“Aku terlahir di dunia untuk menolong orang-orang kesusahan.” – Jamal.
Salah satu poin yang sangat menarik untuk diangkat dari sebuah film Indonesia adalah kelokalan yang majemuk. Indonesia sendiri memiliki banyak warna, mulai dari agama, etnis, dan suku bangsa. Hal ini secara jelas terlihat diangkat oleh para sineas lokal dari film-film orisinil yang dikeluarkan di platform streaming seperti Disney+ Hotstar ID dan Netflix.
Nah kali ini, ada sebuah film baru yang mengangkat soal perbedaan itu, namanya ‘Agen Dunia’. Film ini dibintangi oleh Baim Wong, Onadio, dan Clara Bernadeth. Ceritanya antara sepasang kekasih yang teranca menikah dan seorang “Agen Dunia” yang bisa mengerjakan apa saja namun kini jasanya sudah gak laku karena perkembangan teknologi.
Banyak permasalahan sebetulnya terkait film ini, baik jika dilihat secara naratif maupun sinematik. Dari naratifnya dulu, ‘Agen Dunia’ memiliki eksposisi yang ringan dan kocak, namun jatuhnya malah aneh. Soalnya dalam dunia ini, tidak ada yang namanya “Agen Dunia”. Adanya calo.
Konsep agen dunia otomatis akan masuk ke dalam benak penonton sebagai sesuatu yang benar-benar baru, sehingga perlu dikasih tau dulu secara meyakinkan apa sebetulnya profesi ini agar penonton bisa menerimanya dengan baik. Cuman film ternyata langsung kasih lihat karakter Jamal (Baim Wong) yang bisa kerjain apa saja. Segala urusan beres.

Sebetulnya dari tampilan Jamal ini sudah cukup menarik. Diperankan Baim Wong, kemudian taampilannya juga bagus, kendaraan yang ia naikin di awal juga menjelaskan sesuatu. Tapi kerangka untuk menyusun karakter Jamal ini tidak kuat sehingga penonton bisa jadi tidak bisa relate dengannya. Mendingan sekalian aja film mengatakan bahwa Jamal adalah seorang calo. Itu lebih ngena dan bisa dimainkan lagi karena calo sendiri pada dasarny adalah sebuaah profesi yang dilarang.
Soal tidak relate dengan Jamal ini bakal kelihatan sekali impact-nya ketika film diceritakan sudah berjalan dua tahun setelahnya. Dari segi konsep, ada kejanggalan di sini karena Jamal bilang kalau penyebab karirnya sebagai agen dunia menurun itu gara-gara teknologi. Ini adalah sebuah creative decision tersebut adalah sesuatu yang kurang bijaksana.
Mengapa demikian? Well, coba perhatikan waktu dan kondisinya, deh! Kalau dilihat-lihat, kondisi dunia cerita filmnya saat awal-awal itu terlihat seperti kondisi kita saat ini, di mana penggunaan teknologi sudah massif. Bukan di zaman, let’s say, 90-an.
Nah ketika dua tahun setelahnya Jamal gagal sebagai agen dunia dengan dalih teknologi, jelas ini sesuatu yang tidak masuk akal. Rentang dua tahun juga nampaknya bukan sebuah pilihan rentang tahun yang tepat jika alasan bagi character development Jamal adalah ketidakmampuan untuk catch-up dengan teknologi.
Kemudian ketika film masuk ke dua tahun setelahnya, kita bisa jadi semakin tidak invest dengan karakter Jamal. Soalnya selain tadi kerangka karakternya kurang kuat (jika tidak ingin dikatakan terlalu “ngadi-ngadi”), kausalitas dari Jamal yang kini hidupnya jatuh juga kurang oke.
Beranjak ke relationship, hubungan antara karakter Jamal dengan karakter cowok desainer yang diperankan oleh Onad sebetulnya lumayan. Mungkin ini adalah salah satu poin positif dari “Agen Dunia”, meskipun tentu saja tidak dapat menyelamatkan keseluruhan filmnya. Perkenalan mereka memang biasa banget, namun cara menyambungkannya dengan kebutuhan si cowok nantinya lumayan smooth, lah. Terdapat satu titik di mana kita bisa ngeh kalau di sini nyambungnya antara cerita dari si cowok desainer dengan Jamal.

