Review Baby Blues (2022)

Kacaunya Hidup Sepasang Suami Istri Saat Jiwa Mereka Tiba-Tiba Tertukar

“Udah saatnya kita stop mikirin diri kita sendiri dan kasih semuanya ke Dara.” – Dinda (Baby Blues).

 

Baby Blues’ adalah film terbaru yang diproduksi oleh MVP Pictures. Film ini disutradarai oleh pria penyabet nominasi Festival Film Indonesia, Andibachtiar Yusuf. Bersamanya ada penulis naskah film ‘Selesai‘, Imam Darto.

Memiliki judul yang sama dengan nama sebuah sindrom, ‘Baby Blues’ adalah film tone deaf (tidak peka dan cenderung menyinggung konteks aslinya), bercerita mengenai kehidupan sepasang suami istri yang baru saja dikaruniai momongan. 

Lantas mengapa disebut tone deaf? Sebab, premis dari cerita ini saja sudah aneh dan tidak masuk akal. Mana mungkin sebuah kondisi mental bisa ditangani dengan…. Menukar badan sang suami dan istri? Bukannya menghibur, malah seakan menyinggung mereka para wanita yang sudah berjuang melawan baby blues ini.

Diproduksi oleh studio yang terkenal akan film horornya, ‘Baby Blues’ juga tidak memberikan sesuatu yang lebih bagus dari segi teknisnya. Olah kamera yang cenderung amatir dan skoring yang kurang berkesan, menjadikan film ini sebagai mimpi buruk jadi nyata.

Sinopsis

© MVP Pictures

Dika (Vino G. Bastian) dan Dinda (Aurelie Moeremans) adalah sepasang suami istri yang baru saja memiliki seorang anak bernama Dara. Berhubung ini anak pertama, mereka berjanji bahwa Dara akan memiliki orang tua yang hebat.

Ekspektasi mereka ternyata tak berjalan mulus. Dinda yang masih kesulitan karena baru pertama kali menjadi seorang Ibu, masih harus berhadapan dengan Dika yang juga masih bersifat kekanak-kanakan, melupakan banyak perannya sebagai seorang Ayah. Pertengkaran antara mereka berdua pun tak terelakkan.

Pasca bertengkar, keajaiban pun terjadi. Saat dini hari, petir besar menyambar satu kota Jakarta dan membuat listrik di seluruh rumah tangga padam. Keesokan paginya, tanpa disangka jiwa Dinda dan Dika sudah tertukar.

Mereka panik dan bertanya-tanya kenapa ini bisa terjadi, namun pertanyaan itu tetap tidak akan menghilangkan kewajiban primer mereka: mengasuh Dara dan karir Dika sebagai pelayan di sebuah restoran.

Dengan penuh kepasrahan, Dinda yang kini berada di tubuh Dika, harus menjalankan kewajiban Dika sebagai seorang pelayan. Di sisi lain, Dika di tubuh Dinda juga harus mengurusi Dara sehari-hari.

Pertukaran jiwa ini menjadi awal mula keretakan rumah tangga yang lebih parah lagi, ditambah kehadiran Ibunya Dika, Tari (Ratna Riantiarno) yang terus ikut campur di kehidupan mereka.

Kesalahan dalam penanganan baby blues

© MVP Pictures

Menurut beberapa sumber, baby blues adalah suatu gangguan suasana hati atau gangguan psikologis yang dapat dialami oleh seorang ibu pasca melahirkan seperti merasa gundah dan sedih yang berlebihan. Beberapa cara mengatasinya adalah dengan tidak membebani diri sendiri, tidur yang cukup, olahraga rutin, dan berbagi cerita.

‘Baby Blues’ menyajikan sebuah kesalahan fatal, yaitu dengan tidak menghadirkan satupun cara-cara di atas. Alih-alih memberikan sebuah edukasi kepada penonton, mereka malah menunjukkan bahwa langkah untuk menanganinya adalah dengan memaklumi kondisi satu sama lain.

Karir Dika sebagai pelayan sedang tidak berjalan mulus. Restoran tempat ia bekerja jarang didatangi pengunjung, apalagi bosnya adalah orang yang menjengkelkan karena gampang sekali memecat orang.

Bosnya Dika tidak peduli jika Dika baru saja memiliki bayi. Pokoknya, Dika harus selalu datang tepat waktu dan terus berinovasi di restorannya yang sepi.

Dika sendiri tidak berusaha untuk mencari cara agar bisa meluangkan waktunya untuk Dinda. Ia lebih memilih menghabiskan waktunya bermain PS bersama teman-temannya dibanding pulang cepat membantu Dinda.

Di sinilah akhirnya ‘Baby Blues’ memperlihatkan kegagalan mereka mencari solusi dari baby blues yang sedang dialami oleh Dinda.

Jiwa Dika dan Dinda yang tertukar membuat mereka harus memaklumi kesulitan masing-masing. Dari saling memaklumi itu, harapannya tentu bisa tercipta solusi jitu menghilangkan baby blues ini.

Premis yang sudah terlanjur cacat kemudian bertransformasi menjadi sebuah karya tone deaf yang tentu tidak akan ada satu Ibu merasa relate dengan film ini. Jika saja menghilangkan baby blues bisa dengan semudah itu, tentu semua Ibu akan mengantre mengambil jatah pertukaran jiwa tersebut.

