utamanya ada kata Marilyn, sosok bintang terkenal pada masanya, namun film ini sama sekali tidak bercerita tentang kisah hidupnya.
Director: Simone Godano
Cast: Miriam Leone, Stefano Accorsi, Thomas Trabacchi, Valentina Oteri
Duration: 114 minutes
Score: 7.4/10
WHERE TO WATCH
The Review
Marilyn's Eyes
Film ini mengisahkan tentang kehidupan orang-orang di sebuah rumah sakit jiwa yang dipersatukan oleh makanan. Kisahnya mengikuti dua orang dengan kepribadian berbeda yang memiliki ide membuat restoran saat masih berada di rumah sakit jiwa. Keinginan mereka untuk mewujudkan ide gila tersebut pun menemui berbagai hambatan. Namun, berhasilkah mereka mewujudkan semua itu?