“Hal yang paling menarik dari sebuah jantung, jantung manusia itu bisa berdetak walau sudah dikeluarkan dari tubuh.” – dr. Jati.
Setelah film ‘Tarian Lengger Maut’ dirilis di seluruh bioskop Indonesia pada 13 Mei 2021 sekaligus memeriahkan Hari Raya Idul Fitri, kini, versi director’s cut dalam judul ‘Detak’ telah dapat dinikmati di layanan Bioskop Online.
Selain perubahan judul, perbedaan mencolok di antara keduanya ada pada durasi yang bertambah sekitar 30 menit. Dengan penambahan beberapa adegan pilihan dari sang sutradara, Yongki Ongestu, tentu saja ‘Detak’ diharapkan mampu menuntaskan rasa ketidakpuasan penonton yang sebagian besar merasa bahwa versi sebelumnya berdurasi 70 menit itu begitu terasa singkat untuk ukuran sebuah film layar lebar.

‘Detak’ mengisahkan kemunculan seorang dokter bernama Jati (Refal Hady) di Desa Pager Alas yang menyebabkan hilangnya beberapa warga setempat secara misterius. Ternyata, dokter tersebut memiliki obsesi terhadap detak jantung manusia sampai nekat melakukan pembedahan pada beberapa pasiennya, lalu mengoleksi jantung-jantung mereka.
Kemunculan sang dokter juga bertepatan dengan segera dinobatkannya kembang desa bernama Sukma (Della Dartyan) sebagai penari Lengger. Dalam beberapa pertunjukan tariannya, dr. Jati yang ikut menghadiri acara itu merasakan jantung miliknya berdetak lebih kencang. Dari sanalah, misteri tentang menghilangnya warga desa dan teka-teki hubungan dr. Jati dengan Sukma menjadi jalan-jalan konflik yang dilalui oleh film untuk tiba di penyelesaian.
Membahas sisi menarik ‘Detak’, diangkatnya salah satu kebudayaan asal Banyumas, yakni tarian Lengger menjadi daya tarik tersendiri yang membuat film ini semakin mengundang rasa penasaran calon penontonnya. Terlebih, mengingat tarian Lengger sulit dilepaskan dari mitos tentang indang atau roh yang merasuki para penarinya.

Ketika roh itu berhasil masuk ke dalam tubuh, para penari dapat tampil lebih energik, meyorot perhatian, dan melakukan aksi-aksi yang belum tentu mampu dilakukan bila tidak sedang menari, bahkan dilakukan oleh manusia biasa. Selain itu, keberadaan penari Lengger di sebuah desa dianggap pula sebagai simbol dari kesuburan dan suatu bentuk perlindungan.
Pengeksekusian budaya yang diangkat dan dibalutkan ke dalam film ini hadir dengan sangat meyakinkan. ‘Detak’ menyoroti tarian Lengger dan memperdengarkan lagu pengiringnya dalam permainan alat musik gamelan beserta tembang-tembang di tengah-tengah gambaran kebudayaan Banyumas yang juga kental.
Karakterisasi beberapa pemain pendukung yang masih memercayai “mitos” hingga dialog dalam dialek Banyumasan atau Bahasa Ngapak menyempurnakan latar di dalam film ini, apalagi proses syuting memang dilakukan di bawah kaki Gunung Slamet.
Meskipun begitu, sisi lemah film justru muncul karena elemen latar budaya yang satu itu nyatanya tampil tanpa benar-benar terhubung ke dalam jalan cerita secara keseluruhan. Peran sosok penari Lengger yang dipercaya oleh masyarakat setempat dalam melindungi desanya tidak dieksekusi secara lebih mendetail.

Sosok Sukma kurang diberikan panggung untuk memperlihatkan perannya sebagai penari Lengger yang menjadi simbol perlindungan, seperti yang dipercaya oleh masyarakat setempat berdasarkan mitologi dan kebudayaan Jawa. Dengan kata lain, elemen budaya itu hanya berperan sebagai elemen “dekoratif”.
Tidak sampai di sana, genre thriller yang diusung oleh film ini sangat disayangkan memicu sisi lemah berikutnya. Alih-alih merasa diberi ruang untuk menebak-nebak pembunuh sebenarnya atau menantikan plot twist yang mengakhiri film, penonton dipertontonkan siapa pembunuhnya sejak awal film dibuka. Lalu, cara pembunuhan pun terbatas berfokus menyorot ekspresi para pemainnya, entah itu mereka yang berperan sebagai korban ataupun pelaku.
Beruntungnya, pemanfaatan elemen skoring yang terdengar natural dan tepat di setiap detail pergerakan adegan pembedahan untuk mengambil jantung manusia mampu membangun suasana menegangkan yang tersampaikan baik kepada penonton hingga dapat pula memicu rasa kengerian dan tidak nyaman.
Keunggulan satu ini patut diapresiasi karena tanpa memperlihatkan banyak darah ataupun sayatan pisau di atas tubuh para korban, film ‘Detak’ mampu menghadirkan suasana yang mengerikan. Akan tetapi, suasana seperti itu hanya bertahan pada satu sampai dua adegan awal, selebihnya, metode yang digunakan oleh dr. Jati dalam mencari korban, lalu membedah tubuh mereka, tertonton monoton sehingga intensitas kengerian pun semakin berkurang.

