“You have to choose, Kayla. Choose or die,” – Ricky (Choose or Die).
Disutradarai dari Toby Meakins, film ini berfokus pada seorang perempuan pra-sejahtera yang tergiur pada hadiah dari permainan video game tahun 80-an, sebesar 125,000 dolar AS.
Tertekan oleh keadaan yang menyedihkan, sang tokoh utama pun mencoba memainkan permainan tersebut. Mengusung tema permainan dengan taruhan nyawa sebagai jaminannya, ‘Choose or Die’ memiliki premis yang cukup menarik perhatian.
Dibintangi oleh aktris pendatang baru Iola Evans dan Asa Butterfield, film ini mungkin tidak cocok untuk para penonton yang tidak terbiasa melihat darah dan kekerasan. Melalui unsur gore yang kental, ‘Choose or Die’ nyatanya malah menjadi film mengecewakan lainnya dari Netflix.
Sinopsis
Kayla (Iola Evans) tinggal di perumahan kumuh yang dipenuhi oleh tikus bersama dengan ibunya. Sang ibu, Thea (Angela Griffin), pun mengalami depresi dan mengobati diri sendiri dengan obat-obatan keras. Hidup tidak bahagia semenjak ditinggalkan oleh adik laki-lakinya, Kayla kerap merasa lelah namun harus bertahan demi sang Ibu.
Di sisi lain, ia berteman dengan seorang fanatik barang-barang klasik dan permainan retro, Isaac (Asa Butterfield). Ketika sedang bermain bersama di rumah Isaac, mereka menemukan salinan permainan klasik bernama CURS>R.
Mencoba mencari tahu permainan tersebut melalui nomor yang tertera pada game, Kayla kemudian tertarik ketika mengetahui hadiah besar yang ditawarkan oleh CURS>R. Ia akhirnya membeli gim tersebut dari Isaac, dan mencoba memperbaikinya di rumah.
Setelah berfungsi kembali, Kayla kemudian menuju ke sebuah restoran dan mulai memainkan permainan tersebut. Namun, kejadian aneh mulai terjadi dengan pilihan-pilihan yang tak masuk akal. Sejak saat itu, Kayla tahu bahwa ia telah memulai permainan yang salah dan tak bisa kembali lagi.
Ia pun bercerita pada Isaac dan meminta bantuan sang sahabat untuk keluar dari permainan terkutut itu. Alih-alih mendapatkan jawaban, keduanya malah terjerumus lebih dalam dan selalu bertemu dengan dua pilihan: Choose or die!
Premis yang menjanjikan

‘Choose or Die’ sebenarnya memiliki premis yang cukup aneh namun menjanjikan. Seperti film horor bertemakan permainan yang pernah rilis sebelumnya, termasuk ‘Nerve’, hingga ‘Truth or Dare’ misalnya, film-film dengan tema seperti ini mampu menghibur para penonton melalui jalan cerita yang unik.
Siapa sangka, sebuah permainan akan mendatangkan malapetaka? Niat untuk menghibur diri – atau dalam kasus ‘Choose or Die’ untuk memenangkan hadiah besar, malah berujung pada kematian orang-orang terdekat.
Film horor yang berdasar dari permainan seperti dua kali melarikan diri dari kenyataan. Tidak masuk akal jika menggunakan logika untuk menikmati film seperti ini, namun siapa peduli. Para penonton hanya ingin bersenang-senang. Sayangnya, film ‘Choose or Die’ tidak menyenangkan untuk ditonton lebih lama.
Alur cerita terlalu cepat dan cenderung tidak jelas. Sang sutradara seakan bingung ingin membuat film ‘Choose or Die’ menjadi horor yang seperti apa. Dari segi gore, tentu saja bagi seorang penakut, film ini akan menguji nyali mereka.

Namun, untuk para pecinta film horor, ‘Choose or Die’ bisa dikatakan hanya menampilkan poin-poin terseram mereka dalam beberapa detik. Tidak ada ketegangan yang begitu mencekam dalam film ini. ‘Choose or Die’ seakan membagi cerita agar menjadi sebuah kritik sosial yang sekaligus menyenangkan. Membawa tren-tren klasik lewat permainan ala tahun 80-an.
‘Choose or Die’ terlalu bergantung pada premis yang menarik, tetapi eksekusinya membosankan. Semua pertanyaan dan jawaban yang diajukan terasa hambar, dan ya sesungguhnya biasa saja.
Hal ini justru menjebak kita semua sebagai penonton untuk tetap melanjutkan film atau segera mematikannya. Lima pertanyaan yang terlalu sedikit dan tak menantang, lebih baik direvisi lagi.
Tone mendukung ala-ala ’80-an

‘Choose or Die’ sangat berusaha membawa penonton untuk merasakan sensasi tahun 80-an. Lewat permainan klasik tersebut, Kayla dan Isaac seakan menjadi orang tua di zaman kontemporer yang serba canggih. Tone film ‘Choose or Die’ sangat gelap untuk dilihat oleh mata.
Maka ketika muncul warna hijau terang memenuhi layar, perhatian penonton akan terpusat untuk merasakan kengerian, meski nyatanya tidak mengerikan sama sekali.
Bagian yang cukup aneh, namun menyenangkan untuk dilihat ialah ketika Isaac tiba-tiba masuk ke dalam dimensi lain dan memuntahkan pita seluloid dari mulutnya. Alih-alih menampilkan Isaac memuntahkan darah, sang sutradara menjadikannya sebagai pita panjang yang tak kunjung berhenti keluar dari mulutnya.

Kemungkinan besar, film ini akan memiliki sekuel karena cerita tidak berhenti di akhir yang kurang memuaskan tersebut. Kayla menemukan hidupnya kembali seperti semula hingga ia kemudian dihubungi oleh Beck, sang pemilik permainan CURS>R.
Kesimpulan
Jika hanya mengandalkan unsur gore dalam film, ‘Choose or Die’ jelaslah gagal menghibur penonton. Karakter yang disajikan menjadi tidak penting, begitupun alur cerita yang tidak jelas. Tidak ada dorongan, ketakutan, atau tipu daya untuk membuat film ini terlihat lebih menarik.
Ketegangan seakan hanya setipis benang, tak memenuhi ekspektasi sama sekali. Ada banyak film horor lain di layanan streaming Netflix yang bisa ditonton untuk mengisi hari, selain ‘Choose or Die.’
Director: Toby Meakins
Cast: Iola Evans, Asa Butterfield, Eddie Marsan, Robert Englund, Kate Fleetwood, Ryan Gage, Angela Griffin, dan Joe Bolland.
Duration: 84 minutes
Score: 4.2/10
WHERE TO WATCH
The Review
Choose or Die
Kayla tergiur pada hadiah sebesar 125,000 dolar AS dari sebuah permainan video game tahun 80-an yang ditemukan di rumah temannya, Isaac. Tertekan oleh keadaan yang menyedihkan, Kayla pun mencoba memainkan permainan tersebut. Namun, Kayla kemudian terlambat menyadari bahwa permainan tersebut justru mempermainkan kenyataan di sekitarnya.