“I can’t imagine someone hurting my family.” – Samuel.
Pada 11 November lalu, layanan streaming Netflix merilis sebuah film bergenre drama-kriminal dari negara Brazil dengan judul ‘7 Prisoner’ atau dalam bahasa Portugisnya ‘7 Prisioneiros.’
Film besutan Alexandre Moratto ini menggambarkan sebuah realita menyedihkan mengenai eksploitasi para pekerja ‘rendahan’ yang dipandang sebelah mata oleh orang-orang sekaligus horor dari jaringan bawah tanah perdagangan manusia.

Sinopsis
Mengambil latar di Sao Paulo, Brazil, ‘7 Prisoners’ mengambil sudut pandang dari seorang remaja berusia 18 tahun yang tinggal di sebuah pedesaan bernama Mateus (Christian Malheiros). Ia memutuskan untuk merantau ke Sao Paulo untuk memperbaiki keadaan keluarganya yang terlalu lama terjebak dalam kubangan kemiskinan.
Dengan bantuan Gilson (Mauricio de Barraos) keempat perantau yaitu Mateus, Samuel (Bruno Rocha), Isaque (Lucas Oranmian), dan Ezequile (Vitor Julian) pergi ke Sao Paulo penuh harap pada kehidupan perkotaan yang mungkin akan membuat hidup mereka jauh lebih mudah.
Obrolan ringan dalam mobil yang penuh kehangatan seakan menjadi penegas mimpi-mimpi mereka, sebuah mimpi sederhana nan jujur; mereka ingin memperbaiki taraf hidup masing-masing.
Perkenalan dengan Pak Luca (Rodrigo Santoro) di tempat rongsokan tembaga menjadi awal dari perjalanan panjang mereka untuk menggapai tujuan mereka. Uang muka yang dibayarkan saat mereka dijemput pertama kali, seperti sebuah pertanda manis bahwa hidup di kota akan jadi lebih baik ketimbang di desa.
Hari perdana mereka pun terasa menyenangkan, terutama setelah Pak Luca menawarkan untuk membelikan makan malam mereka di sebuah warung makan di ujung jalan.

Tidak butuh waktu lama untuk Mateus dan kawan-kawannya untuk mencium kebusukan Pak Luca. Terutama setelah Mateus menyadari bahwa seharusnya setiap kiriman tembaga mereka mendapatkan uang.
Namun, sudah seminggu uang mereka tidak tiba juga. Selain itu, kartu identitas mereka diambil dan surat kontrak tidak pernah ditunjukkan.
Hal ini akhirnya mengundang protes pada Pak Luca. Naas, protes Mateus justru dibalas kekerasan dan himpitan hutang yang bahkan mereka tidak tahu ada.
Kini, motif mereka berubah total dari yang semula ingin keluar dari jerat kemiskinan menjadi bertahan hidup dan keluar apa pun harganya. Mateus pun harus memutar otak, mereka tidak bisa membalas perlakuan Pak Luca dengan kekerasan sebab keluarga mereka akan dalam bahaya.
Oleh sebab itulah Mateus memutuskan untuk membuat sebuah kesepakatan dengan Pak Luca, bahwa setelah 6 bulan mereka akan bebas dengan segala tuntutan asalkan mereka mampu melebihi pengiriman kuota harian.
Sayangnya, perjanjian yang Mateus buat seperti sebuah perjanjian dengan setan. Perlahan, alur mengungkapkan bagaimana ketamakan mampu menggerogoti jiwa tidak bersalah Mateus dan bagaimana ia melawannya demi rekan kerjanya.

Realita sederhana, namun ‘mengerikan’
Kala kita menonton ‘7 Prisoners’ kita akan langsung disuguhkan dengan pemandangan kesederhanaan keluarga Mateus dan kultur setempat walau hanya sesaat, ditambah pemilihan latar yang jauh dari peradaban, menambah kesan betapa terisolasinya tempat itu.
Walau demikian, keluarga Mateus seakan tidak peduli sebab mereka memiliki satu sama lain. Dalam adegan ini, penonton seakan diajak untuk meresapi kedekatan hubungan Mateus dengan ibu dan saudari-saudarinya melalui interaksi di saat mereka makan siang, sehingga tidak rela rasanya melihat mereka harus berpisah.
Begitu pula saat Mateus bertemu rekan-rekannya dikala Gilson menjemput. Dari obrolan mereka di dalam mobil kita bisa mengerti bahwa Samuel dan Mateus merupakan sahabat dekat.
Mateus mengetahui banyak hal tentang Samuel, begitupula sebaliknya. Isaque dan Ezequile sendiri lantas tidak menjadi orang-orang yang ditinggalkan, tidak butuh waktu lama untuk mereka menjadi akrab.
Bahkan setelah sampai mereka pun sempat bersenang-senang bersama meskipun dengan keadaan seadanya.