‘Agen Dunia’ memang memiliki dua layer, dan penting untuk mengetahui bagaimana kedua layer cerita ini bisa saling menyatu. Film bisa melakukannya, namun ingat, itu baru awalnya saja. Prosesnya masih panjang, apalagi yang dibahas di sini adalah keluarga, pernikahan, dan perbedaan suku.
Bagi penonton, perbedaan suku ini tentu saja adalah sesuatu yang tidak mungkin dibeli, sekalipun mereka menganggap bahwa pemakaian isu ini mungkin adalah sebagai bentuk sindiran akan intoleransi msyarakat terhadap perbedaan secara luas. Perbedaan suku bukan sesuatu yang relevan dan menarik untuk dikonsumsi, apalagi buat anak muda generasi milenials dan generasi z. Aduh, isu kayak gitu udah so last year banget!
Nah, udah isu yang diangkat merupakan sesuatu yang kuno, cara pembawaannya juga jayus. Film ini memiliki banyak scene yang berusaha tampil lucu tapi gagal. Bahkan, ada juga yang kesannya kok kayak menggurui. Gak banget lah jadinya. Awkward iya, lucu kagak.
Terus, alasan mengapa perbedaan suku menjadi masalah serius juga terlalu sentimentil. Sesuatu yang berasal dari sejarah turun temurun, dan samaa sekali menunjukkan bahwa karakter Bapak, yang menjadi kepala keluarga, kurang bijaksana karena berpikir terlalu sempit. Oke lah, ini sah-sah saja. Cuman bagaimana film mengolah konflik tersebut juga kurang nendang.
Film seakan memilih untuk melakukan jaalan pintas sebagai turning point kedua sebelum memasuki tahap resolusi. Lah terus apa yang mereka lakukan di sepanjang tahap konfrontasi? Upaya-upaya jenaka yang kembali lagi sangat awkward. Secara hiburan sih memang dapet, tapi ga segitu konyolnya juga kan ya? Film baru menarik ketika Jamal bergerak secara langsung menemui para Bapak dengan berpura-pura menjadi tukang pijit.
Ini sebetulnya yang harus ditempatkan lebih awal, mungkin setelah cara pertama gagal, soalnyaa cara pertama ini juga tergolong lumayan. Eh ternyata output dari Jamal sebagai tukang pijit maalah dijadikan sebagai awal dari titik terendah film. They not even try it yet! Padahal jika bagian ini diteruskan, bisa jadi filmnya akan lebih menarik karena terdapat sebuah perencanaan yang lebih matang, yang diawali dengan survey langsung ke lapangan oleh sang agen dunia.

Belum selesai, akhir film juga ditutup kurang meyakinkan. Mau dari prosesnya hingga final scene-nya. Dari prosesnya, ketika film sudah mencapai titik terendah, sebetulnya terlihat sebuah perkembangan. Tapi perkembangan tersebut tak kunjung ditunjukkan secara gamblang oleh film sehingga penonton bisa memahami dan puas terhadap apa yang dikatakan Jamal sebagai “persamaannya”.
Kemudian di akhir, ini enggak banget sih. Film kembali memainkan kartu jenaka awkward bin gak lucunya. Yang jadi permasalahan terbesar adalah disitu kita akan melihat sebuah penggambaran yang seperti menyimpulkan bahwa perbedaan suku itu memang tidak bisa diselesaikan.
Sungguh sebuah pesan yang tidak diinginkan bagi sebuah film keluarga yang ringan seperti ini. Entah apakah “Agen Dunia” sudah kehabisan akal, atau niatnya mau bikin cliffhanger, entah lah! Tapi yang pasti ini BIG NO banget. Kalau tujuannya untuk melucu, enggak banget juga.
Belum lagi beberapa arahan teknis yang niatnya melucu (lagi-lagi) tapi garing juga misalkan pemanfaatan suara salah satu karakter cantik yang tiba-tiba diedit, kemudian ada juga satu karakter pendukung pria yang lebay banget cara ngomongnya. Hal-hal seperti ini sangat membingungkan karena apakah ada pasarnya? Yang ada malah sukses membuat hari kita menjadi semakin buruk.
“Agen Dunia” adalah film yang berusaha menghibur namun sangat banyak gagalnya. Kemudian dari segi penceritaan, film ini kuraang kuat dalam menampilkan karakter Jamal sehingga posisinya di sini sebagai agen dunia juga masih kurang jelas.
Belum lagi pilihan konfliknya yang walaupun boleh-boleh saja namun itu sangat berisiko, apalagi jika cara penyelesaiannya juga tidk menimbulkan sesuatu yang dapat menjadi patokan persatuan. Sangat disayangkan karena hanya frustasi yang muncul ketika filmnya selesai.
Director: Herwin Novianto
Cast: Baim Wong, Onadio Leonardo, Clara Bernadeth
Duration: 100 Minutes
Score: 4.4/10
WHERE TO WATCH
The Review
Agen Dunia
'Agen Dunia' menceritakan sepasang kekasih yang terancam menikah dan tiba-tiba muncullah seorang “Agen Dunia” yang bisa mengerjakan apa saja untuk memuluskan pasangan itu agar bisa menikah. Berhasilkah agen dunia itu? namun kini jasanya sudah gak laku karena perkembangan teknologi.