“If you say his name five times while looking in the mirror, he appears in the reflection, and it kills you.” Anthony McCoy.
Bagi kamu yang menggemari film bergenre horor dengan cerita penuh misteri dan aksi menegangkan maka film ‘Candyman’ wajib menempati urutan atas dari list film yang harus kamu tonton di bioskop.
Film ‘Candyman’ yang diproduksi tahun 2021 ini merupakan sekuel lanjutan dari film pertamanya yang dirilis pada tahun 1992. ‘Candyman’ 2021 merupakan film keempat dari saga Candyman, yang dimulai dari ‘Candyman’ (1992), ‘Candyman: Farewell To The Flesh’ (1995) dan ‘Candyman: Day of The Dead’ (1999).
Legenda asal muasal Candyman
Kisah Candyman pertama kali bermula pada akhir abad ke-19 di wilayah Chicago, yang menceritakan ketika seorang seniman berbakat bernama Daniel Robitaille menjalin hubungan dengan seorang perempuan kulit putih.
Ayah dari perempuan itu pun menjadi murka saat mengetahui hubungan keduanya, ia pun memutuskan untuk menangkap dan menyiksa Daniel dengan cara memotong tangannya dan menggantinya dengan kait.
Merasa belum puas, ia pun melumuri seluruh tubuhnya dengan madu agar segerombolan lebah menyengatnya dan berakhir dengan membakarnya hidup-hidup.
Menurut mitos yang beredar luas, jika kamu berani menyebut namanya sebanyak lima kali di depan cermin, maka sosok Candyman akan segera muncul.

Sinopsis ‘Candyman’
Film ‘Candyman’ dibuka dengan adegan kilas balik ke peristiwa pada tahun 1977, di mana seorang anak laki-laki sedang menyaksikan kejadian brutal yang melibatkan polisi terhadap seorang pria yang gemar membagikan permen kepada anak-anak yang dikenal dengan julukan Candyman.
Kemudian kisahnya terus berlanjut ke masa kini ketika seniman muda berbakat bernama Anthony McCoy (Yahya Abdul-Mateen II) bersama pacarnya Brianna Cartwright (Teyonah Parris) baru saja pindah ke apartemen barunya yang mewah di lingkungan Cabrini-Green, Chicago.
Anthony yang sedang mencari inspirasi untuk proyek seni berikutnya, mendengar legenda tentang sosok Candyman dari seorang penghuni lama di daerah tersebut.

Ia pun menjadi sangat tertarik untuk menyelidiki dan menggali lebih dalam tentang sosok Candyman, namun tanpa ia sadari, Anthony tak hanya sekedar membangkitkan kembali legenda urban tersebut tapi dia segera akan menemukan bahwa dirinya mempunyai hubungan terkait sosok pria yang memiliki pengait di salah satu lengannya tersebut.
Kembali menggunakan lokasi di perumahan Cabrini-Green
Dalam film sebelumnya yakni pada tahun 1992 yang dibintangi oleh Tony Todd sebagai pemeran utama, diceritakan bahwa Candyman adalah sosok entitas yang sering meneror lingkungan perumahan Cabrini-Green di Chicago.
Kini lingkungan yang memang benar ada dan nyata di kota Chicago tersebut sudah dibangun ulang, diremajakan dan menjadi kawasan yang cukup elit.
Tentunya perubahan pada lingkungan itu juga secara pasti ikut mengubur sejarah kelam tentang Candyman dan banyak orang sudah mulai melupakannya. Namun sekarang berkat Anthony yang pindah ke lingkungan itu, turut membawa kengerian masa lalu yang hadir kembali.

Gentrifikasi ini juga seakan ikut mengubur sejarah kekerasan rasis yang terjadi di dalam Cabrini-Green di mana kala itu di dalamnya banyak warga kulit hitam yang tinggal di sana. Seakan-akan dengan membangun sesuatu yang baru semua hal tersebut akan hilang dengan sendirinya. Di sini Candyman hadir untuk menjadi pengingat bahwa sejarah dan ingatan baik yang indah maupun kelam tidak boleh terlupakan.
Candyman terbaru ini memadukan gaya horor dengan tema sosial terhadap hubungan ras dan kekerasan rasial. Jika merujuk pada film di tahun 1992, yang menempatkan Daniel Robitaille sebagai salah satu korban kebencian rasial, maka dalam film di tahun 2021, Candyman bukan merujuk pada satu orang tetapi mewakili kekerasan dan diskriminasi rasial yang telah dialami banyak orang.
Hal tersebut dapat terjadi kapan saja dan di mana saja seperti yang ditunjukkan Anthony dalam instalasi seninya yang berjudul “Say My Name’.
Penggunaan cermin sebagai metafora visual utama
Sutradara Nia Dacosta memakai pendekatan berbeda dalam mengarahkan film horor ini, ia menghindari pemakaian jumpscare yang biasa digunakan film bergenre horor untuk upaya meningkatkan ketegangan yang ada.
Sebagai gantinya, ia secara brilian mengganti visualisasi adegan-adegan pembunuhan dengan cara yang unik yakni menampilkan adegan pembunuhan dalam bentuk siluet atau dalam kesempatan yang lain kita hanya mendengar sura berderak mengerikan, dan hanya sekedar melihat visual di mana darah menetes.

