Review Film Copshop (2021)

Kucing-kucingan Seorang Penipu dengan Pembunuh Bayaran

“We are what we are. Always.” – Valerie Young (Copshop)

 

Memulai film dengan tipografi jadul khas polisi, ‘Copshop’ berhasil menunjukkan betapa shooting showdown para aparat dengan sekelompok penjahat akan selalu menjadi sajian menarik untuk ditonton. Dua kubu, si jahat dan si baik, saling melesakkan peluru ke satu sama lain hingga salah satu dari mereka tumbang oleh si besi panas.

‘Copshop’ disutradarai oleh Joe Carnahan (The A-Team, The Grey, Boss Level) dan ditulis oleh Joe sendiri bersama Kurt McLeod. Film ini merupakan debut penulisan Kurt untuk film panjang, dimana ia mengangkat sendiri cerita yang ia buat dengan produser Mark Williams (Java Heat, The Accountant, Honest Thief).

Film ‘Copshop’ sejatinya sudah dirilis bulan September 2021 di Amerika Serikat dan Inggris, namun Indonesia baru kedapatan tanggal tayang bioskop pada 19 Januari 2022 kemarin. 

Gerard Butler nyaris dibuat kapok terlibat di proyek film laga karena kecelakaan yang melibatkan aktor asal Skotlandia tersebut dengan beberapa kru dan lawan mainnya saat produksi ‘Copshop’. Gerard mencederai mereka bertiga tanpa sengaja.

Sinopsis

Di sebuah kota kecil di Amerika Serikat, seorang pria tiba-tiba datang menonjok Valerie Young (Alexis Louder), petugas polisi pemula yang sedang melerai keributan. Aksi tersebut membawa pria itu ke penjara yang letaknya terpencil di kantor polisi Gun Creek, Nevada.

Tak lama berselang, datang lagi seorang pria dengan bau alkohol menempel pada tubuhnya, masuk ke dalam penjara di kantor yang sama. Pria tersebut mengemudi di bawah pengaruh alkohol dan nyaris menabrak dua anggota polisi Gun Creek City PD. 

© Briarcliff Entertainment/Everett Collection

Berada pada satu ruangan yang sama, kedua pria itu ternyata saling mengenali. Bob Viddick (Gerard Butler), orang yang baru masuk ke dalam penjara, sedang dalam misi mengejar Teddy Murretto (Frank Grillo), seorang penipu handal yang memiliki kepalanya benilai mahal. 

Sebagai pembunuh bayaran profesional, Bob harus melakukan segala cara untuk bisa menyelesaikan kontrak yang ia miliki. Bahkan jika harus memasukkan diri ke penjara sekalipun, ia tak keberatan. Terpisahkan oleh sel yang berbeda, mereka berdua terpaksa harus menuntaskan kucing-kucingan tersebut di balik jeruji besi.

Wahana bermain tumpah darah

Bagaikan gim third person shooter, semua karakter di sini terlibat tembak-tembakkan penuh pertumpahan darah, tanpa ampun tak menyisakan satu hembusan nafas sekalipun.

Latar tempat di kantor polisi menjadikan nilai tambah bagi ‘Copshop’ karena jarang ada ruang-ruang tersembunyi bagi para penembak rehat sejenak. Mereka dipaksa berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, mencari momen pas untuk menembakkan peluru yang mereka punya.

Pemilihan senjata dari film ini juga tidak macam-macam. Sepanjang film, hanya ada sedikit jenis senjata yang ditunjukkan. Ini menjadi semacam ajang pamer unjuk kebolehan para karakter saat mengoperasikan senjata kepunyaan mereka, dan menunjukkan karakteristik berbeda dari pemegang senjatanya.

© Briarcliff Entertainment/Everett Collection

Valerie, walaupun masih berstatus polisi baru, memiliki tingkat kehebatan yang sepantar dengan para pembunuh bayaran, termasuk Bob.

Meski menjadi kebun pembantaian, adegan satu lawan satu seperti di film-film koboi juga ada di film ini, dan harus kita akui, cukup mengesankan. Saling mengkonfrontasi satu sama lain, sementara tangan kiri siap menarik pelatuk dari senjata masing-masing.

Tumpuan film ‘Copshop’ jelas berada pada aksi laga yang melibatkan Valerie, Bob, Teddy, dan karakter-karakter lainnya. Hal itu membuat konflik utama film ini harus rela terpinggirkan, menjadi pemanis dari slaughterhouse yang tersaji di film ini.

