Review Film Dear Nathan: Thank You Salma (2022)

Trilogi dari Dear Nathan yang ditutup dengan sempurna dan penuh kepekaan.

“Prestasi segudang gak menjamin moral seseorang.” – Rebecca (Dear Nathan: Thank You Salma).

 

Trilogi Dear Nathan hasil adaptasi novel karya Erisca Febriani akhirnya menutup lembarannya dengan sempurna dan mengharukan. Film ‘Dear Nathan: Thank You Salma’ menjadi akhir dari kisah cinta Nathan dan Salma yang berkali-kali diterjang badai putus nyambung.

Di film ketiga ini, mereka mencoba untuk (sekali lagi) berhadapan dengan terpaan ombak yang siap menghanyutkan hubungan mereka.

Sama seperti di ‘Dear Nathan Hello Salma’, film ini juga menghadirkan beberapa muka baru untuk menemani perjalanan cinta dua muda-mudi ini.

Ada Ardhito Pramono, Indah Permatasari, dan satu aktor yang baru menjalani debutnya, Sani Fahreza. Selain mereka, masih ada muka-muka lama yang menghiasi, seperti ibunya Salma, ayahnya Nathan, dan juga para sahabat mereka.

Pada kursi sutradara, Indra Gunawan tidak lagi menemani para pemain dan kru film garapan Rapi Films dan Screenplay Films tersebut. Sutradara serial ‘Jingga dan Senja’, Kuntz Agus, dipilih menjadi penggantinya.

Untuk menonton film ini, menonton ulang dua film sebelum ‘Dear Nathan: Thank You Salma’ merupakan sesuatu yang hukumnya wajib dilakukan.

Dengan memperbaharui kembali ingatan dari kejadian-kejadian yang sudah terjadi, film ketiga ini akan menjadi lebih emosional dan rasa keterikatan yang pernah ada pun bisa muncul kembali.

Sinopsis

Nathan (Jefri Nichol) dan Salma (Amanda Rawles) telah selesai menjalani masa SMAnya. Sekarang, mereka dihadapi tantangan baru, yaitu melanjutkan jenjang pendidikannya ke perguruan tinggi. 

Hubungan yang mereka jalani harus sedikit diuji oleh perbedaan yang mereka miliki. Nathan adalah seorang anggota himpunan dan aktivis yang menganggap kalau untuk berdemonstrasi harus turun ke jalan.

Sedangkan, Salma mengatakan kalau menjadi aktivis tidak perlu harus langsung ke lapangan. Melalui sosmed dan usaha lain juga sudah cukup.

Salma yang selalu dirundung kekhawatiran tiap kali Nathan berulah, memutuskan untuk break dari hubungan. Nathan tak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti apa keinginan Salma. 

© Rapi Films

Selama masa jeda tersebut, Nathan disibuki oleh kasus yang didapat oleh Rebecca (Susan Sameh) di Love Yourself. Ada salah satu teman perempuannya di teknik mesin yang dilecehkan oleh….. Sesama anak teknik mesin! Nathan bingung harus apa karena ia belum pernah dipertemukan dengan hal seperti ini.

Saat-saat renggang seperti ini membuat Salma lebih sibuk di organisasi barunya di kampus. Ternyata, ketua dari organisasi itu, Afkar (Ardhito Pramono), memiliki rasa untuk Salma. Perempuan itu dibuat bingung karena ia masih menyimpan rasa untuk Nathan. 

Nathan yang tidak bisa hadir terlalu sering untuk Salma karena sedang sibuk bersama Rebecca, harus rela melihat Afkar yang semakin dekat dengan Salma.

Isu kekerasan seksual menjadi nyawa cerita

© Rapi Films

Ketika saya hendak menonton film ini, saya sengaja untuk tidak mencari tahu sinopsisnya. Bekal saya hanyalah dua film sebelumnya yang saya tonton ulang.

Alangkah indahnya keputusan itu, karena saya jadi dibuat menganga oleh isu yang mereka angkat, kekerasan seksual di lingkungan kampus, yang ternyata dieksekusi dengan sempurna. 

Di tengah tinggi-tingginya awareness mengenai kekerasan seksual yang sedang banyak terjadi di kampus-kampus Indonesia, mengangkat isu tersebut menjadi sebuah film adalah langkah yang tepat.

Masyarakat menjadi lebih paham mengenai hal-hal yang harus dilakukan jika dihadapi dengan kasus kekerasan seksual di sekitar mereka.

Nathan dan Rebecca menunjukkan betapa pentingnya orang-orang yang hadir di sekitar korban. Zhana (Indah Permatasari) yang sangat trauma akan kekerasan yang menimpanya, selalu ditemani oleh Rebecca kemanapun ia berkegiatan. 