Dari sini, Alexandre Moratto ingin menekankan poin penting dalam filmnya yaitu betapa pentingnya sebuah hubungan baik itu dalam persahabatan, keluarga maupun pekerjaan.
Hal itu berhasil ia implikasikan ketika Mateus sukses membuat kesepakatan dengan Pak Luca dan perlahan-lahan membangun hubungan, hingga Mateus mampu mendapatkan apa yang seharusnya tidak ia dapatkan. Uang yang banyak, akses dengan orang berpangkat tinggi, bahkan sampai dianggap sebagaijadi bagian keluarga Pak Luca.
Tentu saja Mateus tidak mendapatkan semuanya dengan mudah. Ia harus mengalami banyak tekanan secara fisik dan mental, terutama saat ia pertama kali datang ke tempat rongsokan tembaga milik Pak Luca.
Tidak butuh set rumit untuk menggambarkan keadaan yang dialami Mateus dan rekan-rekannya. Latarnya dibentuk sedemikian rupa dengan tembok tinggi, kawat besi, dan jangan lupakan pintu jeruji besi yang digunakan untuk kamar Mateus, Samuel, Isaque, dan Ezequile yang sekaligus menjadi pendukung mengapa judul ‘7 Prisoners’ dipilih.
Tidak lupa juga kamera berpindah-pindah antara kondisi yang Mateus alami dan kondominium yang ada di dekat sana.
Pemilihan pengambilan gambar seperti ini mengingatkan kita akan film ‘Parasite’ yang sekaligus menyampaikan pesan ketidaksetaraan kelas masyarakat walau mereka hidup berdampingan.
Akting meyakinkan dari tokoh utamanya
Selanjutnya adalah perkembangan karakter dari Mateus sendiri. Hal ini sama pentingnya dengan hubungan dalam film ‘7 Prisoners’, sebab melalui perjalanan Mateus yang ia jalanilah kenapa film ini bisa premier di 78th Venice International Film Festival.
Ketika pertama kali menyadari ketidakadilan Pak Luca, Mateus menjadi yang paling lancang menentangnya. Tidak butuh usaha keras untuk membungkam Mateus dan kawan-kawannya, hanya perlu pukulan, ancaman dan sabotase.
Hal itu juga yang menciptakan kebimbangan dalam hati Mateus hingga membuatnya harus memutar otak. Akhirnya, Mateus memutuskan untuk menjadi suruhan Pak Luca agar rencananya bebas bisa terealisasi.
Di sinilah bagian menariknya, Pak Luca yang mulai akrab dengan Mateus mampu membenturkan antara fantasi milik Mateus dengan realitanya. Latar belakang dari Pak Luca yang sama persis dengan milik Mateus mampu menggoyahkan pondasi Mateus. Karakter Luca juga berhasil membuat penonton mempertanyakan apa sebenarnya konsep kebebasan itu.
Hal itu diperkuat dengan adegan-adegan selanjutnya yang dinilai bisa membuat tidak nyaman siapa saja yang menontonnya. Luca bersama Mateus pergi ke tempat-tempat di mana ‘budak’ diperjualbelikan.
Maksud budak di sini sendiri adalah pekerja ilegal yang dibayar rendah dengan taraf hidup tidak layak. Pemilihan latar yang tidak jauh dari pusat keramaian seakan menjadi sebuah simbolisme bahwa kita dipaksa untuk menonton hal yang terasa seperti fantasi semata namun sebenarnya terjadi di sekitar kita.
Kehadiran Mateus sendiri dalam tempat-tempat jual beli manusia seperti menjadi kritik keras Alexandre Moratto kepada kita. Shot close-up dari wajah Mateus sepanjang sisa film seakan menggambarkan kegetiran yang kita hadapi dalam menghadapi masalah seperti ini.
Sayangnya, kita seperti tidak berdaya saat diharuskan mengambil tindakan. Seperti Mateus yang bisa saja kabur membebaskan tahanan lain bersama uang-uangnya atau yang paling sederhana membantu keluar teman-temannya. Namun, di situlah dia, berdiri mematung dan memutuskan untuk tidak melakukan apa-apa seperti pecundang.
Kesimpulan
Memang film ini tidak menawarkan begitu banyak aksi, namun pesannya tergambar jelas melalui adegan per adegannya. Perbudakan modern jauh lebih mengerikan ketimbang pendahulunya, sebab hal itu terjadi di sekeliling kita dan kita bahkan tidak menyadarinya.
‘7 Prisoners’ ingin kita sadar bahwa ada yang lebih menakutkan ketimbang hantu atau monster yaitu manusia itu sendiri. Tentunya, film ini sangat cocok untuk kita yang ingin lebih memahami sesama, terutama pekerja dengan upah rendah dan para korban perdagangan manusia.
Director: Alexandre Moratto
Cast: Christian Malheiros, Vitor Julian, Clayton Mariano, Lucas Oranmian, Rodrigo Santoro
Duration: 93 Minutes
Score: 6.0/10
WHERE TO WATCH
The Review
7 Prisoners
'7 Prisoners' sendiri mengisahkan tentang pengalaman seorang Mateus yang tidak sengaja terjebak dalam lingkaran perdagangan manusia.
seru nih filmnya