Alasan utama Teddy, sang penipu ulang, memiliki harga untuk kepalanya cukup umum dan tidak menimbulkan kesan “wah” atau twist yang bisa menimbulkan decak kagum. Pembungkusannya sengaja dibuat biasa saja karena tentu harus mendahului aksi tembak menembak para karakter.

Kecil-kecil cabe rawit

Konflik utama yang cenderung “ya udah” itu untungnya sedikit terbantu oleh karakter Valerie. Peran sebagai polisi baru tidak membuat Valerie terlihat lemah dan kecil dibanding senior-senior dia. Sebagai satu-satunya wanita, Valerie menunjukkan keberanian besar berada di antara Bob dan Teddy. 

Ia juga kerap menegaskan otoritasnya sebagai penegak keamanan, berkali-kali memperlihatkan bahwa dialah yang memegang kendali di ruangan penjara itu. Seluruh kendali harus ada di tangan Valerie, enggan sekalipun memberi ruang kedua lelaki tersebut mematahkan kekuasaannya.

Dibanding rekan-rekan Valerie, wanita kulit hitam itu juga terlihat lebih berguna dan kompeten dibanding rekan lelakinya. Ia bisa mengoperasikan senjata dengan handal, terlebih lagi melakukan pertolongan pertama yang krusial pada seorang tahanan yang cedera. Valerie mampu mencegah salah satu tahanan itu dari kehilangan nyawa akibat gagal pernapasan yang diderita. 

Dukungan penuh dari skoring

Tidak cukup apabila sebuah film laga hanya mengandalkan suara “jedar jeder” dari tembakkan. Efek suara ledakan semasif apapun juga tidak mampu menjadi penopang film, bila tidak disertai dengan lagu-lagu yang pas di telinga penonton. Untungnya, skoring ‘Copshop’ menjadi pendukung penuh film ini melalui hentakkan-hentakkan yang penuh gairah.

Disambut dengan musik-musik rock yang intens, ‘Copshop’ paham bahwa lagu seperti itu mampu meningkatkan ketegangan aksi menembak dan membuat siapapun yang menonton akan terjaga penuh. 

© Briarcliff Entertainment/Everett Collection

Dua jempol saya untuk ia yang memilih lagu Curtis Mayfield – Freddie’s Dead sebagai penutup film.

Sinematografi juga tak kalah apik. Menjelang berakhirnya aksi laga, ada adegan slow motion yang dipertontonkan dari karakter utama film ini. Mereka berjibaku dengan senjata di tangan, saling menembakkan peluru ke titik lemah masing-masing.

Memang adegan di banyak film laga yang dibuat slow motion terkesan seperti formula wajib para kreator film. But, a little bit of it won’t hurt, eh?

Kesimpulan

Joe Carnahan sekali lagi menunjukkan kredebilitasnya sebagai sutradara top film action. Eksekusi yang tertata rapi pada adegan laga, membuat film dengan latar tempat yang terbatas ini tetap seru untuk dinikmati. Jalan cerita yang cenderung biasa saja akan tertutup dengan kemegahan tembak menembak di sepertiga akhir film.

 

Director: Joe Carnahan

Cast: Gerard Butler, Frank Grillo, Alexis Louder, Toby Huss, Ryan O’nan, Chad Coleman, Kaiwi Lyman-Mersereau

Duration: 107 minutes

Score: 6.4/10

WHERE TO WATCH

The Review

Copshop

6.4 Score

Penipu cerdik Teddy Murretto (Frank Grillo) menyusun rencana putus asa untuk bersembunyi dari pembunuh bayaran Bob Viddick (Gerard Butler). Murretto meninju seorang polisi baru Valerie Young (Alexis Louder) untuk membuat dirinya ditangkap dan dikurung di kota kecil Pos polisi. Viddick merencanakan jalannya sendiri agar bisa masuk ke dalam tahanan, mengulur waktunya di sel terdekat sampai dia bisa menyelesaikan misinya. Namun kekacauan tidak berhenti disitu, ketika seorang pembunuh bayaran lain (Toby Huss) bersaing dan memaksa Viddick untuk menjadi kreatif jika dia ingin menyelesaikan pekerjaannya.

Review Breakdown

  • Acting 6.4
  • Cinematography 6.4
  • Entertain 6.4
  • Scoring 6.4
  • Story 6.4
Exit mobile version