Dukungan sekecil apapun itu sangat dibutuhkan agar para penyintas bisa terus bertahan. Nathan sebagai orang yang awam, juga perlu hati-hati akan tindakannya. Salah sedikit, bisa-bisa korban yang akhirnya kena lagi.

Kemudian, film ini juga mengajarkan kalau speak up itu tidak mudah. Tidak semua korban kekerasan seksual, terutama perempuan, bisa melakukan itu. Salma yang di situ sempat jadi korban, untungnya masih bisa membela diri.

Namun, ia sadar bahwa yang ia lakukan itu tidak bisa dilakukan juga oleh semua perempuan. Nathan yang awalnya buta akan hal itu, akhirnya perlahan mulai belajar bahwa dunia ini memang didesain untuk tidak adil terhadap kaum hawa. Ia perlu lebih peka dengan berdiri bersama korban. 

Selain langkah-langkah di atas, salah satu kecacatan dari kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus adalah para petinggi universitas yang cenderung membela pelaku. Pelaku pelecehan Zhana, memiliki seorang ayah yang juga kepala prodi di kampus tersebut. Mereka semua menganggap kalau yang dikatakan oleh Zhana adalah fitnah.

Zhana dipojokkan oleh pihak kampus dan dihadapkan dengan berbagai keputusan yang mengekangnya. Ia juga tidak diperkenankan didampingi oleh siapa-siapa di pertemuan bersama petinggi kampus.

Hal tersebut bukan “cerita lama” di kehidupan asli. Korban diminta untuk bungkam dan berdamai dengan pelaku. Diminta untuk kembali satu ruangan bersama sang pelaku.

Pihak kampus hanya diam saja dan memilih untuk tidak berkomentar guna menjaga “nama baik kampus”. Korban mendapatkan NOL keadilan. 

Di sisi lain, instrumen hukum yang berlaku juga perlu digodok. Zhana dan orang-orang di sekitarnya sadar bahwa sejak pertama mereka melawan balik, mereka sudah kalah di mata hukum.

Hal inilah yang membuat pentingnya RUU TPKS (Rancangan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) untuk segera disahkan. 

Adanya Permendikbud nomor 30 tahun 2021 pun sudah sangat membantu, namun perlu lebih kuat lagi dari itu. Tinggal sekarang RUU TPKS harus segera kita kawal agar segera diselesaikan secepatnya, guna mencegah Zhana yang lain.

Satu hal yang mungkin tak bisa dipungkiri adalah struktur film yang masih sama saja seperti film-film sebelumnya. Alurnya sama persis, tidak menawarkan sesuatu yang berbeda. Menjadikan isu ini sebagai nyawa cerita tentu sangat, sangat, membantu alur film yang cenderung monoton dari tahun ke tahun.

Dukungan teknis yang bikin berbunga-bunga

© Rapi Films

Bukan Dear Nathan namanya jika tidak mengandalkan adegan yang bikin penontonnya berbunga-bunga. Pergerakan kamera yang menangkap romansa Nathan dan Salma ini tidak jauh berbeda dengan dua film sebelumnya. Selain dari adegan close up yang memperlihatkan raut wajah tiap karakter, tangkapan kamera juga sering memperlihatkan mesranya mereka dari jarak jauh.

Kekhasan tersebut mungkin juga kita jumpai di film lainnya yang serupa, namun pada ‘Dear Nathan: Thank You Salma’, berkat chemistry yang sudah terbangun sejak lama, sudut manapun pasti akan membuat penonton kesengsem terpesona melihat mereka berdua.

Pengambilan gambar saat adegan yang menyinggung kekerasan seksual juga saya akui, sangat, sangat, sempurna. Penonton di dalam bioskop saat itu ikut gerah dan geram melihat perlakuan semena-mena kampus saat menanggapi kasus yang menimpa salah satu mahasiswinya. Saya juga tak tahan ingin menghampiri mereka dan menamparnya satu-satu. 

Tak hanya di sinematografi, scoring dari film ini juga mampu memaksimalkan pengalaman menonton dengan baik. Penempatan lagu-lagunya menambah sensasi haru, kesal, sedih, senang, bahkan lucu sekalipun. 

Selain berperan sebagai Afkar, Ardhito Pramono juga turut menjadi penyanyi dari OST ‘Dear Nathan: Thank You Salma’ dengan lagu yang berjudul Teman Perjalanan.

Liriknya menggambarkan situasi yang sebenar-benarnya mengenai apa yang Nathan dan Salma sedang hadapi. Bagaimana sebuah hubungan membutuhkan jeda sejenak, diceritakan dengan lugas di lagu ini. Mungkin Teman Perjalanan bisa menjadi sama hits-nya dengan I Just Couldn’t Save You Tonight.