Dika juga tidak mencoba untuk mencari pekerjaan lain yang bisa membuatnya memiliki waktu luang bersama Dinda. Dia sibuk bermain gim dan melakukan hal lain selain menjadi teman cerita Dinda.

Dika tidak diperlihatkan memberikan segala kebutuhan Dinda. Ketika akhirnya Dika sudah mulai menunjukkan perubahan, susah untuk menaruh respek kepada dia lagi, mengingat dosa-dosa yang sudah ia perbuat kepada Dinda.

Ada juga hal yang bikin geleng-geleng kepala dari film ini. ‘Baby Blues’ di sini menggarisbawahi bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai Dika dan Dinda adalah kembali menjadi keluarga bahagia.

Di situ terlihat bagaimana seorang Ibu yang mengalami baby blues adalah awal mula keretakan sebuah rumah tangga. Padahal, itu adalah sesuatu yang umum dan dialami oleh banyak Ibu melahirkan. Bukanlah penyebab suatu pecahnya rumah tangga.

‘Baby Blues’ lagi dan lagi, menjadi proyek drama komedi yang tak memperhatikan bagaimana situasi baby blues yang terjadi dunia nyata. 

Komedinya? -1/10

© MVP Pictures

‘Baby Blues’ menjadi film Indonesia berikutnya yang masih menggunakan jokes waria, mengeksploitasi tubuh wanita, dan humor-humor porno lainnya yang sudah seharusnya tidak dipakai lagi. Menggunakan komedi seperti ini di tahun 2022 terasa sangat basi. 

Hadirnya teman-teman Dika, Fikry (Abdurrahman Arif) dan Omen (Rigen Rakelna) untuk menjadi lumbung komedi di film ini juga, hmm, tidak membantu sama sekali.

Selain lelucon porno yang tidak lucu, banyak lelucon seperti perselingkuhan yang diucap oleh mereka, seakan melazimkan perbuatan itu. Apalagi, itu semua dilontarkan di depan Dika, orang yang rumah tangganya sedang diuji.

Karakter waria yang diperankan oleh Ence Bagus juga begitu miris. Memiliki peran yang sama sebagai lumbung komedi, kemunculan karakter ini hanya untuk mengeluarkan lelucon porno yang bedanya datang dari pria berpenampilan feminin. 

Dika dan Dinda

© MVP Pictures

Mungkin terlepas dari ceritanya yang kelewat amburadul, akting Vino Bastian menjadi satu hal yang bisa diapresiasi dari ‘Baby Blues’. Memiliki jiwa seorang perempuan, Vino Bastian tidak serta merta merubah sifat dia seperti karakternya Ence Bagus. Ia masih menyesuaikan dengan peran Dinda yang dari awal sudah dibentuk: sering khawatir, gelisah, dan emosional.

Berbeda dengan Vino Bastian, Aurelie Moeremans masih belum juga menemukkan akting dia yang “ceklek”. Perannya dari beberapa film terakhir masih saja sama, yaitu lebih banyak mengeksploitasi kesedihannya.

Namun, setidaknya ketika harus berperan sebagai seorang lelaki, Aurelie bisa memperlihatkan bahwa ia adalah aktris yang lebih dari sekadar tangisan dan teriakan. Aurelie menjadi slengean dan sembarangan. Persis seperti Vino.

Sangat disayangkan dua akting yang apik ini juga tidak tersaji melalui visualisasi yang sama apiknya. ‘Baby Blues’ lebih sering menyajikan perpindahan yang cepat dari satu karakter ke karakter lainnya, lalu langsung mengambil keseluruhan gambar dari adegan tersebut.

Penonton tidak diberi kesempatan untuk meresapi kepanikan Dika dan Dinda ketika bertukar jiwa, ketika Dara sedang membutuhkan pertolongan, dan adegan-adegan lain yang melibatkan emosi dengan intensitas tinggi.

Semua itu juga diselingi skoring amatir seperti di sinetron. Tidak ada kesunyian yang bisa menjadi kesempatan mendalami dialog-dialog para karakter. Selalu ada saja lagu-lagu aneh di latarnya. 

Kesimpulan

© MVP Pictures

‘Baby Blues’ gagal memberikan sajian penuh makna mengenai sebuah sindrom yang umum di kalangan Ibu-ibu pas kelahiran. Kegagalan itu terlihat dari cara mereka mengatasi baby blues itu sendiri.

Drama komedi ini juga tidak memiliki komedi yang layak dengar. Banyak lelucon yang sudah basi dan terlalu vulgar dalam beberapa bagian.

 

Director: Andibachtiar Yusuf

Cast: Vino G. Bastian, Aurélie Moeremans, Ratna Riantiarno, Mathias Muchus, Abdurrahman Arif, Rigen Rakelna, Ence Bagus

Duration: 100 minutes

Score: 2.8/10

WHERE TO WATCH

The Review

Baby Blues

2.8 Score

Sepasang suami-istri, Andika dan Dinda tidak menyangka bahwa merawat bayi tidak semudah yang dibayangkan. Hal ini membuat Dinda mengalami sindrom baby blues yang kemudian memicu perdebatan dan pertengkaran. Ketika sebuah kejadian terjadi dan jiwa mereka tertukar, mereka harus belajar untuk memahami dan mengerti satu sama lain agar bisa kembali ke tubuh mereka semula.

Review Breakdown

  • Acting 4
  • Cinematography 3
  • Entertain 4
  • Scoring 2
  • Story 1
Exit mobile version