Dari kelemahan-kelemahan itu, dapat dikatakan bahwa permasalahan utama yang dihadapi oleh film ‘Detak’ ada pada naskah yang masih terlalu mentah dengan sinopsis yang seolah-olah dilebih-lebihkan untuk memunculkan gambaran keterkaitan di antara pembunuh berdarah dingin dengan tarian Lengger. Padahal dalam pengeksekusiannya, beberapa pertanyaan bermunculan sehingga membuat film ini terjerumus ke dalam plot hole.
Ketiadaan usaha mencari warga desa yang hilang secara misterius menjadi bagian yang paling memperlihatkan secara jelas bahwa film ini tengah memaksakan diri memunculkan kengerian dengan melindungi sang pembunuh berdarah dingin agar dapat terus melancarkan aksi pengambilan organ jantung para korbannya di dalam layar.
Belum lagi, karakter dr. Jati tidak tereksplorasi secara maksimal sehingga potensinya dalam menyempurnakan narasi menjadi lemah. Penonton tidak diberikan kesempatan untuk mengetahui muara obsesinya terhadap detak jantung karena minim dan ganjalnya penggambaran terhadap latar belakang trauma yang dialaminya.
Namun setidaknya, versi director’s cut yang mengusung judul ‘Detak’ terasa lebih berterima daripada judul sebelumnya, yaitu ‘Tarian Lengger Maut’. Alasan utamanya tentu saja karena tarian dan penari Lengger di dalam film ini tidak mendapatkan ruang untuk berurusan dengan “maut” yang menjadi konflik utama.

Penyelamat film ‘Detak’ sehingga masih bisa dinikmati adalah permainan teknis yang memukau. Selain skoring, elemen sinematografi patut pula diapresiasi setinggi-tingginya. Ketiga detail bidikan kamera, mulai dari close shot, mid shot, hingga close up shot tampil secara akurat dalam memperlihatkan latar, situasi, hingga mimik wajah para pemeran di sepanjang durasinya.
Ditambah pula adanya sorotan terhadap gerak-gerik simbolis kejiwaan tokoh dr. Jati, meskipun harus diakui, trik itu belum cukup untuk menyelamatkan narasi yang lemah. Yang tidak kalah mengagumkan, teknik pencahayaan dan color grading atau manipulasi warna dalam ‘Detak’ berhasil mengarahkan emosi para penonton untuk masuk ke dalam alur, suasana, hingga karakterisasi para tokoh.
Ada kalanya layar menjadi serba suram dengan dominasi warna kebiruan dan kehijauan, lalu pada saat konflik bergerak pada klimaks, layar berubah memerah seolah mengendalikan emosi penonton untuk ikut terhanyut ke dalam suasana yang menyala dengan gairah, amarah, hingga kekuatan.
Permainan peran kedua pemeran utamanya pun patut diapresiasi. Refal Hady benar-benar menjiwai karakternya sebagai dr. Jati, si pembunuh berdarah dingin yang tampak sempurna di mata para warga desa. Sorot mata, cara berbicara, bahkan ekspresi yang dipenuhi oleh kegelisahan dan obsesi hadir secara mengesankan setiap kali wajahnya menghiasi layar.

Begitu pula dengan Della Dartyan sebagai Sukma sang penari Lengger Desa Pager Alas, gerakan gemulainya tampak sangat meyakinkan sebagai seorang penari. Sukma yang digambarkan pemalu pun bisa terlihat seperti orang lain saat menari sebagaimana masyarakat Banyumas memercayai bahwa penari Lengger memiliki indang saat menari. Para pemain pendukung ikut pula tampil secara solid dan menyempurnakan kualitas akting yang mengesankan.
Dari seluruh pertimbangan di atas, dapat dikatakan bahwa film ‘Detak’ memang unggul dari sisi visualisasi, baik itu cara membidik detail adegan-adegan, pemanfaatan psychology color, hingga permainan peran para aktor dan aktris di dalamnya. Kehadiran tambahan durasi sekitar 30 menit itu semakin memanjakan mata dan menghipnotis penonton untuk terbawa ke dalam cerita.
Meskipun begitu, tampilan luar yang mengesankan nyatanya belum mampu menyempurnakan bagian-bagian rumpang dari narasi yang terasa ketika menyaksikan film pertamanya. Film ‘Detak’ hanya tampil secara lebih tertata dari segi tampilan, namun tidak menjawab relasi di antara pembunuhan berantai dan tarian Lengger.
Director: Yongki Ongestu
Cast: Refal Hady, Della Dartyan, Alyssa Abidin, Bintang Satria, Hendra Prasetyo, Hetty Reksoprodjo
Duration: 103 minutes
Score: 6.6/10
WHERE TO WATCH
The Review
Detak
Detak mengisahkan seorang dokter bernama Jati yang terobsesi dengan detak jantung manusia. Suatu hari, ia berpindah ke Desa Pager Alas dan memicu hilangnya beberapa warga secara misterius. Di sisi lain, seorang kembang desa bernama Sukma bersiap dinobatkan sebagai penari Lengger. Pertemuan di antara keduanya membuat dr. Jati merasakan jantungnya berdetak lebih kencang.