Dalam sekuelnya kali ini, sosok Candyman jarang menunjukkan dirinya tetapi ia lebih banyak menampilkan adegan di mana hanya tindakannya yang berbicara. Hal ini tentu saja menambah misteri dari sosok Candyman itu sendiri.
Sosoknya banyak terefleksikan melalui pantulan-pantulan di cermin seakan-akan hal tersebut menjadi semacam reflektor dari realitas kekerasan rasis yang terus saja terjadi.
Dacosta juga terkadang membiarkan kamera yang perlahan-lahan menjauh dari aksi, membiarkan audiens menangkap semua adegan tersebut dari kejauhan.
Seolah Dacosta ingin mengajak penonton untuk ikut mengintip lebih lanjut tentang bagaimana adegan kekerasan itu terjadi. Sang sutradara juga dengan cerdik memakai boneka kertas (wayang) sebagai teknik bercerita untuk mereflesikan tindakan kekerasan yang brutal di masa lalu.

Mitologi Candyman
Dacosta tak hanya serius dalam menampilkan adegan horor yang menegangkan namun ia juga serius melibatkan efek psikologis yang diciptakan dari awal sampai selesai. Ia cukup berhati-hati tentang bagaimana memberi gambaran terhadap beberapa tindakan kekerasan bermakna yang terjadi dalam film.
Selain itu, ia juga ingin lebih banyak bermain dalam menyampaikan pesan sosial melalui sosok Candyman sendiri yang digambarkan sebagai pria berkulit hitam.
Bintang lama Tony Todd dan Virginia Madsen kembali lagi muncul untuk mengulangi perannya seperti dalam film pertamanya, begitu juga dengan Vanessa A. Williams yang kembali hadir sebagai karakter yang sama, yaitu memerankan sosok Anna-Marie McCoy.
Walau dalam film ‘Candyman’ terbaru ini, asal-usul yang dikisahkan menjadi sangat berbeda akan tetapi intinya tetaplah sama, baik itu Daniel Robitaille atau pun Sherman Fields keduanya sama-sama menjadi korban dari tindakan main hakim sendiri karena prasangka rasis yang terus saja terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
‘Candyman’ adalah ikon dari peristiwa-peristiwa kekerasan rasial yang terus terjadi tersebut.

Kesimpulan
Dari segi cerita tentu saja sekuel ini tidak jauh berbeda dengan film-film sebelumnya namun pembawaan yang disajikan oleh sutradara Nia Dacosta menjadi ciri khas yang membuat film ini tampil berbeda dari segi visual hingga penggunaan skoring.
Meskipun diantaranya ada kelebihan tetap saja kekurangan dalam film ini juga terlihat jelas baik dari segi pembawaan alur cerita hingga cara penggarapannya yang berbeda dengan film sebelumnya tentu saja membuat sejumlah penggemar lama turut membandingkan film ini dengan film pertamanya, namun tetap saja film karya Nia Dacosta ini patut disaksikan di bioskop kesayangan kalian.
Director: Nia Dacosta
Cast: Yahya Abdul-Mateen II, Tony Todd, Vanessa A. Wiliiams, Nathan Stewart-Jarret, Colman Domingo, Kyle Kaminsky, Michael Hargrove, Teyonah Parris
Duration: 91 minutes
Score: 6.5/10
WHERE TO WATCH
The Review
Candyman
Berkisah tentang seniman muda berbakat bernama Anthony McCoy bersama pacarnya baru saja pindah ke apartemen mewah di lingkungan Cabrini-Green, Chicago. Anthony yang sedang mencari inspirasi untuk proyek seni berikutnya, mendengar legenda tentang sosok Candyman dari seorang penghuni lama di daerah tersebut dan penasaran untuk mencari tahu lebih lanjut namun tanpa sadar ia kembali membangkitkan sosok pembunuh yang telah lama tertidur