Akting jempolan untuk para karakter baru

© Rapi Films

Tidak perlu diragukan lagi, Jefri Nichol dan Amanda Rawles sudah memiliki chemistry yang lekat sebagai Nathan dan Salma. Meski terpaut beberapa tahun tidak bertemu di proyek yang sama, mereka masih bisa mempertahankan kemesraan yang sudah terbangun di ‘Dear Nathan’ dan ‘Dear Nathan Hello Salma’ 

Nathan dan Salma di film ini juga tampak lebih dewasa. Salma yang tidak lagi mengikat rambutnya dengan ikatan khasnya, terlihat lebih mature. Nathan yang juga tidak lagi mengendarai motor sport, tampil lebih “mahasiswa” dengan motor model cafe racer dan rambut gondrong menghiasi kepalanya.

Satu sorotan yang perlu diberikan adalah untuk karakter-karakter baru di film ini. Indah Permatasari sebagai Zhana berhasil memperlihatkan akting kelas kakap sebagai seorang yang tertimpa musibah.

Raut ketakutan di wajahnya tergambarkan dengan baik di tiap adegan, apalagi saat ia disudutkan oleh para petinggi kampus.

Adegan Zhana sepanjang film banyak menunjukkan muka yang muram, sedih, dan tidak berdaya. Semua itu ia tampilkan dengan baik, membuat penonton juga hanyut di dalam kesedihan dan rasa iba. Tidak mungkin tidak ikut merasa empati melihat Zhana diperlakukan tidak adil.

Ardhito sendiri sebagai Afkar tidak begitu menawarkan karakter yang berbeda bila dibandingkan dengan peran-peran Ardhito di film terdahulunya. Walau begitu, itulah yang menjadi ciri khas seorang Ardhito Pramono jika berperan di sebuah film.

Peran tipikal seperti itu sudah melekat pada dirinya, sehingga ia tak perlu lagi mencari banyak cara untuk menjiwai karakter Afkar.

Dear Nathan tetaplah Dear Nathan

 

Meski isu yang diangkat sangatlah kuat, bukan Dear Nathan namanya jika tidak menampilkan adegan-adegan khas film romansa remaja. Adegan yang dimaksud tentunya seperti yang menye-menye dan mungkin suka tidak masuk akal. Dialog-dialog khas film ABG pada umumnya juga tak terhindarkan untuk hadir di ‘Dear Nathan: Thank You Salma’.

Adegan berantem yang harus saya akui sedikit membuat saya tergelitik, hadir kembali di film ini. Seperti ada SOP khusus Jefri Nichol di trilogi ini kalau ia harus ada adegan berantem. Seberubah-berubahnya Nathan, tetap saja baku hantam menjadi jalan ninjanya.

Salah satu produsernya mengatakan kalau memang mereka tak mau lepas dari image tersebut. Untungnya, porsi yang diberikan tidak begitu banyak dan penguatan cerita lebih mengandalkan isu mengenai kekerasan seksual. 

Kesimpulan

‘Dear Nathan: Thank You Salma’ berhasil menutup trilogi ini dengan baik. Dari film pertama, kedua, dan ketiga, semuanya memiliki ciri khasnya masing-masing. Walaupun ada kemiripan struktur film (act 1, act 2, act 2), isu yang menjadi perhatian di film ini tetap memberikan sentuhan yang menyegarkan, juga meningkatkan kepekaan para penonton. 

Oh, iya. Trigger warning untuk bunuh diri, kekerasan seksual, dan depresi sepertinya perlu ditambahkan di awal film ini agar penonton bisa berhati-hati.

 

Director: Kuntz Agus

Cast: Amanda Rawles, Jefri Nichol, Ardhito Pramono, Indah Permatasari, Susan Sameh

Duration: 112 minutes

Score: 7.6/10

WHERE TO WATCH

The Review

Dear Nathan: Thank You Salma

7.6 Score

Zanna adalah teman sekelas Nathan di kampus yang menjadi korban pelecehan seksual. Zanna takut untuk melaporkan kejadian tersebut dan memilih bungkam. Ia pun meminta tolong Rebecca dan Nathan menyelesaikan masalah ini agar Zanna melupakan traumanya. Di sisi lain, hubungan Nathan dan Salma tidak ada kejelasan. Salma dibuat bingung dengan dirinya, ditambah kedatangan Afkar, kakak tingkat Salma di kampus, ke dalam hidupnya

Review Breakdown

  • Acting 7
  • Cinematography 7
  • Entertain 8
  • Scoring 7
  • Story 9
Exit mobile version